31 Desember 2007

Menuai Bencana Demi Bencana

Tanggal : 31 Desember 2007
Sumber : http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=50167

BUMI mengalami kerusakan yang cukup parah. Konstruksi tanah menjadi rapuh.Teramat mudah terjadi longsor. Laut tercemar, kerusakan karang cukup besar, biota laut tidak stabil. Udara semakin kotor. Makhluk bumi di daerah tropis mengeluh, mengapa udara terasa sangat gerah dan sinar matahari seakan meretakkan ubun-ubun?

Udara

Mari kita mendongak ke langit. Pada ketinggian 20-50 km di atas sana, payung bumi berupa lapisan ozon sudah berlubang. Di beberapa wilayah sinar ultraviolet langsung menghujam bumi tanpa halangan sedikit pun.

Kabar yang lebih menakutkan, di atas Antartika, lubang lapisan ozon menjadi 25 juta km persegi atau hampir sama luas Amerika Utara!

Ini tentu ancaman bencana yang mahadahsyat. Sinar matahari secara telanjang menerpa gunung es yang selama ini menjadi penyeimbang bumi. Perlahan-lahan lapisan es di kutub akan mencair. Pencairan tersebut menjadikan debit air bertambah.

Praktis air laut akan menjadi pasang. Ketinggian air laut akan naik satu hingga dua meter.

Mari kita membuka peta dunia. Berapa ribu pulau akan lenyap dan sebagian akan menjadi kota bawah laut. Pulau-pulau eksotik seperti Honolulu, Hawaii, Azores, Cape Verde, Iceland, Bermuda, Cocos, dan boleh jadi Khayangan akan tinggal cerita. Bentuk peta dunia tidak lagi seperti sekarang.

Bagaimana nasib negara kita? Entah bagaimana nasib kota-kota sentral seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Denpasar, dan Makassar.

Lapisan ozon (O3) semakin rusak. Juga luas. Kerusakan tersebut terus bertambah. Padahal, lapisan atmosfir merupakan unsur penting kehidupan. Kelestariannya sangat perlu dijaga. Ozon berperan sebagai penapis, atau semacam payung bumi, agar terhindar dari radiasi sinar ultraviolet B matahari langsung.

Manusia, hewan, dan tumbuhan tidak mempunyai daya tahan yang cukup lama dari terpaan sinar ultraviolet. Bahaya terhadap manusia berupa semakin turunnya kekebalan tubuh, meningkatnya penyakit infeksi, kanker kulit, peradangan, dan katarak.

Kualitas tanaman juga menurun. Populasi hewan terganggu karena rusaknya ekosistem, baik di laut maupun darat.

Ozon rusak karena udara yang tercemar. Pencemaran udara dikarenakan semakin tingginya penggunaan bahan perusak ozon dalam kehidupan manusia. Bahan perusak ozon biasanya digunakan dalam bentuk tembakau, halon, foam, metal bromide.

Perusak ozon juga dalam bentuk knalpot kendaraan dan asap pabrik, penggunaan air condition (AC) yang tidak ramah lingkungan. Perusak ozon juga berupa demo dengan membakar ban bekas yang biasa dilakukan sekelompok masyarakat.

Penggunaan hair spray, parfum, deodoran semprot yang mengandung propellant aerosol juga merusak ozon.

Bagi umat manusia, kerusakan ozon bisa berakibat menimbulkan sekelompok manusia dengan pertumbuhan gen yang menyimpang. Selama ini sudah muncul kelompok manusia dengan gen yang aneh. Ada manusia bersisik, manusia pohon, dan lain-lain.

Jangan-jangan film-film yang biasa kita tonton tentang makhluk mutan merupakan prediksi tentang keadaan manusia di masa datang.

Laut

Luas laut jauh melebihi daratan. Meski beberapa wilayah melakukan reklamasi, lantaran kebutuhan dan pertumbuhan manusia, namun laut tetap lebih luas. Penimbunan laut ini tentu demi pembangunan. Namun ruang laut semakin berkurang. Akibatnya volume laut bertambah.

Selain itu, selama 2007, beberapa kali terjadi bencana-laut. Misalnya gempa dasar laut di beberapa wilayah, seperti di perairan Manado dan Majene. Kepulauan Solomon malah diterjang tsunami pada April 2007. Belum lagi beberapa kapal tanker yang terbalik dan menumpahkan minyak – baik dekat pelabuhan maupun di perairan lepas.

Kerusakan laut sampai sekarang belum dapat diukur seberapa luas. Namun dampak tsunami, seperti yang terjadi pada 26 Desember 2004, tidak akan pulih hingga 50 tahun ke depan.

Sementara di darat, struktur tanah semakin rapuh. Penggundulan hutan, penambangan, menjadikan tanah kehilangan perekat. Erosi gampang terjadi. Unsur hara tanah semakin berkurang. Produksi tanaman berkurang. Sungguh, bumi ini sudah teramat rusak.

Bencana

Inilah dampak yang harus kita terima. Bencana alam terjadi di mana-mana, datang silih berganti. Bencana demi bencana seakan dituai. Hingga penghujung 2007, bencana banjir dan tanah longsor menjadi wajah buruk akhir tahun. Jakarta sudah menjadi kota yang payah. Ibukota yang menjadi kebanggaan itu, setiap tahun langganan banjir.

Sejumlah wilayah kelabakan lantaran banjir. Pulau Sumatera, Jawa, Bali menjadi “kelebihan” air.

Sungai Bengawan Solo meluap. Air mengalir sampai jauh. Beberapa kabupaten terendam banjir. Bojonegoro, Sukoharjo, Sragen, tiba-tiba menjadi wilayah berkubang. Warga mengungsi mencapai 7.000. Bengawan Solo tidak saja mengalir sampai jauh tapi juga tinggi.

Hujan biasanya mengakibatkan tanah longsor. Keadaan tanah yang semakin rapuh lantaran struktur tanah yang rusak diakibatkan penggundulan hutan, kebakaran, penggalian, dan pembukaan lahan baru. Longsor terjadi di Trenggalek, Jawa Timur dan menelan 60 korban jiwa.

Dari zaman dahulu sudah ada pesan agar lingkungan harus dijaga. Cukup dengan melakukan hal yang sederhana. Seperti di Palopo, ada kecamatan yang memberlakukan, setiap ada yang mau menikah, pasangan tersebut harus menanam pohon.

Kesadaran untuk melestarikan bumi. Sebab, bumi, air, dan kekayaan alam lainnya harus dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya. Bukan untuk dirusak sebesar-besarnya. (alimdjalil@fajar.co.id)


TERKAIT PENCEMARAN MINYAK HITAM ; Selesai, Upaya Pembersihan Laut Cilacap

Tanggal : 31 Desember 2007
Sumber : http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=147449&actmenu=43

CILACAP (KR) - Upaya pembersihan terhadap perairan laut Cilacap yang tercemar minyak hitam sejenis marine fuel oil (MFO) atau Industrial fule Oil (IFO) dinyatakan selesai, setelah upaya penyedotan minyak dari perahu-perahu nelayan yang diperbantukan menjaring tumpahan minyak itu selesai, Minggu (30/12) pagi. Semalaman sejumlah petugas marine di sekitar dermaga khusus BBM Area 70 harus bekerja ekstra meladeni ratusan perahu nelayan yang menepi dengan memuat minyak hitam untuk melakukan penyedotan. Selanjutnya hasil penyedotan itu dikirim ke Area 70 untuk ditampung sementara. Sejumlah nelayan yang dilibatkan untuk melakukan pembersihan mengaku belum mendapatkan uang, karena upah pembersihan direncanakan baru akan dibayar pada Senin (31/12). Karena pada hari Minggu seluruh bank tutup. “Sesuai kesepakatan untuk satu perahu akan dibayar Rp 450 ribu,”kata Saring, seorang nelayan. Seperti diketahui, perairan laut Cilacap terutama antara perairan Karangbolong Nusakambangan hingga Area 70 atau kompleks Dermaga Khusus BBM milik Pertamina Unit Pengolahan (UP) IV Cilacap tercemar minyak hitam, sejak Sabtu (29/12). Diperkirakan minyak hitam yang mencemari perairan Cilacap merupakan muatan kapal yang tumpah ketika diisi. Belum jelas muatan kapal mana yang tumpah tersebut karena tim yang dibentuk Pemda Cilacap dan Pertamina UP IV masih melakukan penelitian. Sementara dimungkinkan tumpahan minyak itu sudah terjadi sejak Sabtu dini hari. Awalnya, Sabtu pagi, sejumlah nelayan yang biasa beroperasi di sekitar selat antara Cilacap dan Nusakambangan merasa kaget mendapati cairan hitam mengapung di perairan tersebut. Cairan hitam itu kian menyebar sejalan dengan pasang surut air laut. Sehingga hampir seluruh perairan tercemari minyak hitam. “Sekitar pukul 06.30, saya sedang mencari recekan di sekitar pantai Karangbolong. Terus saya lihat ada cairan hitam,”ujar Marjono nelayan Donan. Kemudian ia berbalik ke arah tengah, ternyata cairan hitam itu terlihat menyebar, sehingga ia segera menghubungi petugas untuk melaporkan kejadian tersebut. Ketua Solidaritas Nelayan Cilacap (Sonci) Rasiono mengatakan prihatin dengan munculnya kembali kasus pencemaran laut Cilacap. Terutama dengan kasus pencemaran kecil di sekitar dermaga khusus BBM yang sering terjadi dan tidak jelas kelanjutan penanganannya.”Selama ini hanya dilakukan upaya pembersihan setelah itu tidak jelas kelanjutannya. Padahal seharusnya ada pertanggung jawaban yang jelas terhadap kasus pencemaran,” katanya. Diakuinya, bagi nelayan jika mereka dilibatkan untuk melakukan pembersihan dan dibayar bisa dikatakan cukup. Karena mereka bekerja kemudian dibayar. “Lalu pertanggung jawaban kasus pencemarannya bagaimana,” lanjutnya. (Mak)-c Selama ini kasus pencemaran laut di Cilacap tidak jelas penanganannya secara normatif. Mereka yang diduga melakukan pencemaran tidak dikenakan sanksi apapun. Sementara Pertamina sebagai pihak pemilik kilang dan segala hasilnya kurang transparan untuk menjelaskan dari mana asal minyak yang mencemari laut Cilacap, sehingga terkesan hasil penelitian laboratorium migasnya ditutupi.

28 Desember 2007

Tempat Sampah Raksasa yang Tersamar

Tanggal : 28 Desember 2007
Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/tempat-sampah-raksasa-yang-tersamar.html


KERUH,kumuh. Itulah fakta lain di balik tenangnya perairan Selat Madura.Apa yang terkandung dalam perairan selat itu sangat ”mengerikan”. Perairan jalur ekonomi yang menjangkau seluruh Indonesia, bahkan mancanegara ini, bak “tempat sampah raksasa”. Orang akan semakin terhenyak jika tahu apa yang ada didalam selat itu.


Sampah yang ”bercokol” di dasar selat itu bukan sampah biasa,yang umum disaksikan di darat. Sampah di situ lebih heterogen, mulai dari yang terkecil, seperti plastik bekas, hingga yang paling besar seperti bangkai kapal. Ranjau laut yang pernah ditebar pada masa Perang Dunia II juga masih berdiam di dasar laut, dalam keadaan aktif. Proses dockingkapal,serta aktivitas kapal reguler lainnya pun berperan atas produksi limbah yang mencemari perairan.


Belum lagi limbah industri dari Pelabuhan Rakyat Kalimas, yang juga bermuara di perairan Tanjung Perak, serta Kali Surabaya yang bermuara di kawasan Kenjeran. Suplai sampah rumah tangga, yang ikut ”menghuni” bawah laut ini, diperkirakan mencapai puluhan meter kubik per hari. Sampah inilah yang membentuk timbunan lumpur dasar laut,yang sampai saat ini belum diketahui pasti berapa ketebalannya.


Bangkai Kapal Tersebar


Untuk diketahui, kawasan Selat Madura, khususnya di perairan Tanjung Perak, adalah perairan yang banyak ”dihuni” bangkai kapal.Humas Administratur Pelabuhan (Adpel) Tanjung Perak Sukaisi mengaku belum tahu pasti berapa bangkai kapal dalam selat tersebut. “Jumlahnya fluktuatif. Sebab, ada sebagian bangkai yang telah diangkat atau dipindahkan ke kuburan kapal,”paparnya. Bangkai kapal yang diangkat hanyalah bangkai yang berpotensi menimbulkan gangguan lalu lintas laut.Sedangkan bangkai kapal yang dirasa aman, baik dari ukuran maupun kedalamannya, dibiarkan teronggok begitu saja tanpa ada upaya pengangkatan.“ Kebanyakan kapal juga sudah terendam lumpur,” tambahnya.


Ranjau pun Mengancam


Selain bangkai kapal,ranjau laut termasuk benda yang punya andil besar mencemari perairan Selat Madura. Bahan peledak peninggalan Angkatan Laut Belanda maupun Jepang, yang pangkalannya sekarang ditempati sebagai Markas Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim), ini tersebar di kedalaman 15–20 meter. Sebagian besar ranjau dipasang saat Perang Dunia II. Sampai saat ini bahan peledak tersebut belum diambil. Berdasarkan aturan internasional, yang berhak mengambil adalah yang memasang.


Menurut Komandan Satuan Pasukan Katak Koarmatim Kolonel Laut (E) M Faisal, jika ditinjau dari segi pencemaran lingkungan, ranjau laut termasuk tidak membahayakan. Karena ranjau-ranjau tersebut terbuat dari TNT. “Umumnya,sifat TNT stabil terhadap lingkungan,termasuk di bawah air sekalipun. Ia akan terus aktif dan tidak akan rusak,”katanya. Namun yang dikhawatirkan, keberadaan ranjau itu membahayakan aktivitas di Selat Madura.


Misalnya pengeboran lepas pantai dan pelayaran sipil. Untuk mengantisipasinya,Faisal mengaku telah memberikan peta pelayaran,yang menggambarkan titik-titik ranjau berdasarkan Dinas Oceanografi (Dishidros) TNI AL. “Peta ini adalah petunjuk untuk berlayar dan juga melakukan latihan di dalam air,” tandasnya. Sebagai upaya antisipasi lain, pihaknya telah melakukan penyisiran sekaligus pemusnahan ranjau sesuai dengan kewenangannya.“ Jumlah yang telah kami musnahkan cukup banyak. Tapi, untuk detail jumlahnya kami tidak ingat,” imbuhnya. Menurut perwira asli Palembang ini, jenis ranjau-ranjau yang tersebar tersebut tidak bisa dipastikan.


Tapi, setidaknya ada tiga jenis ranjau, yaitu ranjau apung yang ada di permukaan air; ranjau melayang yang mampu melayang di kedalaman 5–10 meter; dan ranjau dasar, yang menancap di dalam lumpur dasar laut. Melihat fungsi dan posisinya, ranjau pertama dan kedua adalah ranjau yang rawan benturan, yang bisa mengakibatkan ledakan.Kondisi ini membahayakan lalu lintas laut Selat Madura. Keberadaannya juga sulit dideteksi. “Misalnya di peta ada.Tapi,begitu dilakukan pengecekan tidak ada. Karena ia hanyut terbawa arus laut,” ucapnya. Sedangkan ranjau yang disebutkan paling akhir adalah ranjau yang rawan getaran magnet. Sayangnya,Faisal tidak bisa memastikan ranjau mana yang paling banyak tersebar di selat Madura.Namun, dari hasil penyisiran selama ini,ranjau yang ada adalah rawan tumbukan.


Sampah Rumah Tangga


Di samping dua jenis sampah “raksasa” di atas, masih ada limbah yang dampaknya tak kalah besar; sampah limbah rumah tangga, salah satu limbah yang dominasinya dalam pencemaran Kali Surabaya mencapai 60%.Sampah ini terkumpul dan terpusat di satu muara, Selat Madura. Timbunan sampah di Kali Surabaya ini bisa dilihat di sekitar Jembatan Greges,Pesapen, Bozem Morokrembangan, maupun saluran Salatiga. Sampah anorganik yang masuk ke pantai sampai saat ini belum sepenuhnya berhasil diminimalisasi. Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Jatim masih berupaya menyelesaikan pembangunan mechanical screendi saluran Greges.


Dampaknya tidak hanya membuat pemandangan di kawasan Tanjung Perak dan Kenjeran kurang sedap,namun juga mampu mengganggu arus lalu lintas kapal feri dan perahu nelayan. Sampah-sampah ini juga bisa merusak biota laut. Sementara dari pencemaran limbah industri, dampak yang ditimbulkannya tidak langsung terjadi, tapi baru dirasakan beberapa tahun ke depan.Limbah industri yang kebanyakan berupa logam berat anorganik, atau yang tidak mampu diurai ini menimbulkan dampak permanen, baik bagi kehidupan biota laut maupun manusia.


Menurut data LSM Ecological Observetion and Wetlands Coservation (Ecoton), ada sekitar 20 ton limbah cair yang dibuang ke Kali Surabaya setiap harinya. Sementara kali tersebut terbelah menjadi dua sebelum bertemu di laut. Satu di antara Kalimas,yang bermuara di kawasan Tanjung Perak. “Meski Kalimas cabang dari Kali Surabaya, namun limbah yang dibawa bukan dari Kali Surabaya saja. Limbah bisa lebih banyak lagi. Di sepanjang Kalimas masih ada berapa perusahaan yang membuang limbahnya di saluran ini,” papar Ketua LSM Ecoton Prigi Arisandi.


Ada 20 ton limbah cair setiap harinya mengalir dari 1.550 industri di Surabaya,yang tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Bisa dibayangkan, berapa zat anorganik berbahaya yang terkandung dalam limbah industri bermuara di Selat Madura.Ambil contoh merkuri, timbal, timah, dan kadmium. Ecoton telah membuktikan, 2002 lalu kandungan merkuri di Kali Surabaya,yang berujung di Tanjung Perak dan Kenjeran, 100 kali lebih tinggi dari kadar normal.


Di kawasan Tanjung Perak hingga ke laut bagian timur Surabaya, kandungan logam berat yang satu ini telah merasuk ke biota laut. Salah satu contoh yang pernah diambil adalah ikan tongkek. Dari hasil penelitian, ikan ini telah mengandung 0,5734–1,273 ppm merkuri. Sementara kandungan logam tembaganya mencapai 0,2 ppm. Padahal, seharusnya kadar aman kandungan logam pada ikan hanya 0,1 ppm.Tentunya pencemaran tersebut mampu menimbulkan dampak lebih luas lagi, bahkan hingga ke manusia di sekitarnya.


“Dari hasil penelitian kami sejak 2002 lalu, tercatat 86% anak di kawasan pantai utara dan timur Surabaya,khususnya di Kenjeran, mengalami sindrom slow learner (lambat belajar). Di kawasan yang sama, kandungan kadmium dan timbal juga telah mencemari air susu ibu,”lanjut Prigi. Dia memaparkan, kandungan kadmium di air susu ibu telah mencapai 36 mg/l. Sementara batas aman menurut WHO hanya 20 mg/l. Demikian juga dengan kandungan timbal yang telah mencapai 543 mg/l, jumlah tersebut jauh lebih tinggi dari batas aman yang ditetapkan WHO sebesar 5 mg/l. (lutfi yuhandi/ soeprayitno/yunice aprily).

Pembalakan Liar di Kalsel Beralih ke Hutan Bakau

Tanggal : 28 Desember 2007
Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/12/28/pembalakan-liar-di-kalsel-beralih-ke-hutan-bakau/

Banjarmasin (ANTARA News) - Razia pembalakan liar (illegal logging) yang dilakukan aparat kepolisian dan kehutanan Kalimantan Selatan beberapa tahun terakhir ini membuat warga beralih membabat hutan bakau untuk memenuhi kebutuhan pembangunan rumah.

Kepala Bappedalda Kalsel Rachmadi Kurdi, Jumat, mengungkapkan sejak aparat keamanan gencar melakukan razia "illegal logging", warga mulai tidak berani mengambil kayu dari hutan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan perumahan.

Akhirnya, warga beralih mengambil kayu mangrove atau bakau yang memiliki diameter 20 sentimeter ke atas, yang diperjualbelikan untuk pembangunan perumahan sebagai alternatif pengganti kayu ulin.

"Untuk mendapatkan kayu ulin saat ini sangat sulit, bahkan yang legal sekali pun. Salah-salah juga bisa ditangkap aparat keamanan, makanya untuk pembangunan perumahan banyak warga beralih ke kayu mangrove," katanya.

Akibatnya, kini penebangan mangrove, terutama di daerah pesisir seperti Kabupaten Kotabaru, Batulicin, dan Banjar, dalam jumlah besar semakin marak.

Bila kondisi ini terus dibiarkan, tambahnya, akan semakin mempercepat terjadinya abrasi di wilayah pantai dan tidak menutup kemungkinan akan sampai ke daratan atau permukiman penduduk, seperti di daerah Sungai Musang, Bakambat, dan lainnya.

Abrasi akibat maraknya penebangan mangrove ini, tambahnya, bila dibiarkan terus berlanjut, akan membuat beberapa pulau di Kalsel hilang, seperti yang terjadi di beberapa provinsi di pinggiran pesisir laut, yang juga telah kehilangan ratusan pulaunya akibat abrasi pantai.

"Kami belum melakukan penelitian secara detail tentang hilangnya pulau di Kalsel, tetapi saya yakin pasti beberapa pulau sudah ada yang hilang akibat abrasi ini," katanya.

Penebangan mangrove bukan hanya untuk kegiatan pembangunan perumahan, melainkan juga untuk pembuatan arang yang sebelumnya memanfaatkan kayu hutan untuk memenuhi kebutuhan arang di bebrapa daerah seperti Kota Banjarmasin, Banjarbaru, dan lainnya, selan juga untuk kegiatan tambak.

"Dampak penebangan mangrove ini sangat luar biasa, bukan hanya mengancam permukiman penduduk, melainkan juga kelestarian ikan maupun biota laut lainnya," tambah Rachmadi.

Diungkapkannya, kawasan pesisir pantai di Kalsel saat ini mencapai 550 kilometer yang membentang dari Kabupaten Banjar, seperti Tabunganen, Aluh-Aluh hingga kawasan Kabupaten Kotabaru dan Batulicin.

Dari total kawasan tersebut, hampir 70 persen dalam kondisi rusak dan rusak parah sehingga perlu segera mendapatkan perhatian serius seluruh aparat terkait di tingkat provinsi dan kabupaten.

26 Desember 2007

Rentetan Bencana Alam di Sumatera Barat

Tanggal : 26 Desember 2007
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0712/26/sh04.html

PADANG—Pada 17 September 2007 lalu saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke lokasi gempa di Pesisir Selatan, mengatakan bahwa wilayah Sumatera Barat itu swalayannya
bencana. Ungkapan itu tidaklah sembarang sebut saja, karena bermacam-macam bencana alam memang melanda Ranah Minang akhir-akhir ini.

Dalam dua tahun terakhir saja, bertubi-tubi aneka bencana terjadi. Sebut saja tanah longsor seperti yang terjadi di Air Dingin, Kabupaten Solok, pada Jumat 15 Desember 2006. Bencana tersebut mengakibatkan 19 orang tewas. Sebelumnya, Gunung Talang meletus pada April 2005, disusul terjadinya abrasi di Padang dan Kabupaten Agam. Kemudian terjadi musibah banjir, puting beliung di Kabupaten Limapuluh Kota pada Oktober, dan terakhir gempa yang mengguncang pada tahun 2007 ini.

Dua kali seluruh kawasan di Sumbar dikoyak gempa bumi. Pertama pada Maret 2007, mengakibatkan 67 orang meninggal. Lalu pada 12 dan 13 September, ketika belum kering derai air mata, warga Sumbar kembali menangis. Kali ini korban jiwa delapan orang, luka berat 12orang dan 112 luka ringan.

Saking sudah “terbiasanya” dengan bencana, Presiden Yudhoyono memuji langkah cepat yang diambil Pemerintah Provinsi Sumbar dan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana. Untuk musibah gempa bumi dan tsunami, jauh-jauh hari Pemerintah Kota Padang sudah memiliki prosedur tetap (protap) penanganan dan penanggulangan bencana tersebut. Bahkan, Wali Kota Padang sudah mempresentasikan protap itu sampai ke Jerman.

Di Pantai Padang, pemerintah kota sudah membuat Posko Bencana. Jika gempa terjadi, petugas di posko tersebut kemudian membunyikan sirene tanda bahaya. Sirene dipasang di sepanjang Pantai Padang. Jadi, warga di pesisir pantai bisa mendengar sirene itu jika ada bahaya. Para petugas dibantu oleh tim lain seperti dari Komando Siaga Tusnami, Radio Amatir Antar Penduduk Indonesia (Rapi), Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia (Orari) dan organisasi lainnya. Jika bencana datang, mereka lalu saling bekoordinasi untuk penanggulangan dan penanganan bencana.

Selain itu, Pemerintah Kota (Pemko) Padang juga sudah membuat peta jalur evakuasi di sepanjang jalan di Kota Padang. Ini penting, mengingat dengan adanya peta jalur tersebut masyarakat sudah tahu secara pasti ke mana mereka harus mengungsi untuk sementara waktu. Hal tersebut sudah berkali-kali disimulasikan.

Pada pertengahan Desember tahun 2007 ini, simulasi gempa dan tsunami digelar. Kegiatan ini melibatkan tujuh pemerintah dan kabupaten di Sumbar. Hal tersebut merupakan langkah yang diambil untuk membiasakan masyarakat Sumbar menghadapi bencana alam. “Agar mereka tahu bagaimana caranya menghadapi bencana seperti gempa dan tsunami,” kata Wakil Gubernur Sumbar Marlis Rahman.

Pelaksanaan simulasi sudah direncanakan sejak awal, lebih sebagai pembelajaran atau memberi pengetahuan penyelamatan diri masyarakat bila bencana itu benar-benar datang. Marlis menjelaskan, Presiden Yudhoyono sudah menginstruksikan kepada seluruh departemen untuk membantu Sumbar menjadi pusat wilayah percontohan penanggulangan bencana di Indonesia.

Kepala negara memandang hal itu penting, karena Indonesia merupakan daerah rawan bencana. Marlis menambahkan, kegiatan simulasi seperti itu akan terus digiatkan, bahkan intensitasnya ditingkatkan dengan menggelar sekali setiap tiga bulan.

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) pun tidak mau berpangku tangan dalam hal ini. Mereka sejak awal 2007 sudah memasang sirene tanda bahaya di sejumlah daerah di Sumbar yang berada di pesisir pantai. Radius sirene mencapai 2 kilometer. Alat tersebut baru dipasang BMG di tujuh kabupaten/kota dengan bantuan tersebut dari Prancis.

Pusat pengendalian operasionalnya berada di Gedung Crisis Center PB Sumbar di Jalan Jenderal Sudirman. Data gempa yang masuk ke pengolahan lalu disampaikan kepada masyarakat apakah berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Jika dalam 30 menit tidak ada tanda-tanda gempa, maka informasi potensi tsunami langsung dibatalkan.

Penampungan Pengungsi
Begitulah Sumbar dalam menghadapi bencana. Segalanya sudah dipersiapkan dan disimulasikan. Dengan harapan, masyarakat tidak gampang panik saat bencana betul-betul terjadi. Hanya saja, ada yang terlupa. Sampai sejauh ini, khususnya di Padang, pemerintah kota belum menetapkan lokasi titik penampungan pengungsi saat bencana terjadi. Pemko hanya menunjukkan daerah ketinggian yang bisa dijadikan tempat mengungsi, sementara lokasi titik pengungsian tidak ada.

Dulu, Pemko Padang menjelaskan jika bencana tsunami terjadi maka warga bisa mengungsi ke gedung-gedung yang sudah ditentukan. Tapi, sekarang kondisi gedung itu sudah retak-retak dan tidak layak lagi untuk menjadi tempat pengungsian. Sehingga kalau gempa terjadi, sekarang masyarakat berduyun-duyun menuju Jalan By Pass, Indarung dan kawasan Limau Manis untuk menyelamatkan diri.

Belum lagi adanya penambahan lebar jalan. Ruas jalan yang dipakai untuk mengungsi melalui jalur evakuasi hanya cukup untuk dilewati dua mobil. Tidak bisa lebih. Padahal, ketika gempa terjadi pada Maret dan September 2007, jalan tersebut macet total. Bisa jadi masyarakat belum sampai ke daerah ketinggian, bahaya sudah semakin mendekati mereka. Jadi, persiapan menghadapi bencana tidak cukup hanya dengan simulasi, tetapi sarana dan prasarana evakuasi juga perlu dipikirkan oleh pemerintah.

21 Desember 2007

Pulau-pulau Kecil di Kalteng Aman

Tanggal : 21 Desember 2007
Sumber : http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/10184/299/


PALANGKA, BPOST - Kasus upaya penjualan dua pulau di Provinsi Nusa Tenggara Barat belum lama ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh daerah di Indonesia. Meski tidak memiliki pulau terluar, namun Kalteng tidak ingin terjadi permasalahan terhadap pulau-pulau kecil mereka. Karena itu pemerintah provinsi menginventarisir dan memberi nama pulau-pulau kecil setempat.


Asisten II Bidang Pemerintahan Setdaprov Kalteng, Tonny Prihartono, mengatakan, inventarisasi dan pemberian nama pulau-pulau kecil itu untuk mempertegas legalitas. Hal itu juga untuk menghindari munculnya permasalahan antar daerah di kemudian hari.


"Masalah pulau-pulau kecil itu isu strategis, apalagi mengandung potensi sumber daya alam. Makanya kita ingin semua statusnya jelas dan mempunyai nama. Sehingga kalau ada masalah, semua sudah ada dasar hukumnya," katanya, Rabu (19/12).


Tonny mengatakan semua pulau kecil di Kalteng aman karena tidak ada pulau terluar yang berhadapan atau berbatasan langsung dengan negara tetangga. Begitu juga terkait statusnya, hingga saat ini dipastikan tidak ada dimiliki oleh warga asing karena umumnya semuanya di bawah pengelolaan dan pengawasan pemerintah daerah masing-masing.


Untuk legalitas, semua pulau-pulau kecil yang telah diinventarisir kemudian diberi nama. Selanjutnya pulau-pulau tersebut diusulkan ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk diregistrasi dan disahkan.


Sebelumnya Biro Ketataprajaan Setdaprov Kalteng menyebutkan saat ini sedikitnya terdapat 40 pulau kecil yang tersebar di Kalteng. Selain itu, saat ini juga terdapat lima pulau di laut Jawa bagian Selatan Kalteng, tepatnya di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat yang belum memiliki nama.


Pulau terbanyak di Kabupaten Kapuas yaitu 13 pulau disusul Kotim tujuh pulau, Katingan enam pulau, Pulang Pisau enam pulau, Palangka Raya empat pulau dan Sukamara empat pulau. Sedangkan Kabupaten Lamandau, Bartim dan Gunung Mas tidak memiliki pulau kecil.

17 Desember 2007

Pemilik Pulau Siap Serahkan Pulaunya ke Pemerintah

Tanggal : 17 Desember 2007
Sumber : http://www.pjinews.com/content/view/67/13/


Sumenep, PJINEWS.COM - Terungkapnya kasus penjualan pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat (NTB) lewat situs internet, ibarat puncak gunung es. Karena nyatanya, banyak pulau-pulau yang telah menjadi hak milik pribadi. Tetapi saat ini, banyak warga yang ingin mengembalikan pulau tersebut pada negara.

Seperti yang dilakukan warga Kepulauan Kangean, Sapeken dan Raas, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, yang memiliki hak pulau dengan bukti sertifikat tanah di sejumlah pulau kecil tak berpenghuni, siap mengembalikan kepada negara melalui proses yang dibenarkan hukum.

Anggota DPRD Sumenep, Miftahul Rahman misalnya, yang mengaku mempunyai hak milik terhadap Pulau Sarok, mengaku siap mengembalikan pulau yang sudah diatasnamakan dirinya itu bila dibutuhkan negara.

"Akan saya kembalikan kepada negara bila Pulau Sarok itu dibutuhkan negara," kata Miftah.

Menurut politikus PPP Sumenep ini, Pulau Sarok berlokasi di wilayah Desa Kroppo, Kecamatan Raas dengan luas 20 hektar lebih.

Pulau Sarok tersebut tercatat milik almarhum H. Asyari warga setempat dan mantan Kepala Desa Kroppo. H. Asyari merupakan kakek Miftahul Rahman (50) yang saat ini anggota DPRD Sumenep.

Dikabarkan pula, ada tiga pulau di wilayah Kecamatan Sapeken, Sumenep, yang telah dimiliki dan dikuasai oleh perorangan, yakni Pulau Piropok (bukan Biropok), Pulau Kamarong (buan Komarang), dan Pulau Setabo (bukan Sitabok).

Sedangkan Pulau Pandan, Desa Banmaleng, Kecamatan Giligenting, seluas dua hektare, sejak tahun 1950 juga tercatat milik warga setempat sehingga tercata ada lima pulau yang saat ini dikabarkan atas nama pribadi warga.

Pulau di Kepri Rawan Hilang

Tanggal : 17 Desember 2007
Sumber : http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=15375&Itemid=51


Anggaran Provinsi Kepulauan Harus Naik
JAKARTA-Komisi I DPR mendesak pemerintah lebih meningkatkan perhatian terhadap provinsi-provinsi kepulauan dengan memperbesar anggaran bagi provinsi tersebut. Saat ini, Indonesia memiliki tujuh provinsi kepulauan yaitu Kepulauan Riau (Kepri), Maluku, Maluku Utara (Malut), Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR Sidarto Danu Subroto berpendapat hingga kini pembangunan yang dilakukan pemerintah masih berorientasi daratan kendati Indonesia merupakan negara kepulauan. Itu antara lain terbukti dengan minimnya perhatian terhadap wilayah kepulauan. "Konsep kepulauan belum dianggap," ujar politisi PDIP ini saat dihubungi Minggu (16/12).

Sidharto bersama 23 anggota Komisi I lainnya pekan lalu melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Kepri. Rombongan Komisi Pertahanan DPR itu antara lain berkunjung ke Tanjungpinang, Bintan, Batam, dan Natuna. Selama kunjungannya di wilayah ini, rombongan yang dipimpin Sidharto bertemu dengan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah dan Muspida Provinsi Kepri.

Sidharto mengatakan provinsi kepulauan membutuhkan dana yang lebih banyak dibanding provinsi daratan. Alasannya, biaya transportasi antarpulau lebih tinggi dibanding daratan. Dia mencontohkan, harga satu buah boat sama dengan harga sepuluh bus.

Selain kenaikan anggaran, kata dia, pemerintah harus mengintensifkan pelayanan angkutan antarpulau. "Cost untuk angkutan laut dan udara antarpulau lebih mahal," katanya.

Provinsi Kepri, kata Sidharto, memiliki sekitar 2.400 pulau. Sebagian besar pulau-pulau di provinsi ini belum diberi nama. Dia mengatakan, di Kabupaten Natuna terdapat 250 dari 352 pulau yang belum bernama. "Pulau-pulau itu umumnya tidak berpenghuni," katanya.

Dia menjelaskan, 12 pulau di perbatasan Natuna dan Vietnam memang sudah bernama. Namun, pulau-pulau itu tak berpenghuni. Anggota TNI yang patroli hanya sesekali datang ke pulau-pulau yang tidak memiliki air tawar dan bahan makanan itu. Kondisi tersebut, lanjutnya, membuat pulau-pulau di perbatasan Kepri dengan negara lain sangat rawan dikuasai negara lain karena sumber daya gas dan minyak di Natuna sangat banyak. "Harus ada upaya TNI untuk show the flag dengan membangun pos penjagaan dan mercusuar di sana," ujarnya.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PAN Abdillah Toha menambahkan sebagian dari pulau-pulau yang ada di Kepri telah memiliki nama lokal. Namun, nama-nama itu belum diresmikan pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri).

Selain perlu segera diresmikan namanya, kata Abdillah Toha, Depdagri juga harus segera mendaftarkan pulau-pulau itu ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar tidak diklaim negara lain suatu saat. "Biaya pendaftaran kecil tapi Departemen Dalam Negeri saja yang tidak memprioritaskan,' katanya.

Menurut Pemerintah Kepulauan Riau, ujarnya, 1.700 pulau sudah diakui PBB. Sebagian pulau lainnya dianggap sebagai gugusan pulau yang menyatu dengan pulau yang lebih besar.

Anggota Komisi Kelautan DPR dari Fraksi PDIP Gandjar Pranowo meminta pemerintah segera mendaftarkan seluruh pulau di wilayah Indonesia. Batas waktu pendaftaran pulau ke PBB berakhir tahun depan. "UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) meminta pulau-pulau segera didepositkan ke PBB," katanya.

Gandjar mengatakan pendepositan itu melingkupi pendaftaran serta klaim dan reklaim pulau. Klaim dan reklaim, katanya, terkait dengan pulau-pulau yang ada di perbatasan. "Pulau kecil yang tidak berpenghuni rawan pencurian," ujarnya.

Menurut dia, selama ini registrasi pulau dipimpin oleh Depdagri sedangkan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bertugas meneliti pulau. Penelitian itu meliputi penelusuran riwayat, kondisi geografis, dan koordinat letak pulau. "Komisi Kelautan (DPR) akan menanyakan ke DKP dalam rapat pertama di masa sidang berikutnya. Jangan-jangan terjadi misleading," katanya.

Depdagri Data Pulau Kecil

Sementara itu, Direktur Wilayah Administrasi dan Perbatasan Depdagri Kartiko Purnomo mengatakan departemennya sudah mulai mendata nama-nama pulau kecil di seluruh Indonesia untuk mengantisipasi klaim asing. "Jumlahnya saat ini terus bergerak. Data terakhir, sudah ada lebih dari 6.913 pulau yang tersebar di 16 provinsi," kata Kartiko Purnomo dalam diskusi bertajuk "Lagi-lagi Pulau Dijual" di Jakarta, Sabtu (15/12).

Dia mengungkapkan, tim nasional pembakuan nama bertugas bukan hanya menamai pulau-pulau alami, tetapi juga pulau buatan. "Masukan nama pulau itu dari masyarakat sekitar pulau itu. Lalu, setelah itu kita bakukan," ujarnya.

Pada konvensi PBB yang akan dilaksanakan pada 2012, dia berharap tim sudah bisa melaporkan seluruh nama pulau yang telah diverifikasi. Kartiko mengatakan, selain mendata nama pulau-pulau kecil, tim itu juga menelusuri kebenaran iklan di situs www.karangasemproperty.com. Dalam situs ini tertera penjualan dua pulau milik Indonesia yaitu Pulau Panjang dan Pulau Meriam Besar di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Hasilnya, dia mengakui kalau penjualan pulau itu memang ada. Namun, transaksinya hanya sesama warga Indonesia. "Sebenarnya tanah itu bukan hak milik mereka.Tapi, mereka sebagai penggarap yang setelah direkayasa kemudian bisa dibeli seseorang. Pembelinya menyertifikasi tanah itu," ujarnya. Dia mengungkapkan, proses sertifikasi yang dilakukan Bupati Sumbawa tersebut dianggap cacat hukum dan saat ini sertifikasi sudah dibatalkan.

Dia menjelaskan, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengatur bahwa tidak memperbolehkan orang asing atau badan hukum asing memiliki hak atas tanah di Indonesia. Tetapi, dalam rangka pengelolaan, hal itu diperbolehkan atas izin Departemen Kelautan Perikanan (DKP) tentunya dengan syarat ketat.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan, Pengendalian dan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan DKP Aji Sularso mengatakan pemerintah sedang menggodok peraturan untuk pelaksanaan UU No 27 tahun 2007. PP ini diperlukan untuk menghindari dijualbelikannya pulau atau kepemilikan pulau oleh orang asing atau perorangan. "Kita sedang godok PP tersebut dari berbagai unsur baik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Pariwisata, Perdagangan, Hankam untuk mengamankan pulau-pulau terkecil dan terluar Indonesia tersebut dari kepemilikan orang asing atau dijualbelikan," kata Aji Sularso, Sabtu (15/12).

Aji Sularso mengatakan, memang ada usaha memiliki pulau-pulau kecil dan terluar Indonesia oleh pribadi ataupun orang asing, namun berdasarkan perundang-undangan yang ada pulau tersebut tidak dapat dimiliki atau diperjualbelikan oleh perorangan. Yang memungkinkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut, kata Sularso, adalah hak guna usaha (HGU) dan bukan hak milik, Namun tidak semua pulau dapat dilakukan hal tersebut dan setelah keluarnya PP untuk pelaksanaan UU No. 27 tahun 2007 tersebut akan jelas aturan mainnya karena akan ditinjau dari berbagai aspek untuk sebuah pulau seperti nilai ekonomi, kepentingan batas negara maupun pariwisata.

Wakil Ketua DPD La Ode Ida menyatakan, polemik penjualan pulau sebagai reaksi masyarakat terkait kegagalan pemerintah dalam mengelola pulau dan memajukan daerah.

Operasi Keamanan Laut Akan Distandarisasi

Tanggal : 17 Desember 2007
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/12/17/brk,20071217-113736,id.html


TEMPO Interaktif, Jakarta:
Badan Koordinasi Keamanan Laut akan segera tetapkan standar operasi keamanan laut Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Kepala Pelaksana Harian Bakorkamla Laksamana Madya Djoko Sumaryono saat konferensi pers pembukaan Seminar Reformasi Birokrasi Keamanan Laut di Hotel Novotel Bogor, Senin malam (17/12).

Menurut Sumaryono, standarisasi itu perlu dilakukan karena selama ini memang belum ada patokan resmi yang seragam dalam operasi pengamanan laut di Indonesia. "Kita sedang upayakan untuk merangkum dari semua lembaga yang ada agar dalam prakteknya kita bisa satu bahasa dan cara," kata Sumaryono.

Pemegang wewenang dalam bidang kelautan di Indonesia memang bukan hanya satu lembaga atau instansi. Namun, kata Sumaryono, lembaga atau instansi tersebut ada dalam koordinasi yang dilakukan oleh Bakorkamla. Bakorkamla antara lain beranggotakan Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negari, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Panglima TNI, Kapolri, dan Jaksa Agung. Setiap bulan, kata Sumaryono, badan yang dipimpinnya melakukan pertemuan rutin untuk membahas masalah keamanan laut yang ada serta solusinya.

Masalah keamanan laut Indonesia, menurut Sumaryono, sangat beragam. Mulai dari keselamatan, penyelundupan, perompakan, ilegal fishing, ilegal logging sampai pencemaran. "Tapi secara garis besar kita bagi dalam dua hal, yaitu kemanan laut dan keselataman pelayaran," ujarnya. Dua masalah inilah yang sangat memerlukan perhatian dan penanganan dari seluruh aspek yang ada.

Dan salah satu upaya untuk memenuhi keduanya ialah dengan operasi keamanan laut yang mumpuni, terkoordinasi dengan standarisasi yang jelas. Sehingga tidak akan ada kebocoran atau salah faham dalam pelaksanaanya. "Kita harus aku memang dalam prakteknya operasi ini seringkali tidak sinkron," kata Sumaryono. Oleh karena itulah pihaknya akan segara melakukan standarisasi operasi keamanan laut.

Namun tidak adanya standarisasi selama ini, kata Sumaryono tidak berarti mengurangi upaya pengamanan laut. Bakorkamla telah menggelar tiga kali operasi yang yang disebut dengan operasi Gurita 1, 2 dan 3. Dalam operasi ini tak kurang dari Rp 136 miliar potensi kekayaan laut Indonesia berhasil diselamatkan. "Kami memang tidak punya aset atau sarana, tapi anggota kami seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, TNI AL dan kepolisian telah membantu dengan medelegasikan sarana dan armadanya sehingga operasi ini bisa berjalan," kata Sumaryono.

Ke depan, selain standarisasi, Badan Koordinasi akan membentuk Akademi Keamanan Laut untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam pengaman laut. Konsep serta kurikulum akademi tersebut sedang digodog pembentukannya dengan bantuan Departemen Kelautan dan Perikanan bersama Departemen Pendidikan Nasional.

"Pemerintah Jepang juga mengulurkan bantuan untuk membentuk akademi ini, semoga saja bisa dimulai pada akhir 2008," kata Sumaryono. Titis Setianingtyas

Baru Empat Kota Pesisir Susun Rencana Mitigasi Bencana

Tanggal : 17 Desember 2007
Sumber : http://202.155.15.208/online_detail.asp?id=317405&kat_id=23


Jakarta-RoL -- Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengungkapkan hingga saat ini baru empat kota pesisir di tanah air yang siap menyusun rencana mitigasi bencana.


Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) DKP, Syamsul Maarif di Jakarta, Senin (17/12) mengatakan, ke empat kota pesisir tersebut yakni Kota Padang, Denpasar, Kabupaten Serang dan Lombok Tengah.


"Secara nasional lokasi-lokasi tersebut akan menjadi model pengurangan risiko bencana di kota pantai," katanya dalam International Workshop on Coastal Disaster Mitigation.


Rencana aksi mitigasi bencana di empat kota tersebut, menurut dia, disesuaikan dengan karakteristik wilayah pesisir masing-masing yang mana Kota Padang merupakan pusat administrasi pemerintahan dan perekonomian wilayah.


Sedangkan Kota Denpasar merupakan pusat kegiatan pariwisata, Kabupaten Serang sebagai kawasan industri, dan Kabupaten Lombok untuk kawasan budidaya perikanan laut.


Menurut Syamsul, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia selain menyimpan potensi kekayaan alam juga memiliki potensi bahaya alam yang besar yang berasal dari gempa, tsunami, erosi, banjir, gelombang pasang dan kenaikan muka air laut.


Selain itu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mendapatkan dampak yang sangat signifikan dari perubahan iklim global dimana kejadian ekstrim seperti banjir, gelombang pasang dan badai merupakan potensi bencana akibat perubahan iklim yang merupakan ancaman.


Syamsul mengatakan, kondisi kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut tidak hanya berupa ancaman bencana alam namun juga dari faktor sosial ekonomi masyarakatnya.


Saat ini, tambahnya, di seluruh tanah air terdapat sekitar 8.000 desa pesisir dengan jumlah populasi lebih kurang 16,4 juta jiwa yang rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan serta tingkat pendidikan yang rendah.


Sedangkan 12 pulau dari 92 pulau kecil terluar yang sangat strategis secara geopolitik juga rentan terhadap kenaikan paras muka air laut.


14 Desember 2007

Gubernur NTB Laporkan Soal Penjualan Pulau

Tanggal : 14 Desember 2007
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/nusatenggara/2007/12/14/brk,20071214-113542,id.html

TEMPO Interaktif, Mataram:
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Serinata mengirim surat laporan penanganan penjualan Pulau Panjang, Pulau Meriam Besar dan Pulau Meriam Kecil di Kabupaten Sumbawa kepada Menteri Dalam Negeri hari ini.

Dari surat bernomor: 120/1093/Pem tertanggal 14 Desember 2007 disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten Sumbawa akan menggugat Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sumbawa di Pengadilan Negeri Sumbawa Besar untuk pembatalan penerbitan sertifikat hak milik pulau-pulau tersebut. Camat Plampang (waktu itu) Edy Retno Sanjaya sudah diturunkan pangkatnya satu tingkat.

Adanya surat laporan Gubernur NTB tersebut dikemukakan Kepala Bagian Perangkat dan Pengembangan Jonny Sutrianto Ratmajaya mewakili Kepala Biro Pemerintahan Radjendi kepada wartawan di kantornya, Jumat (14/12). "Surat Gubernur NTB tersebut menjelaskan telah terjadi transaksi jual-beli tanah," kata Jonny.

Sementara tim Departemen Dalam Negeri yang dipimpin Kepala Sub Direktorat Toponimi dan Pemetaan Anastutik Wiryaningsih beserta staf sudah meninjau langsung pulau-pulau tersebut, Kamis (13/12). Namun, mereka menolak untuk memberikan penjelasan. "Hasil kunjungan tersebut akan dilaporkan di Jakarta," katanya sewaktu dimintai konfirmasinya melalui Jonny Sutrianto.

Dalam surat itu dirinci kronologis penjualan tanah-tanah di tiga pulau tersebut yang dilakukan setelah Camat Plampang (waktu itu) Edy Retno Sanjaya dan Kepala Desa Teluk Santong Kaharuddin sepakat bahwa pulau-pulau tersebut layak dijual sehingga diterbitkan Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) atas nama para warga setempat yang dibuat oleh Kepala Desa mengetahui Camat.

13 Desember 2007

Depdagri Harus Lindungi Pulau-Pulau Indonesia

Tanggal : 13 Desember 2007
Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/nas/7c12125954-depdagri-harus-lindungi-pulau-pulau-indonesia.htm?rel


Departemen Dalam Negeri merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk mencegah kepemilikan asing atau perseorangan atas pulau-pulau kecil yang saat ini kembali marak diperdagangkan. Hal itu dikatakan Anggota Komisi I DPR Yuddy Chrisnandi, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu(12/12).

Karena itu, Ia meminta pemerintah untuk berkoordinasi interdepartemen, agar transaksi penawaran pulau-pulau kecil via internet ini tidak menjadi kenyataan, dan terulang dikemudian hari.


"Menko Polkam harus segera mengambil tindakan hukum untuk mencegah penjualan pulau-pulau tersebut, yang lebih penting adalah memelihara keberadaan yang lainnya, "ujar Yuddy.


Ia menegaskan, terungkapnya penjualan pulau lewat internet ini menunjukan kelalaian pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya, memelihara keutuhan NKRI dan melindungi eksistensi wilayah kepulauan.



Sementara itu, Menteri Pertahanan Juwono Sudharsono membantah kebenaran adanya penjualan Pulau Panjang dan Pulau Meriam Besar yang terletak di Desa Teluk Santong, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.


"Tidak benar itu, itu ilegal dan hanya iklan gombal, " kata Juwono, usai menjadi pembicara dalam Research Day, di FISIP UI, Depok.


Ia mengatakan, penyelidikan kasus tersebut masih akan menunggu hasil sidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam).


Ketika ditanya mengenai sanksi terhadap orang yang memasang iklan, Menhan mengatakan akan berkonsultasi terlebih dahulu. Dan pihaknya akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menhukham) Andi Matalata, mengenai proses hukumnya.


"Kita tidak tahu apakah hukum pidana kita dapat memberikan sanksi kepada pemasang iklan di internet yang akan menjual dua pulau itu, "pungkasnya.


Diketahui, sebuah iklan di internet http://www. Karangasemproperty.net menawarkan Pulau Panjang dan Meriam Besar. Situs tersebut menampilkan keindahan dan luas kedua pulau. (novel).


12 Desember 2007

Bupati Natuna Bantah Penjualan Pulau ke WNA

Tanggal : 12 Desember 2007
Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/12/12/bupati-natuna-bantah-penjualan-pulau-ke-wna/

Natuna (ANTARA News) - Bupati Natuna Daeng Rusnadi membantah penjualan lima pulau di Kepulauan Anambas kepada warga negara asing (WNA).

"Itu tidak ada, yang ada warga menjual ke sesama warga," katanya usai menerima rombongan Komisi I DPR RI di Natuna, Rabu.

Ia menegaskan bahwa penjualan pulau tersebut dilakukan oleh pemilik pulau secara turun temurun kepada warga Natuna juga.

Pemerintah Kabupaten bersama Pangkalan Laut Tarempa, kata daeng, telah membuat Pos Pengawasan di Pulau Bawah sehingga diyakini tidak ada pulau yang dijual ke pihak asing.

Komandan Pangkalan Laut Tarempa Letnan Kolonel Fauzi menambahkan, pos di Pulau Bawah untuk menunjukan pula bahwa pulau berpantai pasir putih itu milik Indonesia.

Senada dengan Daeng, Fauzi juga mengatakan bahwa tidak ada pulau di Kepulauan Anambas yang dijual ke pihak asing, seperti yang diberitakan beberapa media.

Menurut Fauzi, berdasarkan hasil patroli Lanal Tarempa tidak pernah menemukan aktivitas orang asing di pulau-pulau Kepulauan Natuna.

"Kami memantau aktivitas di setiap pulau dan tidak ada orang asing yang beraktivitas di sana," katanya.

Ia juga mengatakan, berdasarkan pantauannya tidak ada bangunan menyerupai resort di pulau-pulau Kepulauan Anambas.

Komandan Pangkalan Laut Ranai Kolonel Pelaut Manahan Simonangkir juga membantah adanya pulau yang dijual ke pihak asing.

"Di daerah yang menjadi lingkup Lanal Ranai, tidak ada pulau yang dijual," katanya.

Sementara itu Anggota Komisi I DPR RI Suryama mengatakan penjualan pulau ke pihak asing disebabkan warga tidak peka kepada dampak menjual pulau.

"Mereka tidak tahu kalau menjual pulau itu telah menggadaikan kedaulatan negara," katanya kepada ANTARA News.

DEPDAGRI SESALKAN PROMOSI PENJUALAN PULAU-PULAU

Tanggal : 12 Desember 2007
Sumber : http://www.ri.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=6317&Itemid=695

Jakarta, Departemen Dalam Negeri menyesalkan pihak ketiga yang diberi hak untuk mengelola pulau-pulau atau investor lokal tapi secara terbuka memperjualbelikan pulau-pulau di Indonesia terutama di pulau Panjang dan Meriam Besar Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Penyesalan itu disampaikan Kapuspen Depdagri sekaligus juru bicara Mendagri, Saut Situmorang, saat dihubungi di Jakarta, Rabu(12/12), terkait adanya investor yang memiliki hak pengelolaan pulau tersebut dengan mempromosikan menjual pulau melalui website karangaseminvestor.com beberapa waktu lalu.

Menurut Saut Situmorang, dalam rangka implementasi desentralisasi dan otonomi daerah dimungkinkan daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga untuk mengelola wilayah atau pulau yang ada di daerah bersangkutan sesuai dengan UU dan ketentuan yang berlaku.

“Iklan yang memuat bahwa pulau itu dijual, tidak dibenarkan karena dampak bagi citra komunitas internasional, sehingga negara ini dituding hanya menjual pulau saja,” kata Saut.

Dia mengatakan, boleh-boleh saja mempromiskan pulau-pulau tersebut guna menarik investor luar maupun dalam negeri. Namun bukan berarti seolah pulau –pulau tersebut dapat diperjual belikan. Tindakan promosi seperti ini tidak dibenarkan karena yang benar adalah pulau itu dapat disewakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sementara itu, pernyataan yang sama juga disampaikan Gubernur Lemhannas Muladi bahwa langkah-langkah penjualan pulau-pulau itu tidak dibenarkan apalagi promosinya dimasukan ke dalam website tersebut.

Menurutnya pemerintah daerah melalui Bupati atau Walikota harus melakukan tindakan tegas terhadap penjualan pulau-pulau tersebut..

Kecuali pulau-pulau tersebut disewakan dalam bentuk resort yang termasuk juga kekayaan Negara seperti air, udara dan darat adalah milik Negara yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Pulau terluar itu menentukan wilayah Indonesia dalam pengukuran batas wilayah Indonesia. Jadi kalau itu ditempatkan sebagai Hak Guna Bangun diperbolehkan, sedangkan menjadi hak milik itu hanya diperboleh bagi warga Negara Indonesia tapi bagi warga asing hanya bisa sewa untuk memiliki pulau-pulau tersebut.

Tahun 2040 : 2000 pulau tenggelam

Tanggal : 12 Desember 2007
Sumber : http://nanangsyah.blogspot.com/2007/12/tahun-2040-2000-pulau-tenggelam.html

Mungkin Anda menduga, udara yang akhir-akhir ini makin panas, bukanlah suatu masalah yang perlu kita risaukan.

"Mana mungkin sih tindakan satu-dua makhluk hidup di jagat semesta bisa mengganggu kondisi planet bumi yang mahabesar ini?" barangkali begitulah Anda berpikir.

Baru-baru ini, Inter-governmental Panel on Cimate Change (IPCC) mempublikasikan hasil pengamatan ilmuwan dari berbagai negara. Isinya sangat mengejutkan. Selama tahun 1990-2005, ternyata telah terjadi peningkatan suhu merata di seluruh bagian bumi, antara 0,15 – 0,3oC. Jika peningkatan suhu itu terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040 (33 tahun dari sekarang)lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis meleleh. Dan jika bumi masih terus memanas,pada tahun 2050 akan terjadi kekurangan air tawar, sehingga kelaparan pun akan meluas di seantero jagat. Udara akan sangat panas, jutaan orang berebut air dan makanan. Napas tersengal oleh asap dan debu. Rumah-rumah di pesisir terendam air laut. Luapan air laut makin lama makin luas, sehingga akhirnya menelan seluruh pulau. Harta benda akan lenyap, begitu pula nyawa manusia.


Di Indonesia, gejala serupa sudah terjadi. Sepanjang tahun 1980-2002, suhu minimum kota Polonia (Sumatera Utara) meningkat 0,17o C per tahun. Sementara, Denpasar mengalami peningkatan suhu maksimum hingga 0,87 o C per tahun. Tanda yang kasat mata adalah menghilangnya salju yang dulu menyelimuti satu-satunya tempat bersalju di Indonesia, yaitu Gunung Jayawijaya di Papua.

Hasil studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung (2007), pun tak kalah mengerikan. Ternyata, permukaan air laut Teluk Jakarta meningkat setinggi 0,8 cm. Jika suhu bumi terus meningkat, maka diperkirakan, pada tahun 2050 daerah-daerah di Jakarta (seperti : Kosambi, Penjaringan, dan Cilincing) dan Bekasi (seperti : Muaragembong, Babelan, dan Tarumajaya) akan terendam semuanya.

Dengan adanya gejala ini, sebagai warga negara kepulauan, sudahseharusnya kita khawatir. Pasalnya, pemanasan global mengancam kedaulatan negara. Es yang meleleh di kutub-kutub mengalir ke laut lepas dan menyebabkan permukaan laut bumi – termasuk laut di seputar Indonesia – terus meningkat. Pulau-pulau kecil terluar kita bisa lenyap dari peta bumi, sehingga garis kedaulatan negara bisa menyusut. Dan diperkirakan dalam 30 tahun mendatang sekitar 2000 pulau di Indonesia akan tenggelam. Bukan hanya itu, jutaanorang yang tinggal di pesisir pulau kecil pun akan kehilangan tempat tinggal. Begitu pula asset-asset usaha wisata pantai.

Peneliti senior dari Center for International Forestry Research(CIFOR), menjelaskan, pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (disebut juga gelombang panas /inframerah) yang dipancarkan bumi oleh gas-gas rumah kaca (efek rumah kaca adalah istilah untuk panas yang terperangkap di dalam atmosfer bumi dan tidak bisa menyebar). Gas-gas ini secara alami terdapat di udara (atmosfer). Penipisanlapisan ozon juga memperpanas suhu bumi. Karena, makin tipis lapisan-lapisan teratas atmosfer, makin leluasa radiasi gelombang pendek matahari (termasuk ultraviolet) memasuki bumi. Pada gilirannya, radiasi gelombang pendek ini juga berubah menjadi gelombang panas, sehingga kian meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca tadi.

Karbondioksida (CO2) adalah gas terbanyak (75%)penyumbang emisi gas rumah kaca. Setiap kali kita menggunakan bahan bakar fosil (minyak, bensin, gas alam, batubara) untuk keperluan rumah tangga, mobil, pabrik, ataupun membakar hutan, otomatis kita melepaskan CO2 ke udara. Gas lain yang juga masuk peringkat atas adalah metan (CH4,18%), ozone (O3,12%), dan clorofluorocarbon (CFC,14%). Gas metan banyak dihasilkan dari proses pembusukan materi organic seperti yang banyak terjadi di peternakan sapi. Gas metan juga dihasilkan dari penggunaan BBM untuk kendaraan. Sementara itu, emisi gas CFC banyak timbul dari sistem kerja kulkas dan AC model lama. Bersama gas-gas lain, uap air ikut meningkatkan suhu rumah kaca.

Gejala sangat kentara dari pemanasan global adalah berubahnya iklim.Contohnya, hujan deras masih sering datang, meski kini kita sudahmemasuki bulan yang seharusnya sudah terhitung musim kemarau. Menurutperkiraan, dalam 30 tahun terakhir, pergantian musim kemarau ke musim hujan terus bergeser, dan kini jaraknya berselisih nyaris sebulan dari normal. Banyak orang menganggap, banjir besar bulan Februari lalu yang merendam lebih dari separuh DKI Jakarta adalah akibat dari pemanasan global saja. Padahal 35% rusaknya hutan kota dan hutan di Puncak adalah penyebab makin panasnya udara Jakarta.

Itu sebabnya, kerusakan hutan di Indonesia bukan hanya menjadi masalah warga Indonesia , melainkan juga warga dunia. DirekturEksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengatakan, Indonesia pantas malu karena telah menjadi Negara terbesar ke-3 di dunia sebagai penyumbang gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan pembakaran lahan gambut (yang diubah menjadi permukiman atau hutan industri). Jika kita tidak bisa menyelamatkan mulai dari sekarang, 5 tahun lagi hutan di Sumatera akan habis, 10 tahun lagi hutan Kalimantan yang habis, 15 tahun lagi hutan diseluruh Indonesia tak tersisa. Di saat itu, anak-anak kita tak lagi bisa menghirup udara bersih.

Jika kita tidak secepatnya berhenti boros energi, bumi akan sepanasplanet Mars. Tak akan ada satupun makhluk hidup yang bisa bertahan, termasuk anak-anak kita nanti.

Cara-cara praktis dan sederhana 'mendinginkan' bumi :

  1. Matikan listrik.(jika tidak digunakan, jangan tinggalkan alat elektronik dalam keadaan standby. Cabut charger telp. genggam dari stop kontak. Meski listrik tak mengeluarkan emisi karbon, pembangkit listrik PLN menggunakan bahan bakar fosil penyumbang besar emisi).
  2. Ganti bohlam lampu ke jenis CFL, sesuai daya listrik.Meski harganya agak mahal, lampu ini lebih hemat listrik dan awet).
  3. Bersihkan lampu (debu bisa mengurangi tingkat penerangan hingga 5%).
  4. Jika terpaksa memakai AC....Tutup pintu dan jendela selama AC menyala. Atur suhu sejuksecukupnya, sekitar 21-24o C).
  5. Gunakan timer (untuk AC, microwave, oven, magic jar, dll).
  6. Alihkan panas limbah mesin AC untuk mengoperasikan water-heater.
  7. Tanam pohon di lingkungan sekitar Anda.
  8. Jemur pakaian di luar. Angin dan panas matahari lebih baik ketimbang memakai mesin (dryer) yang banyak mengeluarkan emisi karbon.
  9. Gunakan kendaraan umum (untuk mengurangi polusi udara).
  10. Hemat penggunaan kertas (bahan bakunya berasal dari kayu).
  11. Say no to plastic. Hampir semua sampah plastic menghasilkan gas berbahaya ketika dibakar. Atau Anda juga dapat membantu mengumpulkannya untuk didaur ulang kembali.
  12. Sebarkan berita ini kepada orang-orang di sekitar Anda, agar mereka turut berperan serta dalam menyelamatkan bumi.
Dari Berbagai Sumber

11 Desember 2007

Pemda Dilarang Jual Pulau - 5 Pulau di Kepri Diduga Dijual

Tanggal : 11 Desember 2007
Sumber : http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=15200&Itemid=46

JAKARTA-Departemen Dalam Negeri (Depdagri) mengingatkan pemerintah daerah (pemda) agar tidak menjual pulau kepada pihak mana pun. Pulau merupakan milik negara dan kepemilikan teritori oleh negara tidak boleh diberikan kepada pihak asing. "Kalau kerja sama pengelolaan, silakan. Tetapi bukan pada kepemilikannya," tegas Juru Bicara Depdagri Saut di Jakarta, Senin (10/12). Penegasan itu disampaikan Saut menanggapi adanya sinyalemen penjualan dua pulau di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui situs internet, dan lima pulau di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Saut menyatakan Pasal 33 ayat (3) UU 1945 mengamanatkan secara tegas bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah milik negera dan dipergunakan sebesarnya bagi kemakmuran rakyat. Yang jelas, tegas Saut, tidak ada dasar dan pasal yang menjadi peluang penjualan wilayah teritorial negara.

"Jadi yang memiliki wilayah teritori adalah negara," tukasnya. "Dalam rangka desentralisasi, kewenangan daerah adalah soal pengelolaan, bukan pemilikannya," tuturnya.

Sehubungan dengan sinyalemen penjualan Pulau Panjang dan Pulau Meriam Besar di NTB, kata Saut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto telah memerintahkan Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri agar segera melakukan koordinasi dengan Kementerian Polhukam serta meminta klarifikasi dari Gubernur NTB.

Pada kesempatan yang sama, Saut juga mensinyalir adanya keterlibatan warga negara asing (WNA) dalam proses jual-beli lima pulau di wilayah Kepri yaitu Pulau Bawah, Pulau Cangkul, Pulau Merba, Pulau Elang dan Pulau Lidi. WNA yang berada di belakang proses jual-beli itu, kata dia, diduga telah memanfaatkan penduduk lokal dalam proses transaksinya.

"Hitam di atas putihnya memang oleh penduduk lokal yang juga orang Indonesia. Tetapi yang di belakang pihak pembeli adalah orang asing," ujar Kepala Pusat Penerangan Depdagri itu.

Kasus penjualan lima pulau itu, tambahnya, masih dalam proses pendalaman oleh tim gabungan yang terdiri dari Depdagri, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Departemen Pekerjaan Umum (DPU) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Ditanya tentang negara asal WNA yang berada di belakang proses transaksi jual-beli lima pulau di Kepri, Saut menolak untuk menyebutnya karena proses klarifikasinya belum tuntas. "Itu masih dalam proses," tandas Saut.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Syamsul Maarif juga mengingatkan penjualan pulau melanggar hukum. "Penjualan itu adalah melanggar hukum. Kita memang baru menerima laporannya tetapi kita akan mengambil tindakan," ujar Syamsul Maarif saat ditemui di sela-sela pertemuan UNCCC di Bali, kemarin. "Kita akan lihat aturannya ke aparat hukum sesegera mungkin setelah data dikumpulkan," katanya.

Dituturkan dia, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menegaskan pulau kecil tidak mungkin dijual. Pengelolaan oleh pihak asing pun harus seizin Menteri Kelautan dan Perikanan.

DKP, lanjut Syamsul, sudah berkomunikasi dan menyatukan visi dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto soal penjualan pulau. Pulau kecil tidak dilihat sebagai sebidang tanah, namun sebagai entitas lingkungan. "Kalau dijual ada proporsinya. Misalnya 5 persen dari luas wilayah. Jadi tidak seluruh pulaunya bisa dijual," kata Syamsul.

Tindak Pejabat yang Terlibat

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Priyo Budi Santoso meminta Depdagri menyelidiki dugaan keterlibatan pejabat daerah dalam kasus penjualan pulau, seperti yang terjadi di NTB. Ia meminta Depdagri untuk tidak segan-segan memecat pejabat bersangkutan jika terbukti terlibat. "Itu nggak bisa dibenarkan. Depdagri harus mencari tahu siapa yang menjual pulau itu dan apa motivasinya. Itu sudah menjual kedaulatan," kata Priyo.

Menurut anggota Komisi II DPR ini, seharusnya pejabat tersebut memelihara dan mengembangkan pulau, bukan sebaliknya malah menjual pulau. "Pada rapat Komisi II nanti saya akan pertanyakan masalah ini kepada Mendagri, bagaimana pemeliharaan pulau-pulau itu. Kalau ada pejabat yang terkait, harus dipecat itu," cetus Priyo.

Jika penawaran Pulau Panjang dan Meriam Besar dimaksudkan untuk dikembangkan, Priyo dapat memahami. Sebab jika kedua pulau itu dikelola dengan profesional, akan mendatangkan keuntungan bagi negara. "Kalau lego itu untuk investasi bagi negara ya nggak apa-apa. Bagus itu. Tapi kalau dijual ke asing, itu menjual kedaulatan namanya," pungkas Priyo.

Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno mengaku sedih mendengar Pulau Panjang dan Meriam Besar dilego melalui internet. "Ini menunjukkan pemerintah sekarang lemah, tidak becus lagi menjaga teritorial NKRI. Saya sedih mendengar kabar itu," ucap pria yang biasa disapa Mbah Tardjo itu.

Ia meminta Depdagri segera mengirimkan tim untuk mengecek kebenarannya. Jika terbukti ada upaya menjual 2 pulau tersebut, baik yang dilakukan oleh oknum-oknum dari pemda atau yang lain, Depdagri harus memberikan sanksi keras. "Kita sudah kehilangan Sipadan-Ligitan, ini malah mau dijual. Pulau ini bukan milik pemerintah atau pemda, tapi milik anak cucu. Mardiyanto (Mendagri) itu suruh kirim anak buahnya mengecek ini. Tindak tegas kalau ada yang macem-macem," cetus Mbah Tardjo.

Politisi gaek PDIP ini berharap kejadian tersebut dijadikan pelajaran bagi pemerintah untuk lebih serius mengurusi pulau-pulau kecil yang terbengkalai. "Jangan sampai kita bergerak kalau sudah ada begini-begitu," tutup Tardjo.

Pulau Panjang dan Pulau Meriam Besar di NTB ditawarkan untuk dijual oleh Karangasem Property melalui situs internet www.karangasemproperty.com. Situs internet www.karangasemproperty.com tersebut sempat bisa diakses atau dibuka Senin (10/12). Namun, sekitar pukul 18.00 WIB situs tersebut mendadak error.

Dalam situs tersebut tampak foto keindahan Pulau Panjang dan Pulau Meriam Besar dengan background gambar pohon kelapa yang sedang melambai diterpa angin di bawah langit nan biru. Pulau Panjang di Sumbawa, NTB tertulis seluas 33 hektar. Sedangkan Pulau Meriam Besar yang juga berada di Sumbawa, NTB tertulis seluas 5 hektar.

Spesifikasi kedua pulau dibeberkan dalam bahasa Inggris, seperti pantai berpasir putih nan cantik, air nan jernih bak kristal, dan pohon palem. Jika Pulau Panjang berada 90 km dari bandara di Sumbawa Besar, maka Meriam Panjang berada 80 km dari bandara serupa.

Penggunaan kedua pulau ini disebutkan tidak terlarang. Tidak ada batasan pembangunan fasilitas kecuali batas tinggi bangunan. Pembangunan landasan helikopter dimungkinkan dan diperbolehkan untuk menjamin kecepatan dan kenyamanan transportasi pulang pergi melalui Sumbawa Besar atau Bali.

Lalu berapa harga kedua pulau tersebut? Tidak ada pembukaan harga. Bagi yang berminat dipersilakan mengisi formulir yang tersedia dalam situs tersebut.

Formulir terdiri dari nama dan email yang wajib diisi. Kemudian nomor telepon, alamat, kota, negara bagian, kode pos, dan negara yang tidak harus diisi. Selanjutnya ada kotak untuk menuliskan pesan.

Karangasem Property, sang penjual kedua pulau, mengklaim sebagai spesialis real estate dan properti di Indonesia yang memiliki tenaga penjualan dan pemasaran di Eropa.

Perusahaan yang berkantor di Jl Dharmawangsa Kerta Sari, Padang Kerta Karangasem, Bali, ini mengaku berwenang menemukan properti-properti unik untuk dibawa ke pasar internasional.

Hutan Bakau Tergusur

Tanggal : 11 Desember 2007
Sumber : http://www.melanesianews.org/suara/publish/ekologi/Hutan_Bakau_Tergusur111207.shtml


Ribuan rumah memadati pesisir pantai Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Hilangnya hutan bakau di sebagian besar kawasan pantai utara Jakarta mengakibatkan rusaknya ekosistem di Teluk Jakarta, intrusi air laut ke daratan, dan abrasi.

[JAKARTA] Luas hutan bakau di pesisir Jakarta yang antara lain berfungsi menahan gempuran gelombang pasang air laut, mulai menyempit. Hal itu disebabkan gencarnya reklamasi pantai utara Jakarta untuk dijadikan permukiman, seperti di wilayah Ancol dan Marunda.


Pantauan udara Senin (10/12) menunjukkan, bangunan beton berupa kawasan niaga, permukiman, dan tanggul, tampak memagari pesisi utara Jakarta, sepanjang Muara Angke, Pluit, Pantai Mutiara, Penjaringan, Ancol, Tanjung Priok, Cilincing, dan Marunda.


Di beberapa lokasi, tanggul tampak jebol. Meskipun tidak besar, namun ada celah bagi air laut untuk menyusup ke daratan, dan menggenangi rumah warga saat pasang tiba.


Dari ketinggian sekitar 160 meter di atas permukaan laut, juga terlihat pepohonan bakau di beberapa titik. Luasan lahan bakau ini jauh lebih kecil dibanding area yang dijadikan bangunan.


Sebaran pohon bakau juga tidak melulu di tepi laut. Di wilayah Cilincing, misalnya, pepohonan bakau dike- lilingi permukiman nelayan.


Terkait kurangnya vegetasi bakau di pantai utara Jakarta, menurut Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Halisah Khalid, akibat kebijakan pemerintah yang salah. Pemerintah, lanjut Halisah, berpendapat bahwa hutan bakau menghambat perniagaan. Padahal, bakau bernilai ekonomi besar, selain fungsi ekologinya.


Mengenai dampak lingkungan, ia mengatakan, hutan bakau lebih baik dibanding beton, karena bisa mengurangi tekanan ombak di pantai. "Kalau beton, pasti rusak dan butuh perawatan mahal. Sementara bakau bekerja alamiah sehingga perawatan tidak mahal," katanya.

05 Desember 2007

Aceh Rawan Ancaman Bencana Alam Global

Tanggal : 5 Desember 2007
Sumber : http://arigayo.com/server/index.php?option=com_content&task=view&id=106&Itemid=36


Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) saat ini sangat rawan terhadap ancaman bencana alam global jika dilihat dari sisi klimatologis, yang dipengaruhi oleh letaknya pada ujung Selat Malaka serta posisi yang sangat terbuka dari wilayah barat Samudera Indonesia. Dengan luas wilayah perairan laut mencapai 53.452.000 ha (termasuk kawasan Zona Ekonomi Eksklusif) tentunya Aceh mempunyai kerentanan lainnya jika dikaitkan dengan dampak akibat perubahan iklim yang terjadi.

“Aceh jika ditinjau dari sisi geografis dan geologis, merupakan daerah dengan tingkat ancaman bencana yang tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh letaknya yang berada dalam posisi tekanan akibat pertemuan dua lempeng Eurasia dan Indoaustralia sebagai bentuk gerakan dinamis dari bumi,” ujar Abdillah, Manager Penguatan Kelembagaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh kepada wartawan di Banda Aceh, Minggu (2/12).


Dijelaskannya, hutan Aceh yang luasnya mencapai 3,3 juta hektare, merupakan kekayaan sumber daya alam (SDA) hayati yang salah satu jasa ekologis pentingnya adalah sebagai penyerap karbon (C02). Tetapi, berdasarkan catatan Walhi Aceh, sepanjang tahun 2007 ini saja telah terjadi 75 kasus bencana ekologis yang disebabkan perubahan iklim dan ditambah buruknya kebijakan pengelolaan SDA.


Diperkirakan, bencana ekologis ini akan semakin parah jika model pengelolaan lingkungan hidup dan SDA, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global masih mempergunakan “model lama” dimana melegalkan “kegiatan pencemaran” yang dibungkus oleh mekanisme pembangunan bersih.


Sebagai catatan penting, lanjut Abdillah, dari 4.031.589 orang penduduk Aceh atau 975.374 keluarga, sebanyak 668.522 keluarga menggantungkan kehidupannya di sektor pertanian, termasuk sektor perikanan darat dan laut.


“Atau jika kita melihat persentasenya, 68,5 persen dari total seluruh keluarga di Aceh bekerja di sektor pertanian. Sebagaimana diketahui bahwa dampak perubahan iklim menimbulkan dampak negatif bagi petani dan nelayan. Jadi, dampak akibat pemanasan global ini paling banyak akan diderita oleh masyarakat yang bekerja di sektor ini, dan nantinya akan menambah panjang angka kemiskinan di Aceh,” ungkapnya.


Pesan


Oleh karenanya, menghadapi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim yang dipusatkan di Nusa Dua Bali 3-14 Desember 2007, Walhi Aceh beserta komponen lainnya dari Aceh, menyampaikan pesan dari Aceh terhadap perubahan iklim yang terjadi kepada Pemerintah Aceh, Pemerintah Indonesia dan semua pihak yang terlibat COP-13 Bali.


Pesan tersebut di antaranya, penanganan isu perubahan iklim harus dilakukan secara total bukan parsial melalui proyek-proyek perdagangan emisi. Negara pencemar harus mengurangi emisi serta memperbaiki pola produksi dan pola konsumsi terhadap energi fosil. Kemudian Aceh sebagai daerah yang menerima dampak, dengan luas hutan dan rawa gambut sebagai ”pencuci karbon” harus menerima imbalan atas kerugian dan jasanya untuk masa lalu, masa kini dan masa datang.


“Khusus untuk Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh, jangan ‘dininabobokkan’ dengan proyek perdagangan emisi saja, karena tidak menyelesaikan persoalan utama yakni mengurangi emisi negara pencemar terbesar untuk menekan meningkatnya suhu bumi. Kompensasi atas dampak dan jasa ekologis diutamakan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang selama ini terpinggirkan, petani dan masyarakat pesisir yang paling menderita akibat dampak perubahan iklim,” terangnya.


Pesan serupa juga disampaikan Yayasan Insan Cita Madani, Yayasan PUGAR, Yayasan Ekowisata Aceh, Limid, INSOSDES, LPL-Ha, Yapala, YGHL, Yelped, Satyapila, Badan Eksekutif Mahasiswa Abulyatama, Badan Eksekutif Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Pante Kulu, Sahabat Alam WALHI. (analisa)