29 Agustus 2006

Melindungi Kawasan Pesisir dari Amukan Bencana

Tanggal : 29 Agustus 2006
Sumber : http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=1817&Itemid=689

Salah satu penangkal yang cukup efektif untuk melindungi kawasan pesisir dari bencana alam yakni dengan membuat kawasan hutan bakau. Bila saja hutan bakau masih tumbuh subur di sepanjang pesisir Aceh, mungkin kerusakan yang disebabkan gelombang tsunami tidak akan separah seperti yang terjadi sekarang ini. Secara alami, hutan bakau merupakan sistem perlindungan dan pengamanan alami kawasan pesisir yang sangat baik. Lihat saja jalan di sepanjang jalur Pantura Pulau Jawa yang kerap porak-poranda digerus abrasi (erosi air laut). Wilayah ini menjadi begitu rentan. Dan salah satu penyebabnya yakni di sepanjang pesisir daerah itu nyaris tak lagi ditemukan hutan bakau.

Rencananya, tahun ini pemerintah akan mengalokasikan dana Rp 860 miliar untuk penanaman bakau di sepanjang pesisir di seluruh negeri ini yang dinilai potensial terkena tsunami. Ide awal dari program ini dicetuskan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), khususnya KP3K (Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Gagasan ini muncul jauh sebelum terjadinya bencana tsunami di Aceh.

Penyusunan buku pedoman mitigasi (tindakan pencegahan) bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pun sudah mulai dilakukan sejak dua tahun lalu. Dan kejadian tsunami di Indonesia sebenarnya sudah direkam sejak tahun 1961. Tercatat, pernah terjadi tsunami sekitar 17 kali selain yang di Aceh. Bahkan pada tahun 1634 sudah terjadi tsunami di kerajaan Ternate. "Jadi, kalau melihat gambaran sebaran lempeng di wilayah pesisir di Indonesia, sebenarnya semuanya rentan tsunami, kecuali Kalimantan,"kata Widi A. Pratikto Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

Menurut Widi A. Pratikto bahwasanya untuk melindungi wilayah pesisir memang harus memiliki Undang-Undang (UU) Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP), yang hingga sekarang masih dalam bentuk Rancangan UU. "Dengan begitu, orang tidak lagi mudah menggunakan wilayah pesisir tanpa bertanggung jawab. Seperti ketika harga udang naik, lalu banyak pemodal yang ikut-ikutan membuat tambak udang dengan membabat hutan mangrove (bakau). Padahal, mangrove merupakan pelindung alami yang efektif untuk menangkal bahaya tsunami bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir,"ujar Widi.

Dan seyogyanya juga ada daerah di pesisir yang dibebaskan dari bangunan. Aturan di Amerika, misalnya, bangunan rumah harus berjarak 300 meter hingga 500 meter dari garis pantai. Untuk itu perlu adanya program relokasi bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. 'Tetapi, program ini bukan berdasarkan perintah, melainkan pengertian, khususnya bagi masyarakat yang akan direlokasi. Jangan sampai program ini malah melahirkan masalah baru,"cetus Widi.

Proses penanaman hutan bakau untuk menangkal tsunami ini nantinya akan menjadi tanggung jawab Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun). Tapi letaknya ditentukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), khususnya Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Masalahnya, dari keseluruhan panjang pesisir pantai Indonesia berekitar 81.000 kilometer, ternyata tidak semuanya ada dalam wilayah kehutanan. Jadi, untuk sisa wilayah yang tidak ditetapkan pemerintah sebagai wilayah hutan, akan ditangani oleh DKP.

Penelitian Tentang Bakau

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Fakultas Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh November (FTK ITS) Surabaya, selama kurun waktu tiga tahun (1997 - 2000). Ternyata terbukti bahwa hutan bakau memiliki efektivitas cukup besar dalam mengurangi efek negatif dari gelombang tsunami. Hal ini dibuktikan dengan hasil riset yang dilakukan di Pantai Rajegwesi, Banyuwangi, Jawa Timur.

Dengan ketebalan pohon bakau sebanyak 125 batang yang dihitung dari garis pantai ke arah daratan mampu mengurangi tinggi dan energi gelombang tsunami. Gelombang pertama yang menghantam pohon bakau tingginya bisa mencapai 4,58 m. Pada pohon ke-125, tinggi gelombang tadi tinggal 1,07 meter. Kekuatan energi gelombang yang diukur pada pohon pertama yakni sebesar 26.300 erg (satuan energi). Dan pada pohon ke - 125, energinya berkurang tinggal 1.400 erg. Gelombang tsunami sudah dianggap tidak berbahaya bila tingginya sekitar 1 meter.

Hasil lainnya dari penelitian ini adalah bahwasanya di wilayah pesisir juga harus ada terumbu karang serta padang lamun (tumbuhan air di laut), baru kemudian hutan bakau. Dari hasil penelitian ini juga diusulkan tata ruang baru di wilayah pesisir. Di belakang mangrove seyogianya ada kawasan pertambakan, lalu ada lahan pertanian atau perkebunan, setelah itu baru permukiman. Tinggi gelombang yang keluar dari hutan bakau sekitar 1 meter, dan jika gelombang tersebut dihadang oleh areal perkebunan, tentunya penduduk akan merasa aman. Idealnya, jarak aman pemukiman penduduk dari pantai untuk menghindari hantaman gelombang tsunami adalah 2- 3,5 kilometer dari garis pantai.

Selain manfaat ekologis, ternyata hutan bakau juga memberikan manfaat ekonomis bagi penduduk sekitar. Hutan bakau tidak hanya bisa memberikan proteksi terhadap bahaya tsunami. Hutan ini juga bisa menangkal abrasi dan memproteksi proses merembesnya air laut ke daratan (sea water intrusion). Sebagian besar ikan laut juga biasa bertelur di daerah pesisir. Jadi, nilai ekonomisnya adalah terjaganya kekayaan laut. Kekayaan laut itu bukan hanya logam, gas, atau minyak, tapi juga berbagai macam jenis ikan.

Tetapi tidak setiap daerah pesisir pantai bisa ditanami mangrove, terutama jika tanahnya berpasir. Untuk daerah pesisir seperti ini harus dicarikan perlindungan alami lainnya. Seperti yang telah dilakukan di Amerika dengan menggunakan tumpukan pasir yang dipadatkan (sand dunes).

Sebenarnya ada beberapa faktor yang menyebabkan berkurangnya luas hutan bakau di wilayah pesisir di Indonesia. Pertama: reklamasi. Sebab, harga tanah di daerah hutan bakau lebih murah daripada di Menteng, Jakarta. Kedua: ditebang, misalnya untuk pembukaan lahan budidaya tambak. Atau ditebang supaya kayunya bisa dijadikan arang. Jadi, lahan mangrove sejatinya banyak berkurang karena ulah manusia sendiri.

RUU Penaggulangan Bencana

Untuk mengatasi berbagai macam bencana yang mengintai wilayah Indonesia yang memang sangat rawan akan bencana alam maka saat ini DPR tengah menggodog RUU Penanggulangan Bencana. RUU PB ini memiliki relevansi terhadap mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pencemaran laut. Dengan adanya RUU PB maka akan terjadi berbagai perubahan yang mendasar dalam penanggulangan bencana. Selama ini penanggulangan bencana lebih berorientasi pada saat tanggap darurat, maka setelah berlakunya RUU ini orientasi tersebut akan berubah. Berbagai kegiatan harus dilakukan dalam rangka pencegahan, mitigasi pe-nanganan saat terjadi bencana di wilayah pesisir dan pencemaran laut.

Penanganan bencana ini bertujuan untuk mengurangi gangguan serius terhadap fungsi suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan. Dimana mereka tidak dapat mengatasinya karena melampaui kemampuan sumberdaya yang mereka miliki. Oleh karena itu mitigasi bencana dilakukan sebagai bentuk program yang terdiri dari serangkaian kegiatan untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktural melalui pembuatan bangunan fisik, maupun non struktural melalui bentuk pendidikan dan pelatihan.

Serangkaian kegiatan penanggulangan bencana ini diawali dengan pengenalan dan pemantauan risiko bencana yang meliputi pengenalan risiko bencana dan pemantauan risiko bencana. Langkah kedua yang dilakukan berupa mitigasi, meliputi pencegahan, tindakan struktural (membuat bangunan fisik dalam rangka mencegah dan mengurangi dampak bencana), tindakan non struktural (peraturan dan pengaturan, penataan wilayah, analisis risiko bencana sebagai salah satu prasyarat kegiatan pembangunan), pembuatan dan penguatkuasaan peraturan pengurangan risiko bencana, serta penyuluhan dan pendidikan masyarakat (penyuluhan dan kurikulum pendidikan).

Kegiatan ketiga yang harus dilakukan adalah merupakan kesiapan penanggulangan kedaruratan yang terdiri dari kesiapan umum, perencanaan berkelanjutan, palatihan dangladi. Selanjutnya merupakan peringatan dini yang meliputi pengaturan kelembagaan dan alur peringatan dini. Penanggulangan kedaruratan bencana terdiri dari pengaturan kewenangan, aktivasi pusat pengendalian operasi tanggap kedaruratan, jalur pengendalian operasi tanggap darurat, serta kekuasaan dan kewenangan pemerintah pada darurat bencana. Langkah berikutnya merupakan pemulihan dari dampak bencana dan pembangunan kembali akibat dampak bencana.

Pengadaaan UU Penanggulangan Bencana bertujuan memberikan perlindungan pada masyarakat dari ancaman bencana; menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; menjamin terselenggaranya penaggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada; mengahargai budaya local; membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta; dan mendorong semangat gotong-royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan.

RUU PB ini berisi ketentuan yang bersifat mengatur, berisi perintah, larangan dan sanksi. Ketentuan yang bersifat mengatur dalam RUU PB diantaranya adalah mengatur wewenang dan tanggung jawab pemerintah; peran dan tanggungjawab pelaku penanggulangan bencana; pembentukan badan penanggulangan bencana, peran serta masyarakat; dana penanggulangan bencana; serta pengawasan.

Ketentuan yang berisi perintah dalam RUU PB yaitu adanya alokasi anggaran penanggulanan bencana yang cukup dalam APBN/APBD; setiap program pembangunan harus menyertakan dokumen analisis risiko bencana; perlindungan kelompok rentan disaat tanggap darurat; dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi korban saat bencana. Ketentuan yang memuat larangan meliputi melalukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya prasarana maanjemen risiko bencana; melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi pada wilayah rawan bencana tanpa izin.

RUU tentang Penanggulangan Bencana juga memuat sanksi berupa sanksi administratif berupa peringatan atau pencabutan ijin. Serta sanksi perdata berupa ganti rugi dan sanksi pidana berupa hukuman badan dan denda terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran atas larangan ataupun perintah.

Melindungi Kawasan Pesisir dari Amukan Bencana

Tanggal : 29-08-2006
Sumber : Majalah Demersal http://www.dkp.go.id/content.php?c=3243

Salah satu penangkal yang cukup efektif untuk melindungi kawasan pesisir dari bencana alam yakni dengan membuat kawasan hutan bakau.

Bila saja hutan bakau masih tumbuh subur di sepanjang pesisir Aceh, mungkin kerusakan yang disebabkan gelombang tsunami tidak akan separah seperti yang terjadi sekarang ini. Secara alami, hutan bakau merupakan sistem perlindungan dan pengamanan alami kawasan pesisir yang sangat baik. Lihat saja jalan di sepanjang jalur Pantura Pulau Jawa yang kerap porak-poranda digerus abrasi (erosi air laut). Wilayah ini menjadi begitu rentan. Dan salah satu penyebabnya yakni di sepanjang pesisir daerah itu nyaris tak lagi ditemukan hutan bakau.

Rencananya, tahun ini pemerintah akan mengalokasikan dana Rp 860 miliar untuk penanaman bakau di sepanjang pesisir di seluruh negeri ini yang dinilai potensial terkena tsunami. Ide awal dari program ini dicetuskan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), khususnya KP3K (Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Gagasan ini muncul jauh sebelum terjadinya bencana tsunami di Aceh.

Penyusunan buku pedoman mitigasi (tindakan pencegahan) bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pun sudah mulai dilakukan sejak dua tahun lalu. Dan kejadian tsunami di Indonesia sebenarnya sudah direkam sejak tahun 1961. Tercatat, pernah terjadi tsunami sekitar 17 kali selain yang di Aceh. Bahkan pada tahun 1634 sudah terjadi tsunami di kerajaan Ternate. "Jadi, kalau melihat gambaran sebaran lempeng di wilayah pesisir di Indonesia, sebenarnya semuanya rentan tsunami, kecuali Kalimantan,"kata Widi A. Pratikto Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

Menurut Widi A. Pratikto bahwasanya untuk melindungi wilayah pesisir memang harus memiliki Undang-Undang (UU) Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP), yang hingga sekarang masih dalam bentuk Rancangan UU. "Dengan begitu, orang tidak lagi mudah menggunakan wilayah pesisir tanpa bertanggung jawab. Seperti ketika harga udang naik, lalu banyak pemodal yang ikut-ikutan membuat tambak udang dengan membabat hutan mangrove (bakau). Padahal, mangrove merupakan pelindung alami yang efektif untuk menangkal bahaya tsunami bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir,"ujar Widi.

Dan seyogyanya juga ada daerah di pesisir yang dibebaskan dari bangunan. Aturan di Amerika, misalnya, bangunan rumah harus berjarak 300 meter hingga 500 meter dari garis pantai. Untuk itu perlu adanya program relokasi bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. 'Tetapi, program ini bukan berdasarkan perintah, melainkan pengertian, khususnya bagi masyarakat yang akan direlokasi. Jangan sampai program ini malah melahirkan masalah baru,"cetus Widi

Proses penanaman hutan bakau untuk menangkal tsunami ini nantinya akan menjadi tanggung jawab Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun). Tapi letaknya ditentukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), khususnya Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Masalahnya, dari keseluruhan panjang pesisir pantai Indonesia berekitar 81.000 kilometer, ternyata tidak semuanya ada dalam wilayah kehutanan. Jadi, untuk sisa wilayah yang tidak ditetapkan pemerintah sebagai wilayah hutan, akan ditangani oleh DKP.

Penelitian Tentang BakauBerdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Fakultas Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh November (FTK ITS) Surabaya, selama kurun waktu tiga tahun (1997 - 2000). Ternyata terbukti bahwa hutan bakau memiliki efektivitas cukup besar dalam mengurangi efek negatif dari gelombang tsunami. Hal ini dibuktikan dengan hasil riset yang dilakukan di Pantai Rajegwesi, Banyuwangi, Jawa Timur.

Dengan ketebalan pohon bakau sebanyak 125 batang yang dihitung dari garis pantai ke arah daratan mampu mengurangi tinggi dan energi gelombang tsunami. Gelombang pertama yang menghantam pohon bakau tingginya bisa mencapai 4,58 m. Pada pohon ke-125, tinggi gelombang tadi tinggal 1,07 meter. Kekuatan energi gelombang yang diukur pada pohon pertama yakni sebesar 26.300 erg (satuan energi). Dan pada pohon ke - 125, energinya berkurang tinggal 1.400 erg. Gelombang tsunami sudah dianggap tidak berbahaya bila tingginya sekitar 1 meter.

Hasil lainnya dari penelitian ini adalah bahwasanya di wilayah pesisir juga harus ada terumbu karang serta padang lamun (tumbuhan air di laut), baru kemudian hutan bakau. Dari hasil penelitian ini juga diusulkan tata ruang baru di wilayah pesisir. Di belakang mangrove seyogianya ada kawasan pertambakan, lalu ada lahan pertanian atau perkebunan, setelah itu baru permukiman. Tinggi gelombang yang keluar dari hutan bakau sekitar 1 meter, dan jika gelombang tersebut dihadang oleh areal perkebunan, tentunya penduduk akan merasa aman. Idealnya, jarak aman pemukiman penduduk dari pantai untuk menghindari hantaman gelombang tsunami adalah 2- 3,5 kilometer dari garis pantai.

Selain manfaat ekologis, ternyata hutan bakau juga memberikan manfaat ekonomis bagi penduduk sekitar. Hutan bakau tidak hanya bisa memberikan proteksi terhadap bahaya tsunami. Hutan ini juga bisa menangkal abrasi dan memproteksi proses merembesnya air laut ke daratan (sea water intrusion). Sebagian besar ikan laut juga biasa bertelur di daerah pesisir. Jadi, nilai ekonomisnya adalah terjaganya kekayaan laut. Kekayaan laut itu bukan hanya logam, gas, atau minyak, tapi juga berbagai macam jenis ikan.

Tetapi tidak setiap daerah pesisir pantai bisa ditanami mangrove, terutama jika tanahnya berpasir. Untuk daerah pesisir seperti ini harus dicarikan perlindungan alami lainnya. Seperti yang telah dilakukan di Amerika dengan menggunakan tumpukan pasir yang dipadatkan (sand dunes).

Sebenarnya ada beberapa faktor yang menyebabkan berkurangnya luas hutan bakau di wilayah pesisir di Indonesia. Pertama: reklamasi. Sebab, harga tanah di daerah hutan bakau lebih murah daripada di Menteng, Jakarta. Kedua: ditebang, misalnya untuk pembukaan lahan budidaya tambak. Atau ditebang supaya kayunya bisa dijadikan arang. Jadi, lahan mangrove sejatinya banyak berkurang karena ulah manusia sendiri.

RUU Penaggulangan BencanaUntuk mengatasi berbagai macam bencana yang mengintai wilayah Indonesia yang memang sangat rawan akan bencana alam maka saat ini DPR tengah menggodog RUU Penanggulangan Bencana. RUU PB ini memiliki relevansi terhadap mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pencemaran laut. Dengan adanya RUU PB maka akan terjadi berbagai perubahan yang mendasar dalam penanggulangan bencana. Selama ini penanggulangan bencana lebih berorientasi pada saat tanggap darurat, maka setelah berlakunya RUU ini orientasi tersebut akan berubah. Berbagai kegiatan harus dilakukan dalam rangka pencegahan, mitigasi pe-nanganan saat terjadi bencana di wilayah pesisir dan pencemaran laut.

Penanganan bencana ini bertujuan untuk mengurangi gangguan serius terhadap fungsi suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan. Dimana mereka tidak dapat mengatasinya karena melampaui kemampuan sumberdaya yang mereka miliki. Oleh karena itu mitigasi bencana dilakukan sebagai bentuk program yang terdiri dari serangkaian kegiatan untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktural melalui pembuatan bangunan fisik, maupun non struktural melalui bentuk pendidikan dan pelatihan.

Serangkaian kegiatan penanggulangan bencana ini diawali dengan pengenalan dan pemantauan risiko bencana yang meliputi pengenalan risiko bencana dan pemantauan risiko bencana. Langkah kedua yang dilakukan berupa mitigasi, meliputi pencegahan, tindakan struktural (membuat bangunan fisik dalam rangka mencegah dan mengurangi dampak bencana), tindakan non struktural (peraturan dan pengaturan, penataan wilayah, analisis risiko bencana sebagai salah satu prasyarat kegiatan pembangunan), pembuatan dan penguatkuasaan peraturan pengurangan risiko bencana, serta penyuluhan dan pendidikan masyarakat (penyuluhan dan kurikulum pendidikan).

Kegiatan ketiga yang harus dilakukan adalah merupakan kesiapan penanggulangan kedaruratan yang terdiri dari kesiapan umum, perencanaan berkelanjutan, palatihan dangladi. Selanjutnya merupakan peringatan dini yang meliputi pengaturan kelembagaan dan alur peringatan dini. Penanggulangan kedaruratan bencana terdiri dari pengaturan kewenangan, aktivasi pusat pengendalian operasi tanggap kedaruratan, jalur pengendalian operasi tanggap darurat, serta kekuasaan dan kewenangan pemerintah pada darurat bencana. Langkah berikutnya merupakan pemulihan dari dampak bencana dan pembangunan kembali akibat dampak bencana.

Pengadaaan UU Penanggulangan Bencana bertujuan memberikan perlindungan pada masyarakat dari ancaman bencana; menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; menjamin terselenggaranya penaggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada; mengahargai budaya local; membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta; dan mendorong semangat gotong-royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan.

RUU PB ini berisi ketentuan yang bersifat mengatur, berisi perintah, larangan dan sanksi. Ketentuan yang bersifat mengatur dalam RUU PB diantaranya adalah mengatur wewenang dan tanggung jawab pemerintah; peran dan tanggungjawab pelaku penanggulangan bencana; pembentukan badan penanggulangan bencana, peran serta masyarakat; dana penanggulangan bencana; serta pengawasan.

Ketentuan yang berisi perintah dalam RUU PB yaitu adanya alokasi anggaran penanggulanan bencana yang cukup dalam APBN/APBD; setiap program pembangunan harus menyertakan dokumen analisis risiko bencana; perlindungan kelompok rentan disaat tanggap darurat; dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi korban saat bencana. Ketentuan yang memuat larangan meliputi melalukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya prasarana maanjemen risiko bencana; melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi pada wilayah rawan bencana tanpa izin.

RUU tentang Penanggulangan Bencana juga memuat sanksi berupa sanksi administratif berupa peringatan atau pencabutan ijin. Serta sanksi perdata berupa ganti rugi dan sanksi pidana berupa hukuman badan dan denda terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran atas larangan ataupun perintah.