18 April 2007

Menangkap Perompak dari Pantai

Tanggal : 18 April 2007
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/iptek/2007/04/18/brk,20070418-98186,id.html

TEMPO Interaktif, Jakarta:

Setelah melaut semalaman, kapal pukat "langgai" yang dikemudikan Kamiso di perairan Jaring Halus, Langkat, tiba-tiba dihadang dua perahu boat. Langit subuh yang mendung dan disertai hujan gerimis membuat nelayan berusia 37 tahun itu tak begitu waspada ketika para perompak menyerang dia dan dua rekannya.

Bersenjatakan tombak ikan hiu, pedang samurai, pentungan, dan senapan angin, para perompak yang berjumlah 10 orang dengan mudah melumpuhkan warga Kampung Kurnia Belawan itu. Sedangkan dua nelayan lain, Ari dan Rizal, berhasil menyelamatkan diri dengan melompat ke laut.

"Kepala saya dibacok dan dilempar ke laut," kata Kamiso. "Kapal kami pun dibawa kabur berikut hasil tangkapan."

Pengalaman Kamiso pada pertengahan tahun lalu itu membuatnya mengalami kerugian Rp 90 juta. Kamiso dan kedua temannya juga terkatung-katung selama satu jam sebelum ditemukan kapal nelayan lain.

Memang bukan rahasia sampai saat ini perompak masih berkeliaran di perairan Indonesia, terutama di Selat Malaka. Angkatan Laut Malaysia, Indonesia, dan Singapura telah bekerja sama menumpas mereka, tapi perompak masih ada saja.

Serangan perompak itu membuat Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono meminta bantuan radar dan kapal patroli cepat dari pemerintah Amerika Serikat pada 2006. Juwono meminta Kepala Staf Angkatan Laut Amerika Serikat Chief Admiral Michael G. Mullen membantu pembangunan Intergrated Maritime Surveillance System. Sistem radar di sepanjang Selat Malaka ini diharapkan bisa mengisi kemampuan TNI Angkatan Laut agar bisa efektif bekerja sama dengan Angkatan Laut Singapura.

Tapi tak lama lagi putra Indonesia bisa membuat sendiri radar pengawas pantai, yang bisa mendeteksi para perompak ataupun kapal nelayan asing ilegal. Sistem radar buatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini juga bisa dipakai untuk mengatur lalu lintas kapal pada saat keluar dan masuk pelabuhan, sehingga mencegah kecelakaan atau tabrakan, terutama pada malam hari atau ombak besar.

Perairan Cilegon yang tak pernah sepi dilintasi kapal-kapal penumpang dan niaga, dari Tanjung Priok menuju Selat Malaka atau sebaliknya, akan menjadi tempat uji coba prototipe radar itu pada 2008. "Pantai Cilegon amat cocok untuk pengetesan karena dilewati banyak kapal, termasuk kapal motor penumpang 'roro' Merak-Bakauheni," kata Mashury, Kepala Bidang Telekomunikasi Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI.

Pembuatan radar maritim ini telah dirintis LIPI bekerja sama dengan International Research Centre for Telecommunications and Radar Technological University Delft, Belanda, sejak 2006. LIPI menangani perangkat keras, Delft membagi teknologi perangkat lunaknya. LIPI berharap radar pengawas pantai, yang semua perangkat kerasnya dibuat sendiri oleh para peneliti lembaga itu, bisa mendeteksi semua kapal yang melintas di perairan Indonesia.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Masbah Siregar mengatakan pembuatan radar pengawas pantai ini adalah suatu bentuk terobosan untuk mengatasi ancaman embargo di kemudian hari. "Kami mencoba bikin radar dengan komponen yang bisa dibeli di pasar bebas," kata Masbah. "Tidak bisa diembargo."

Masbah menuturkan, lembaga itu pernah diminta untuk membantu TNI Angkatan Udara untuk memperbaiki pesawat tempur yang rusak. "Kami bisa membetulkan, tapi komponennya tak bisa dibeli di pasar bebas," katanya.

Pengalaman seperti itu menjadi cambuk bagi Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI untuk merakit radar, yang sistem dan komponennya bisa mandiri. Tak cuma radar pengawas pantai yang bisa dibuat. Sebab, sejak 2005 LIPI juga bekerja sama dengan Delft untuk membuat radar yang bisa digunakan untuk mendeteksi obyek di bawah permukaan tanah.

Selain bebas embargo, radar buatan LIPI juga jauh lebih murah dibanding radar sejenis yang ada di pasaran. "Mungkin cuma sepersepuluhnya," kata Mashury. "Pada saat ini, pemerintah harus mengalokasikan dana miliaran rupiah untuk pembelian radar. Jadi pemerintah bisa lebih berhemat."

Mashury mengaku radar buatan LIPI memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan radar pulsa yang sekarang banyak digunakan di Indonesia. Radar ini sengaja dipilih berjenis frequency-modulated continuous wave (FMCW) karena pembuatan perangkat kerasnya jauh lebih mudah daripada radar pulsa. "Konsumsi daya radar pulsa itu besar sehingga lebih sukar dibuat," kata Mashury. "Komponen radar pulsa juga sulit diperoleh, prosesnya enam bulan, karena harus beli di Amerika Serikat."

Pemancar radar ini juga cukup luas. Meski dayanya kecil, radar ini bisa mendeteksi kapal-kapal sampai beberapa kilometer di luar horizon. "Nanti bisa diset, apakah kita ingin jangkauan luas untuk kapal besar atau yang memiliki resolusi tinggi sampai ke kapal-kapal kecil," ucap Mashury.

Antena radar, yang dibuat dari jenis microstrip patch array dengan sistem modul, ini menghasilkan desain antena yang ringan sehingga mengurangi biaya pembuatan menara antena. Beban di atas yang ringan membuat ukuran menara antena tak terlalu besar. Implementasi antena modular microstrip patch array pada radar FMCW ini, menurut Mashury, belum ditemukan di literatur sehingga memiliki nilai keterbaruan. "Antena sistem modul ini bisa diperbanyak sesuai dengan kebutuhan," katanya. "Makin banyak makin kuat dan semakin jauh jangkauannya."

Tahun ini, proses perancangan dan realisasi antena, pemancar, serta pengolahan citra radar dijadwalkan telah selesai dan dilanjutkan dengan proses kalibrasi. Integrasi sistem radar dan pengetesan akan dilakukan pertengahan 2008.

Semula, Mashury ingin mencobanya di Pantai Bangka Belitung yang rawan perompak. Namun, akhirnya Pantai Cilegon dipilih sebagai lokasi pengetesan karena letaknya relatif dekat dengan kantor Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi di Bandung. Apalagi ombak di pantai itu tak terlampau ganas sehingga aman untuk radar baru ini. "Karena lokasi yang kami sewa dari Indonesian Power di PLTU Suralaya hanya 2 sampai 3 meter dari bibir pantai," kata Mashury.

LIPI berencana membangun stasiun permanen di pantai itu. Nantinya radar itu bisa mengamati perairan di Laut Jawa sampai ke Pulau Sumatera.

17 April 2007

Ancaman Perubahan Iklim Itu Nyata

Tanggal : 17 April 2007
Sumber : http://www.pelangi.or.id/media.php?mid=174


Suara Pembaruan - Isu dampak perubahan iklim (climate change) akhir-akhir ini terus bermunculan di berbagai media massa dan menjadi pembicaraan serius di masyarakat khususnya para pemerhati lingkungan. Bencana kekeringan, banjir, kelaparan, tanah longsor, dan mewabahnya penyakit yang terjadi di beberapa belahan dunia tak terkecuali di Indonesia menjadi tanda-tanda awal perubahan iklim yang harus segera diwaspadai.

Dampak perubahan iklim sudah mengglobal. Dalam buku berjudul Dunia Makin Panas yang diterbitkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup bekerja sama dengan lembaga donor asal Jepang, JICA, dan Yayasan Pelangi Indonesia, disebutkan bahwa secara global ada empat dampak perubahan iklim yakni, pertama mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan. Menurut penelitian, es yang menyelimuti bumi telah berkurang 10 persen sejak tahun 1960 sementara ketebalan es di kutub utara berkurang 42 persen dalam 40 tahun terakhir.

Diperkirakan sejumlah gletser di beberapa pengunungan terkenal antara lain Himalaya, Alpen, dan Kilimanjaro hilang 50-90 persen. Dampak kedua, yakni terjadinya pergeseran musim di mana para ilmuwan memperkirakan bahwa kekeringan akan melanda benua Afrika, Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia rentan terhadap badai dan angin puting beliung, dan tanah longsor.

Ketiga peningkatan permukaan air laut. Badan dunia untuk perubahan iklim (IPCC) menyebutkan dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan muka air laut setinggi 10-25 cm dan tahun 2100 mendatang akan terjadi peningkatan muka air laut 15-95 cm. Kenaikan muka air laut ini telah menyebabkan sebagian daratan di bumi hilang seperti hilangnya 1 persen daratan Mesir, Belanda 6 persen, Bangladesh 17,5 persen. Selain itu dampak keempat adalah dampak-dampak susulan lainnya seperti potensi gagal panen, krisis air bersih, penyebaran penyakit tropis serta punahnya jutaan spesies flora dan fauna.


Kerugian Indonesia

Di Indonesia sendiri dampak perubahan iklim sudah sangat nyata dan bila tidak diantisipasi mulai sekarang, kerugiannya bakal sangat besar. Wakil Ketua Komisi VII DPR, Sonny Keraf, pun segera angkat bicara.

"Dampak perubahan iklim secara global sudah sangat nyata sehingga pemerintah harus melakukan upaya-upaya yang strategis baik ke luar maupun ke dalam negeri guna perbaikan kondisi iklim," ujarnya di Jakarta, Sabtu (14/4).

Perubahan iklim itu memang mulai terasa. Pertama, naiknya suhu udara sebesar 0,3 derajat celcius sejak tahun 1990 dan naik lagi ke angka tertinggi tahun 1998 yaitu di atas 1 derajat Celcius di atas suhu rata-rata tahun 1961-1990.

Kerugian kedua yakni naiknya permukaan air laut. IPCC mencatat telah terjadi kenaikan muka air laut 1-2 meter dalam 100 tahun terakhir dan tahun 2030 permukaan air laut akan bertambah 8-29 cm dari saat ini.

Akibat dari hal itu bisa sungguh fatal di mana diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau, mundurnya garis pantai yang mengakibatkan luas wilayah Indonesia akan berkurang. Kenaikan muka air laut tidak hanya mengancam pesisir pantai tetapi juga di kawasan perkotaan.

Diperkirakan, jika tidak ada tindakan nyata maka tahun 2070, 50 persen dari 2,3 juta penduduk Jakarta Utara tidak lagi memiliki air minum akibat memburuknya kualitas air tanah karena instrusi air laut.

Dalam buku itu juga disebutkan bahwa daerah pesisir yang rawan akan dampak kenaikan muka air laut antara lain, Pantai Utara Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya), Pantai timur Sumatera, Pantai selatan, timur, dan barat Kalimantan, Pantai barat Sulawesi, dan daerah rawa di Papua yang terletak di pantai barat dan selatan.

Kerugian selanjutnya menimpa sektor perikanan dimana kenaikan suhu air laut mengakibatkan alga yang merupakan sumber makanan terumbu karang akan mati dan juga terjadinya migrasi ikan ke daerah yang lebih dingin sehingga Indonesia akan kehilangan beberapa jenis ikan.

Di sektor kehutanan, potensi kebakaran hutan semakin besar Karena meningkatnya suhu udara. Sektor pertanian juga tidak ketinggalan terkena dampak. Perubahan iklim telah mengakibatkan menurunnya produksi hasil-hasil pertanian seperti besar, kacang-kacangan, jagung, dan banyaknya sawah yang tidak berproduksi (puso).

Dari sisi kesehatan, data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1997 menyebutkan tingginya angka kematian yang disebabkan malaria sebesar 1-3 juta per tahun di mana 80 persen di antaranya adalah balita dan anak-anak.

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Tori Kuswardono, menyebutkan banjir besar yang melanda Jakarta awal tahun ini juga merupakan dampak perubahan iklim. Menurut Tori, Jakarta dan daerah lainnya di Indonesia diperkirakan akan terus mengalami rangkaian bencana karena secara pertahanan lingkungan sudah sangat lemah.

"Jangankan ada serangan perubahan iklim dari luar, ekosistem di Indonesia sudah rusak. Ibaratnya, orang sudah sakit flu terkena hujan lagi, jadi tambah payah," katanya.

Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH), Rachmat Witoelar bahkan mengatakan, jika persoalan perubahan iklim ini tidak diselesaikan maka dampak paling ekstrim yang bakal terjadi adalah kepunahan manusia.

Sayangnya sinyalemen yang dilontarkan Menneg LH itu belumlah menjadi hal yang prioritas utama untuk diselesaikan. Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Yayasan Pelangi Indonesia, Nugroho Nurdikiawan mengungkapkan, meskipun dampak perubahan iklim sudah nyata di depan mata, sampai saat ini pemerintah masih belum memiliki peta kerentanan dampak perubahan iklim.

"Pemetaan itu belum ada padahal data itu penting sekali untuk menjadi dasar pembangunan infrastruktur ke depan," katanya.

Usaha Dunia

Kecemasan akan dampak perubahan iklim membuat keperdulian masyarakat internasional akan isu lingkungan global tumbuh yang pada akhirnya menyebabkan isu perubahan iklim menjadi salah satu isu penting dalam agenda politik internasional.

Pada pertengahan tahun 1980-an, berbagai pertemuan awal atau konferensi antar pemerintah mulai diselenggarakan untuk membicarakan masalah perubahan iklim.

Setelah melalui sejumlah pembicaraan maka tahun 1989 dibentuklah badan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) oleh UNEP (United Nations Environment Programme) dan WMO (World Meteorological Organization). IPCC merupakan sebuah lembaga yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia yang bertugas untuk meneliti fenomena perubahan iklim secara ilmiah serta kemungkinan solusinya.

Tidak kurang dari setahun, IPCC lalu mengeluarkan hasil penelitiannya yang pertama, yakni First Assessment Report di mana dalam laporan tersebut dipastikan bahwa perubahan iklim merupakan sebuah ancaman bagi kehidupan seluruh umat manusia.

Pada Desember 1990, PBB secara resmi membentuk sebuah badan antar pemerintah, yaitu Intergovernmental Negotiating Comittee (INC) untuk melakukan negosiasi ke arah konvensi perubahan iklim. Badan ini selanjutnya menyepakati secara konsensus sebuah Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change - UNFCCC).

Tonggak awal perlawanan terhadap perubahan iklim terjadi dalam bulan Juni 1992 yaitu KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, dimana pada kesempatan ini Konvensi Perubahan Iklim mulai ditandatangani.

Konvensi Perubahan Iklim pada akhirnya dinyatakan telah berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994 setelah diratifikasi oleh 50 negara. Tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat aman, sehingga tidak membahayakan sistem iklim global.

Setelah Konvensi Perubahan Iklim diratifikasi, negara-negara peratifikasi atau para pihak, melakukan pertemuan tahunan yang dikenal dengan Pertemuan Para

Conference of the Parties (COP). Conference of the Parties pertama kali diselenggarakan pada tanggal 28 Maret - 7 April 1995 di Berlin, Jerman. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

Tonggak sejarah kembali bergulir pada pertemuan COP3 tahun 1997 yang menghasilkan sebuah komitmen yang terkenal dengan sebutan Protokol Kyoto. Salah satu inti dari protokol itu yakni mewajibkan seluruh negara Annex I (negara-negara industri maju) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) rata-rata sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2012.

Protokol Kyoto itu sendiri bertujuan untuk mengurangi secara keseluruhan emisi 6 jenis GRK, yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfurheksafluorida (SF6).

09 April 2007

Limbah Hotel Berpotensi Rusak Ekosistem Laut

Tanggal : 9 April 2007
Sumber : http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2007/4/9/l1.htm


Dalam pemberitaan belum lama ini, terungkap bahwa cukup banyak hotel di Sanur yang membuang limbahnya ke pantai. Otomatis pembuangan limbah ke pantai ini akan berdampak signifikan pada ekosistem lautan dan laut itu sendiri. Tidak hanya limbah hotel yang akan berdampak negatif terhadap ekosistem lautan, berbagai jenis limbah cair pun turut pula menyumbang pada kerusakan ekosistem yang terjadi dewasa ini.

Sebagian besar wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang letaknya sangat strategis. Perairan laut Indonesia selain dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan lokal maupun internasional, juga memiliki sumber daya laut yang sangat kaya dan penting antara lain sumber daya perikanan, terumbu karang, mangrove, bahan tambang, dan pada daerah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata yang menarik.

Laut juga mempunyai arti penting bagi kehidupan makhluk hidup seperti manusia, ikan, tumbuh-tumbuhan, dan biota laut lainya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kelautan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat ikut mendorong pembangunan di masa kini maupun masa depan. Oleh karena itu, laut yang merupakan satu sumber daya alam, sangat perlu untuk dilindungi. Hal ini berarti pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.

Agar laut dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan pengendalian dan/atau perusakan laut menjadi sangat penting. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Akhir-akhir ini pencemaran laut telah menjadi suatu masalah yang perlu ditangani secara sungguh-sungguh. Hal ini berkaitan dengan semakin meningkatnya kegiatan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.

Di samping menghasilkan produk-produk yang diperlukan bagi kehidupannya, kegiatan manusia menghasilkan pula produk sisa (limbah) yang dapat menjadi bahan pencemar (polutan). Cepat atau lambat polutan itu sebagian akan sampai di laut. Hal ini perlu dicegah atau setidak-tidaknya dibatasi hingga sekecil mungkin.

Pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) maupun kegiatan atau aktivitas di lautan (sea-based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat dibagi atas kontaminasi secara fisik dan kimiawi.

Secara umum, kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain penebangan hutan (deforestation), buangan limbah industri (disposal of industrial wastes), buangan limbah pertanian (disposal of agricultural wastes), buangan limbah cair domestik (sewage disposal), buangan limbah padat (solid wastes disposal), konversi lahan mangrove dan lamun (mangrove and swamp conversion), dan reklamasi di kawasan pesisir (reclamation).

Sementara kegiatan atau aktivitas di laut (sea-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain perkapalan (shipping), dumping di laut (ocean dumping), pertambangan (mining), eksplorasi dan eksploitasi minyak (oil exploration and exploitation), budidaya laut (mariculture), dan perikanan (fishing).

Selain itu, ada limbah yang dibuang ke laut secara langsung yaitu berupa hasil kegiatan di pantai maupun lepas pantai, atau secara tidak langsung sebagai bahan yang terbawa melalui aliran sungai; ada pula limbah yang dengan sengaja dibawa ke laut lepas untuk ditimbun (dumping). Sumber polutan yang terpenting berasal dari kegiatan di darat (sekitar 95%), yaitu berupa buangan industri yang dilepas secara reguler juga berupa limbah cair domestik.

Kegiatan rekreasi dan kepariwisataan telah menjadi aspek penting dalam peningkatan ekonomi, khususnya bagi penduduk pesisir. Akan tetapi kegiatan ini telah membawa dampak lingkungan yang tidak selalu positif. Buangan limbah dari hotel dan restoran di sepanjang pantai, serta meningkatnya permintaan air bersih dapat memberi ancaman berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir. Di sisi lain, tidak ada atau kurangnya titik/tempat tambatan kapal (ponton) yang dipersiapkan pada kawasan taman wisata alam laut, menyebabkan jangkar kapal sangat berpeluang merusak terumbu karang.

Dampak yang timbul akibat pencemaran oleh berbagai jenis polutan yang telah disebutkan sebelumnya adalah sangat beragam. Ada beberapa polutan yang dapat langsung meracuni kehidupan biologis. Ada pula polutan yang menyerap banyak jumlah oksigen selama proses dekomposisi. Ada polutan yang mendorong tumbuhnya jenis-jenis binatang tertentu. Dan ada pula polutan yang berakumulasi di dalam jaringan makanan laut yang tidak dapat dihancurkan oleh sel-sel hidup (bioaccumulation). Masalah pencemaran yang paling besar di banyak tempat di Indonesia adalah limbah cair domestik dan industri.

04 April 2007

Degradasi Sumberdaya Pesisir & Kelautan Sulsel

Tanggal : 4 April 2007
sumber : http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=34480

WILAYAH pesisir Sulawesi Selatan memiliki potensi lahan budi daya laut sebesar 600.500 Ha dan potensi lahan tambak seluas 150.000 Ha (Dahuri 2004). Potensi perikanan tangkap Sulawesi Selatan sebesar 620.480 ton/tahun, dengan rincian ; Selat Makassar dengan potensi 307.380 ton/tahun, Laut Flores dengan potensi 168.780 ton/tahun, dan Teluk Bone dengan potensi sebesar 144.320 ton/tahun.

Provinsi Sulawesi Selatan memiliki areal hutan mangrove seluas 22.353 Ha yang terdiri dari hutan mangrove primer seluas 1.410 Ha dan hutan mangrove sekunder 20.943 Ha, dengan 19 spesies mangrove. Pada wilayah yang berbatasan dengan laut,hutan mangrove didominasi oleh Avicennia dan Sonneratia. Dibelakang zona tersebut ditemui Bruguiera dan Rhizophora, sedang pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daratan ditemukan pandan, ficus, nypa dan biota lain yang menjadi ciri peralihan antara wilayah laut dan daratan.

Habitat mangrove di huni jenis-jenis ikan pemakan detritus dan juga di huni oleh kerang-kerangan, udang, kepiting, beberapa jenis burung, tikus, babi dan kelelawar. Wilayah pantai timur Sulawesi Selatan setiap tahun menjadi area yang paling banyak didatangi oleh burung-burung migratory, terutama yang berasal dari Australia dan New Zealand.

Padang lamun sebagai ekosistem pesisir juga dijumpai pada perairan pantai yang dangkal diantara terumbu karang dan pantai. Di Sulawesi Selatan terdapat/dikenal 7 ginera, yaitu ; Enhalus, Thalassia, Halophila, Halodule, Cymodocea, Syngodium dan Thallassodendrum. Selain berfungsi sebagai penyerap sedimen, padang lamun juga berfungsi sebagai regulator nutrien di perairan pantai sehingga berperan menjadi tempat berkumpulnya organisme renik plankton yang mengundang ikan-ikan untuk meletakkan telurnya hingga menetas. Selain itu, organisme seperti dugong (duyung), moluska dan teripang juga merupakan biota-biota yang sering dijumpai berasosiasi dengan padang lamun.

Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang penting, selain karena peran perlindungan pantai juga menjadi tempat hidup berbagai biota asosiatif seperti rumput laut (algae), cacing laut, molusca, ular laut, bulu babi, teripang, bintang laut dan tidak kurang dari 200 jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Menurut sumber Dokumen Persiapan COREMAP Phase II tahun 2003 bahwa luas total hamparan terumbu karang yang terdapat pada kawasan kepulauan Spermonde dan Taka Bonerate diperkirakan sekitar 600 km2.

Dari sumber lain (Sufri Laude dalam Seminar Maritim Indonesia 1996 mengutip dari sumber penelitian LIPI 1995), Taka Bonerate memiliki atol 2.200 km2 yang merupakan terbesar ke tiga di dunia. Taka Bonerate sebagai Taman Nasional Laut memiliki luas 530.758 Ha (menurut data kehutanan 530.765 Ha dimasukkan sebagai kawasan perairan). Dalam kawasan Taka Bonerate terdapat 167 jenis karang pada terumbu karang, sedikitnya 200 jenis atol, 121 jenis gastropoda, 78 jenis bivalvia dan 1 jenis Scaphoda telah ditemukan. Jenis-jenis komersial penting termasuk Triton, Trochus (lola), kerang hijau, cumi-cumi, gurita dan sponges (kerang lunak). Penyu ditemukan 4 jenis yaitu penyu hijau (Chelonia mydos) dan penyu sisik (Ecetmochelys imbricata) yang populasinya cukup banyak dan dieksploitasi oleh penduduk dan masyarakat dari luar kawasan.

Kapoposang merupakan sebuah pulau yang menjadi bagian dari gugusan pulau-pulau Sangkarang (Spermonde), yang berfungsi sebagai Taman Wisata Laut (dalam peta padu serasi Sulawesi Selatan sebagai kawasan perairan dengan luas 50.000 Ha). Pulau ini memiliki potensi ekologis yang bernilai ekonomis, seperti terumbu karang serta keanekaragaman hayati biota laut. Pulau ini juga memiliki variasi jenis pohon yang jumlahnya melebihi pulau-pulau lain yang termasuk dalam gugusan pulau-pulau Sangkarang (Spermonde).

Potensi terumbu karang selain sebagai penyedia sumber daya perikanan, hamparan terumbu karang juga sebagai potensi penyedia jasa lingkungan seperti objek wisata, sumber bahan baku obat-obatan (Sponge dan Algae) dan lain-lain.
Selain itu pada beberapa wilayah pesisir juga terindikasi mengandung sumber daya minyak, gas bumi dan mineral.

Kondisi Sumberdaya Pesisir dan Laut Sulsel

Sumber daya pesisir dan laut Sulawesi Selatan walaupun potensinya dapat dikatakan besar, namun kondisinya sudah berada pada ambang batas penipisan sumber daya dan ekosistem yang mengkhawatirkan.

Luas hutan mangrove/bakau yang tersisa saat ini 22.353 Ha atau hanya 19,85% dari luas hutan mangrove 112-577 Ha pada tahun 80 – an. Kerusakan yang sama terus berlangsung pada ekosistem padang lamun dan terumbu karang yang tersisa dalam kondisi baik hanya ± 20% dari total terumbu karang Sulawesi Selatan. Demikian pula kondisi terumbu karang Taman Nasional Laut Taka Bonerate yang berdasarkan hasil penelitian LIPI 1995 menemukan kondisi karang yang sangat baik tersisa 6,45%, kondisi baik 22,35%, kondisi kritis 28,39% dan kondisi rusak berat 42,95%. Kondisi terumbu karang tersebut banyak disebabkan eksploitasi sumber daya hayati laut dengan cara-cara destruktif yang tidak ramah lingkungan.

Tingkat pencemaran terhadap lingkungan pesisir dan laut semakin meningkat sejalan dengan makin berkembangnya mobilitas transportasi laut di selat Makassar dan kegiatan-kegiatan industri yang semakin pesat serta limbah domestik (rumah tangga). Pencemaran lain yang terjadi dan tidak pernah diperhitungkan/diperhatikan di Sulawesi Selatan khususnya adalah pencemaran dari limbah yang dihasilkan oleh limbah dari aktifitas budidaya laut (tambak) terhadap ekosistem perairan.

Menurut Dedy Yaniharto (Direktorat Pengkajian Ilmu Kelautan Deputi Bidang Pengkajian Ilmu Dasar dan Terapan BPP Teknologi), aktifitas budidaya secara berlebihan akan menimbulkan dampak negatif dari limbah yang dihasilkan terhadap keseimbangan ekosistem perairan laut dan pantai secara menyeluruh. Diantara 3 (tiga) komoditas laut yang banyak dibudi dayakan seperti rumput laut (sea weeds), kerang (mussel dan oyster) dan ikan (fish culture/farming), maka budi daya kerang dan budi daya ikan penyumbang limbah terbesar yang umumnya berupa unsur fospor (P) dan Nitrogen (N), kedua senyawa ini akan menyuburkan / memperkaya (enrichment) perairan dan meningkatkan biomas pada semua tingkat trofik. Peningkatan biomas perairan mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut terutama pada malam hari. Masalah kualitas air ini diperburuk pula oleh perubahan-perubahan fisik, kimiawi dan biologis yang sejalan dengan peningkatan biomas perairan.

Fenomena lain yang memperlihatkan kondisi pesisir dan laut di Sulawesi Selatan adalah telah banyaknya terjadi pengikisan/abrasi pantai pada beberapa Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Hal ini disebabkan kondisi ekosistem Mangrove, padang lamun, Terumbu karang dan Biota laut lainnya di Sulawesi Selatan yang mulai terdegradasi dan lambat laun akan habis. Untuk itu Potensi Sumberdaya Pesisir dan laut Sulsel perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaannya, khususnya eksploitasi sumber daya hayati laut dengan cara-cara yang destruktif yang tidak ramah lingkungan perlu segera ditindaki secara tegas dan menciptakan kondisi pesisir dan laut di Sulawesi Selatan yang kondusif dan ramah lingkungan serta berbasis masyarakat yang diharapkan nantinya dapat menjaga dan melestarikan Sumberdaya pesisir dan lautnya, sehingga harapan kedepan pengelolaan Wilayah pesisir dan laut diSulsel mampu sejajar dengan Negara-negara Asean lainnya yang sudah lebih maju.