31 Mei 2007

Mendukung Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Masyarakat dan Berbasis Sekolah


Tanggal : 31 Mei 2007
Sumber : http://www.mpbi.org/?dir=kegiatan&file=detail&id=48

Tsunami Laut Hindia yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 telah menewaskan 30 orang, dengan ratusan orang lainnya tidak berumah dan telah merusak 20% dari wilayah pesisir di pulau Nias. Kejadian selanjutnya adalah gempa bumi pada tanggal 28 Maret 2005 yang telah merusak 80% dari infrastruktur yang mayoritas di Gunung Sitoli dan Teluk Dalam.

Sebagai komitmen untuk memperkuat SDM untuk pengurangan resiko bencana, UNESCO bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (CSI) mengimplementasi sebuah project untuk mencapai hal tersebut di tiga wilayah uji coba i.e. Lagundri, Bawomataluo, dan Teluk Dalam. Proyek dilaksanakan bersama MPBI dan ELSAKA untuk jangka waktu 6 bulan dari November 2006 sampai dengan Mei 2007.

Tujuan dari kegiatan-kegiatan ini adalah untuk memberdayakan beberapa masyarakat lokal dan guru sekolah terpilih untuk menjadi pemimpin secara partisipatoris untuk penanggulangan bencana berbasis desa dan bersama-sama mengembangkan kerangka kerja penanggulangan bencana termasuk disitu pengetahuan dan kearifan local mengenai kesiapsiagaan bencana di Nias Selatan dan untuk mendirikan kelompok kerja kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat dan sekolah di tiga desa yang dituju.

Pelatihan tingkat dasar diadakan pada tahap awal dari proyek dan telah diikuti oleh 33 peserta. Pelatihan ini melingkupi perkenalan tentang segi lokasi geografis dan geologis dari Nias dan ancaman kedepan. Konsep dasar dari kesiapsiagaan bencana dan bagaimana mengelola kondisi diperkenalkan pada tahap ini.

Tahap kedua adalah pelatihan lanjutan yang diikuti oleh kelompok yang sama yang ikut dipelatihan tingkat dasar. Pada tahap ini, pemahaman mengenai resiko, ancaman, kerentanan dan kemampuan telah diperkenalkan. Berbagai peralatan untuk praktek analisis resiko dan PRA untuk menghasilkan peta resiko bencana dipraktekkan.

Pada tahap Pelatihan Fasilitator, peserta diseleksi berdasarkan kemampuan dan kemauan. Mereka yang memiliki kualifikasi sebagai fasilitator untuk kesiapsiagaan sekolah terhadap bencana diberi pelatihan secara intensif.

Para fasilitator diberikan kesempatan untuk melakukan praktek lapangan di sekolah dan masyarakat, hasil dari kegiatan tersebut adalah sebuah protab untuk kesiapsiagaan sekolah. Sebagai puncak dari kegiatannya, sebuah simulasi gempa dan tsunami dilakukan oleh 350 anggota masyarakat, fasilitator dan Pramuka.

Komitmen dari para pemegang kebijakan setempat adalah untuk memasukkan kesiapsiagaan dimasukkan dalam muatan lokal dan agar simulasi sering dilakukan. LSM lokal maupun internasional menunjukkan minat mereka untuk mengadopsi bahan pelatihan untuk pengurangan resiko bencana. Untuk informasi lebih lanjut, harap hubungi Bambang Sasongko, email: kokok_yk@yahoo.com

30 Mei 2007

12 Pulau Rawan Ancaman Konflik

Tanggal : 30 Juni 2007
Sumber: http://www.posmetrobatam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1354&Itemid=36


Ketika Pulau Terluar Terabaikan

SEJUMLAHpulau terluar diyakini rawan konflik dengan negara tetangga, sehingga perlu pengawasan khusus. Contohnya, Pulau Nipah yang berbatasan dengan Singapura nyaris hilang lantaran terkait praktek pengerukan pasir.

Melalui survei yang dilakukan untuk penyusunan data spesial tentang kondisi sumber daya alam dan lingkungannya, kedalaman laut, populasi, serta jarak dengan pulau utama atau ibukota kabupaten, disimpulkan bahwa Pulau Nipah di Provinsi Kepri sangat rawan hilang. Sebanyak 12 pulau yang termasuk rawan ancaman konflik. Diantaranya, Pulau Nipah, Rondo, Sekatung, Berhala, Morore, Miangas, Merampit, Batek, Dana, Fani, Fanildo, dan Brass. Sedangkan pulau Miangas di Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filiphina sangat rentan akan pengaruh budaya dan sosial yang kuat dari negara tetangga.

Hal ini disampaikan Asisten Administrasi dan Pemerintahan, Drs Raja Ariza dalam acara sosialisasi Perpres 78 tahun 2005, kemarin. Menurutnya, luas perairan yang dominan di provinsi ini juga berimplikasi pada arah strategis pembangunan daerah. Dimana sektor maritim menjadi pokok perhatian penting dalam setiap pengambilan kebijakan.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan yakni, pembangunan basis data spesial mengenai pulau-pulau terluar. Seperti pemberian nama. Adanya inisiatif Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mendaftar nama-nama pulau-pulau kecil ke PBB perlu mendapat dukungan.

Sekedar diketahui, luas provinsi Kepri lebih kurang 251.810.71 km persegi. Terdiri dari 241.215.30 km persegi atau 95,79 persen berupa lautan dan 10.595,41 km persegi atau 4,21 persen berupa daratan, dengan total keseluruhan pulau 2.408 buah pulau besar dan kecil. Penduduk yang tercatat, jumlahnya sekitar 1.245.708 jiwa. Ada 19 pulau kecil terluar yang terletak di daerah perbatasan dan 12 diantaranya terletak di kabupaten Natuna.

Sementara itu, Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Ditjend Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan DR Alex Retraubun, di Hotel Pelangi mengatakan, sepertinya pemerintah tidak pernah serius memikirkan keberadaan pulau-pulau terluar yang berada di daerah perbatasan. Padahal, pulau-pulau terluar tersebut merupakan titik pangkal teritorial sebuah bangsa. Indonesia berbatasan dengan beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Filiphina, Vietnam, Thailand.

Salah satu permasalahan utama dalam pengelolaan wilayah laut yang dihadapi oleh negara Indonesia adalah Singapura. Batas laut RI-Singapura terletak di provinsi Kepri, antara lain, Batam, Karimun, Natuna, Bintan dan Bengkalis.

Permasalahan lain, adalah soal ekspor pasir dan reklamasi pantai Singapura. Data menunjukkan bahwa 25 tahun yang lalu luas Singapura hanyalah 527 kilometer persegi. Tahun 1998 bertambah menjadi 674 kilometer persegi. Sampai dengan tahun 2010 Singapura mentargetkan luas wilayahnya mencapai 834 kilometer persegi.

Mengingat tingginya intensitas permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan batas wilayah laut, sangat dibutuhkan suatu kebijakan khusus dalam pengembangan pulau-pulau kecil terluar melalui kegiatan perlindungan, pengawasan, pemantauan secara terus menerus agar keberadaannya dapat dipertahankan.

Hasil survei yang dilakukannya bersama tim terkait, saat ini ada 92 pulau kecil terluar yang tersebar di 20 provinsi dan 38 kabupaten. Hanya 40 persen penghuninya. Potensi pulau-pulau kecil ini adalah memiliki kandungan sumber daya alam khususnya ekosistem pesisir dan laut beserta biota yang hidup di dalamnya.

Melalui diagram, Alex menunjukkan penyebaran pulau-pulau terluar yang ada di tiap provinsi. Provinsi Kepri memiliki pulau terluar paling banyak, yaitu 19 pulau kecil terluar. Lalu, urutan ke-2 adalah Maluku dengan jumlah persebaran pulau kecilnya sebanyak 18 buah dan terbanyak ke-3 adalah pulau Sulawesi Utara dengan jumlahnya mencapai 11 pulau kecil.

‘’Banyak persoalan yang terjadi pada pulau-pulau kecil terluar tersebut,’’ katanya. Seperti, belum tercapainya kesepakatan bersama tentang perbatasan wilayah laut dengan negara tetangga, kesenjangan ekonomi dengan negara tetangga semakin tajam. Terjadinya kegiatan transnational crimes, ilegal fishing, ilegal logging, woman and child trades (trafficking), ilegal imigrant, people smuggling, peredaran narkoba, pintu masuk terorisme, dan potensi konflik sosial dan politik.

Tak hanya itu, sarana dan prasarana di pulau-pulau terkecil terluar sangat terbatas, sehingga menjadikan terisolir, potensi ekonomi pulau-pulau kecil terluar belum dimanfaatkan secara optimal.

Alex menjabarkan sejumlah strategi pengelolaan, format kerja terpadu dan komprehensif dengan fokus peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kedaulatan negara. Keterlibatan berbagai unsur, sektor, stakeholder dengan pengembangan prinsip kemitraan, pengembangan berbagai sarana dan prasarana yang menunjang. Melakukan upaya-upaya deplomatis dan politis secara bilateral dengan negara tetangga terkait.

Selain itu, menjadi basis pengembangan model perikanan terpadu, mengintensifkan pemberdayaan ekonomi masyarakat pulau-pulau terluar, melakukan inventarisasi komprehensif potensi pulau-pulau terluar, melakukan sosialisasi pulau-pulau kecil terluar kepada pihak terkait. Program tersebut, kata Alex adalah program jangka pendek. Sedangkan program jangka panjangnya adalah, keberadaan pulau-pulau kecil terluar tersebut adalah aset bangsa yang bisa menarik investor guna pengembangan model pariwisata bahari dan jasa kelautan, mendeklarasikan pulau-pulau relevan sebagai kawasan konservasi, melakukan penataan ruang komprehensif, meningkatkan koordinasi lintas sektoral. Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran di 47 lokasi, serta pembangunan pelabuhan perikanan terluar.

Pulau-pulau kecil terluar yang tidak berpenghuni bisa juga dikembangkan sebagai konservasi dan taman nasional laut, wisata bahari, daerah persinggahan, pertahanan dan keamanan, relokasi nelayan, kawasan industri. ‘’Hanya saja, jika kita pandai memanfaatkan pulau-pulau kecil terluar tadi, mungkin kita akan menjadi negara yang kaya,’’ pungkas Alex mengakhiri paparannya di depan peserta sosialisasi Perpres 78 tahun 2005. (baiq desi rindrawati)

26 Mei 2007

Selat Malaka Kini Lebih Aman

Tanggal : 26 Mei 2007
Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/5/26/selat-malaka-kini-lebih-aman/


Bandarlampung (ANTARA News)- Organisasi Maritim Internasional (IMB - International Maritime Bureau) dalam publikasinya menyebutkan jumlah pembajakan-perompakan periode Januari-Maret 2007 di seluruh dunia turun secara drastis jika dibandingkan dengan periode yang sama 2006.

Insiden perompakan bersenjata atas kapal-kapal untuk tiga bulan pertama 2007 mencapai 41 kasus, atau 20 persen lebih rendah dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 61 kasus perompakan bersenjata.

Meski ada kecenderungan menurun, IMB mencatat, beberapa daerah tetap rawan perompakan, terutama Nigeria dan Somalia.

Penyerangan atas pekerja tambang minyak lepas pantai maupun atas kapal di Nigeria tercatat 6 kasus, atau dua kali lebih banyak dibandingkan 3 bulan pertama pada tahun sebelumnya.

Sedang di Somalia terjadi 2 kasus penyerangan-pembajakan atas kapal. Somalia dan Nigeria memang dikenal sebagai daerah berbahaya, akibat konflik yang berkepanjangan. Oleh karena itu, IMB merekomendasikan agar kapal-kapal tidak berlabuh, dan setidaknya berlayar 75 mil dari garis pantai Somalia.

Tahun 2005, di Somalia dilaporkan terjadi 35 kasus perompakan, padahal 2004 hanya 2 kasus.

IMB juga menyebutkan bahwa perompakan di kawasan Asia Tenggara turun secara siginifikan. Di Indonesia hanya tercatat 9 kasus, 2 di antaranya di Selat Malaka, dan angka itu turun drastis dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 19 kasus.

"Kawasan ini menunjukkan suatu contoh yang bagus tentang kerjasama antar negara di kawasan itu, untuk mengatasi dan menekan ancaman perompakan," demikian IMB.

Indonesia, Malaysia, dan Singapura, pada Juli 2004 lalu telah menyepakati pengamanan Selat Malaka dengan konsep "patroli terkoordinasi", dan bukan "patroli bersama". Sejak diberlakukannya patroli terkoordinasi itu, jumlah perompakan-penyerangan bersenjata di Selat Malaka turun drastis. Data statistik IMB juga menunjukkan penurunan angka pembajakan-perompakan di Selat Malaka.

Meski demikian, IMB menyebutkan ada beberapa daerah di kawasan Asia Tenggara yang perlu diwaspadai, seperti pelabuhan Belawan dan Tangjung Priok (Indonesia), Selat Malaka, dan Selat Singapura.

Selat Malaka yang terletak di perairan Sumatera dan Semenanjung Malaka merupakan urat nadi perdagangan dunia, yang menghubungkan Samudera Hindia dan Pasifik, atau dari Asia Barat hingga Asia Timur.

Panjang Selat Malaka diperkirakan 800 Km, dan telah menjadi pusat perdagangan dunia sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara. Mantan Kasal Bernard Kent Sondakh pernah mengatakan bahwa 72 persen pedagangan dunia melalui Selat Malaka.

Dari sisi ekonomi dan kestrategisan, Selat Malaka merupakan jalur pelayaran terpenting dan tersibuk di dunia, seperti halnya Terusan Suez dan Panama

Lebih dari 50 ribu kapal pertahun melintasi Selat Malaka, yang mengangkut hampir seperlima perdagangan laut dunia. Kapal-kapal tanker diperkirakan mengangkut 11 juta barel minyak per hari melalui Selat Malaka pada 2003, terutama untuk tujuan Jepang.

Seiring berkembangnya perekonomian Cina, negara berpenduduk terbanyak di dunia itu juga tumbuh menjadi pengimpor minyak terbesar dunia. Akibatnya, perairan Selat Malaka makin padat.

Selat Philips (Singapura) yang berada di titik tersempit di Selat Malaka adalah salah satu kemacetatan laut dunia.

Namun, nilai strategis Selat Malaka, juga dibarengi dengan kerawanannya, terutama perompakan atau ancaman terorisme laut. Pada 2003 saja telah terjadi 150 kasus penyerangan/perompakan di Selat Malaka.

Melihat itu, negara-negara besar telah menyatakan keinginannya untuk terlibat mengamankan Selat Malaka, seperti AS, India, atau Jepang.

Pengamanan Selat Malaka juga menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Konfrensi Keamanan Asia di Singapura pada 4-5 Juni 2005 lalu.

Namun negara-negara pantai di Selat Malaka, yakni Indonesia, Singapura, dan Malaysia, telah menyatakan dengan tegas bahwa negara- negara pantai yang bertanggung jawab atas pengamanan Selat Malaka, sementara negara lainnya diharapkan hanya memberikan bantuan, terutama di bidang peralatan dan informasi.

Sebagaimana disebutkan Menhan Juwono Sudarsono, kepedulian sejumlah negara, seperti Jepang dan AS, untuk membantu mengamankan Selat Malaka adalah hal yang positif, sepanjang mereka tidak membantu dalam gelar kekuatan militer, seperti mengerahkan kapal- kapal perangnya.

Dalam rangka itu, ketiga negara pesisir itu pada Juli 2004 lalu telah menerapkan patroli terkoordinasi untuk mengamankan Selat Malaka. Bukan format "joint patrol" yang dipilih, karena harus ada salah satu dari ketiga negara itu yang menjadi panglimanya jika format kerjasamanya adalah patroli bersama.

Tetap waspada

Menurut Kasal Laksamana Slamet Soebijanto belum lama ini, potensi kerawanan di Selat Malaka harus tetap diwaspadai meski angka kejahatan di laut sudah dapat ditekan ke titik terendah.

Selat Malaka lebih aman saat ini berkat patroli terkoordinasi Malsindo (Malaysia, Singapura, Indonesia).

Sebelum patroli terkoordinasi itu digelar, sebenarnya telah terjalin patroli laut bilateral antara Indonesia- Malaysia, dan Indonesia- Singapura. Namun kerjasama itu kurang efektif mengamankan Selat Malaka, karena tidak dilakukan sepanjang tahun dan membutuhkan peralatan yang lebih besar.

Keterbatasan kemampuan angkatan laut negara pesisir itu untuk melakukan patroli sendiri adalah salah satu penyebabnya. Sebagai contoh, untuk mengamankan perairan Indonesia di Selat Malaka, Indonesia idealnya mengerahkan 36 kapal perang, namun hanya 7 kapal patroli yang bisa digelar.

Melalui patroli terkoordinasi, tugas pengamanan yang dilakukan Indonesia, Malaysia, dan Singapura, menjadi lebih jelas, termasuk prosedur yang harus ditempuh dalam mengejar kapal-kapal mencurigakan yang memasuki perairan ketiga negara tersebut.

Menurut Kasal, meski kini lebih aman, namun pengamanan Selat Malaka harus tetap ditingkatkan, karena sangat banyak negara berkepentingan atas Selat Malaka.

Optimalisasi pengamanan Selat Malaka tetap diupayakan dengan pemberian bantuan oleh negara-negara lain yang kepentingan bisnis-politiknya sangat tergantung atas keamanan Selat Malaka, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Mereka ingin menyertakan Thailand untuk terlibat dalam patroli terkoordinasi.

Sebagaimana disebutkan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto belum lama ini, pemerintah Thailand secara informal telah menyampaikan keinginannya untuk terlibat dalam patroli terkoordinasi.

Keinginan Thailand itu disampaikan dalam pertemuan Panglima Bersenjata Thailand dan Panglima TNI di Thailand pada Maret 2007, setelah sebelumnya disampaikan pada Forum Pertemuan Panglima Angkatan Bersenjata ASEAN tahun 2005.

Patroli terkoordinasi terbukti lebih efisien mengamankan Selat Malaka, namun potensi kerawanannya tetap tinggi sehingga negara-negara pesisir tidak boleh lengah dalam mengamankannya.

22 Mei 2007

Sedimentasi Sungai Rokan Relatif Tinggi

Tanggal : 22 Mei 2007
Sumber : http://rokanhilir.go.id/berita.php?go=beritalengkap&id=1732


BAGANSIAPI-API (RP) ----- Sedimentasi (pendangkalan) sungai Rokan terutama di semenanjung Kecamatan Rimbamelintang dalam kabupaten Rokan Hilir relatif tinggi. Hasil penelitian lingkungan hidup, dalam setahun, sedimentasi sungai Rokan terkhusus di Kepenghuluan Muktijaya mencapai 40 hingga 60 cm.

''Sedimentasi sungai Rokan di Kepenghuluan Muktijaya itu mutlak disebabkan gerusan abrasi di beberapa titik bibir sungai. Terutama diatas tekstur lahan yang labil dan lunak terhadap tahanan air,'' kata Ir Nahrowi, Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) Bapedalda Kabupaten Rokan Hilir.

Dihubungi Sabtu ( 19/5) kemarin, pihaknya mengakui gerusan abrasi yang menyapu kawasan pertanian dan mengintai areal pemukiman penduduk tempatan relatif besar dan parah. Sedimentasi sungai Rokan yang diteliti selama beberapa tahun belakangan menguak bahwa potensi abrasi yang sejak beberapa tahun menerjang kawasan itu tidak akan pernah terhenti sepanjang pasang surut air laut masih menyeringai melintasi kawasan bibir sungai di hilir sungai Rokan itu.

''Bahkan bila tidak segera di tanggulangi, boleh jadi dusun itu akan hilang atau bahkan menyapa beberapa kepenghuluan yang berada di kecamatan Rimbamelintang. Sedimentasi di sungai Rokan itu juga sebabkan pengaruh desakan pasang laut menjadi lebih tegang dan senantiasa menghala tektur lahan di sepanjang bibir sungai,'' akunya menambahkan.

Menurut Roy, demikian Nahrowi dihadapan pers, sedimentasi menjadikan suatu fenomena alam yang disebut Bono oleh masyarakat tempatan. Bono, terjadi secara sporadis manakala pasang laut terjadi dalam skala besar atau biasa disebut pasang Keling. Bono merupakan riak gelombang pasang laut yang terdorong ditengah sungai tepat diatas pendangkalan. Dalam kondisi itu, air pasang menjadi berputar-putar bagai bola angin yang menghala tidak menentu. Barulah bono akan terhenti ketika telah mencium bibir sungai.

''Tak sekedar pasang laut yang menyebabkan gerusan air. Tapi keberadaan Bono yang sedianya pada saat-saat tertentu saja terjadi secara alamiah yang memperparah peristiwa abrasi itu. Dalam kondisi seperti itu, jangankan bibir sungai, kapal bertonase tinggipun akan ikut tergulung dalam pusar air bagai gelombang besar tersebut,'' tambah Roy.

Gerusan abrasi menurut nya, berkemungkinan dapat ditahan dengan system breaks water. Breaks water seperti dipantai-pantai yang berhadapan langsung dengan samudera seperti laut Sumbar, Laut Dumai dan banyak tempat ditanah air yang dibangun berbahan baku batu cadas alam dalam ukuran yang besar dan telah ditata dalam sudut kemiringan yang konvensional. Artinya, bila hanya dibangun dalam bentuk tanggul tembok atau berbahan dari tanah saja, jelas sangat-sangat mustahil.

''Bono itu sendiri merupakan fenomena alam yang menakjubkan untuk dilihat. Namun perlu diketahui, bono merupakan gelombang terbesar yang menghancurkan dan hanya terjadi di perairan sungai dan selat-selat yang tertahan dinding bersudut. Selain bono, pasang laut di pesisir laut Bagansiapiapi juga sangat besar didominasi dengan besaran volume air laut itu sendiri,'' Nahrowi.

Akan banyak persoalan yang perlu dipertimbangkan dan dikaji secara cermat dalam sebuah kontek penanggulangan daerah rawan abrasi di wilayah ini. Nahrowi tak menafikan bahwa satu upaya seperti pembangunan tanggul saja jelas masih sangat kurang. Karenanya, harus ada penghitungan yang skematis dan multi fungsi bila berharap abrasi dapat dihentikan.

''Dan tidak cukup bila hanya ditanggulangi oleh Pemkab semata. Soalnya, ini merupakan fenomena besar yang mesti di selesaikan dengan cara di keroyok secara massal. Baik itu Pemkab, Pemprov bahkan penting juga melibatkan pusat. Soalnya, Sungai Rokan ini merupakan terusan dari hulu sungai - sungai besar di Sumatera Barat. Hingga pasa akhirnya bermuara di Rohil,'' terang Roy

Mitigasi Bencana Kawasan Pesisir

Tuesday, 22 May 2007
Oleh Any Nurhasanah dan Aprizal
Dosen Hidro Fakultas Teknik Universitas Bandar Lampung (UBL)

GELOMBANG laut menerjang sebagian besar wilayah pesisir Indonesia dan menimbulkan kerugian material yang tak ternilai. Setidaknya ada 11 provinsi yang menderita bencana ini, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, Jawa Timur, dan Bali pada Jumat (18/5) lalu. Ketinggian gelombang berkisar antara 2-3 meter (m), bahkan di sebagian wilayah mencapai 7 m.

Lalu, sehari kemudian gelombang laut mengamuk di Pulau Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Pulau Flores (Nusa Tenggara Timur) (Kompas, Minggu, 20/5).

Jika menyaksikan di layar kaca, bencana kawasan pesisir ini rasanya serupa dengan tsunami yang sempat meluluhlantakkan sebagian pesisir Indonesia. Seperti tsunami di Aceh, Nias, Pangandaran, dan sebagainya.

Banyak analisis terkait dengan terjadinya bencana pesisir akibat tingginya gelombang laut ini yang pada umumnya menyiratkan fenomena di atas adalah biasa. Ada yang menyebut meningkatnya ketinggian gelombang laut ini adalah gelombang pasang biasa yang terjadi akibat sejajarnya matahari, bumi, dan bulan. Lalu, ada yang menyatakan semua itu disebabkan oleh swell atau penumpukan massa air di Samudera Indonesia.

Kemudian, ada pula yang menyebut Laut Selatan sedang dilanda fenomena alam berjenis palung atau trough. Palung berada di perairan Samudera Hindia sejak Selasa (15/5) lalu yang melintang ke arah tenggara Australia. Fenomena alam tersebut muncul karena adanya peningkatan tekanan udara rendah.

Penyebabnya, adanya gesekan angin dan permukaan laut, sehingga memunculkan gelombang laut. Palung tersebut akan semakin berbahaya jika melewati daerah yang sedang mengalami cuaca buruk seperti hujan lebat.

Baiklah, apa pun itu, apakah ini fenomena biasa ataupun fenomena luar biasa, yang jelas dampak gelombang laut telah menimbulkan kerugian yang besar. Dan anehnya, walaupun gelombang pasang yang terjadi disebut sebagai fenomena alam biasa, ternyata minim antisipasi.

Bencana di wilayah pesisir sejatinya tidak hanya berupa gelombang pasang, tetapi ada gelombang tsunami, banjir, kenaikan muka air laut akibat global warming, dan erosi pantai.

Amat perlu diwaspadai bagi Lampung bahwa pantai Barat Lampung dan kawasan Selat Sunda selain rentan terhadap serangan gelombang pasang, juga sangat potensial terhadap bencana tsunami. Tektonik di daerah ini terbentuk akibat tumbukan lempeng Samudra Indo-Australia dan lempeng euroasia yang berarah Barat-Timur. Terlebih lagi kawasan Selat Sunda yang terdapat gunung anak Krakatau yang masih aktif.

Berdasarkan kajian Heru Sri Naryanto (2003), peneliti dari BPPT terhadap bencana tsunami di kawasan Selat Sunda, Bandarlampung menempati urutan ketiga dari tingkat kerawanan setelah Merak dan Anyer-Carita. Setelah itu, Kalianda yang menempati urutan keempat dan Labuan dengan urutan kelima.

Hasil kajian lainnya yang dapat mendirikan bulu kuduk adalah karena letaknya Bandarlampung yang berada di daerah teluk, ini semua akan berakibat terjadinya penyempitan gerakan gelombang ke dalam teluk tersebut. Sehingga, gelombang laut menjadi lebih tinggi dan gerakannya semakin cepat, sehingga akan lebih merusak kawasan tersebut.

Secara teoritis (Dean, 1984), gelombang yang menjalar ke tempat yang lebih sempit, tinggi gelombang di ujung menjadi lebih tinggi daripada tinggi gelombang datang. Hal ini disebabkan karena pengaruh garis orthogonal yang menyempit. Energi gelombang di ujung terakumulasi sehingga menjadi lebih besar. Menjadi pertanyaan penting, bagaimana menyikapi ancaman ini?
Bencana alam semacam gelombang tsunami dan gelombang pasang memang tidak dapat dihindari, tetapi dampak negatifnya harusnya dapat diminimalisasi. Caranya adalah dengan melakukan mitigasi.

Definisi mitigasi adalah proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalisasi dampak negatif bencana yang akan terjadi. Mitigasi juga merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat.

Sebenarnya, cara yang paling mudah menghindari bencana di wilayah pesisir adalah tidak tinggal di sekitar pantai. Namun, banyak sekali alasan yang kuat mengapa masyarakat merasa perlu dan memilih tinggal di kawasan tersebut meskipun rentan terhadap bencana. Oleh sebab itu, mitigasi kawasan pesisir sudah menjadi kebutuhan yang harus dititikberatkan pada saat ini daripada respons pascabencana.

Strategi mitigasi bencana gelombang pasang dan tsunami dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, meredam gelombang. Kedua, pembuatan sistem peringatan dini (early warning system) yang handal. Dan ketiga, adalah pembelajaran tentang bencana sekaligus cara menghindarinya.

Meredam gelombang dapat dilakukan secara alami maupun buatan. Secara alami yaitu dengan memberi halangan hutan tanaman keras seperti mangrove. Besar peredamannya tergantung pada ketebalan hutan, jenis, kerapatan, dan ketinggian hutan tanaman tersebut. Secara buatan yaitu dengan membuat tembok laut atau sea wall dan pemecah gelombang atau break water.

Tembok laut dapat dibuat untuk menghalangi serangan gelombang. Jepang merupakan salah satu negara yang membuat sea wall untuk berlindung dari serangan gelombang tsunami. Pemecah gelombang juga dapat dibuat untuk mereduksi tinggi dan energi gelombang. Hanya saja untuk meredam gelombang tsunami yang tingginya mencapai 30 meter, cara ini kurang efektif karena sangat mahal.

Selanjutnya, sistem peringatan dini yang baik terhadap bencana sampai saat ini belum ada. Kabar yang diterima masyarakat akan terjadinya bencana seringkali terlambat, sehingga masyarakat tidak sempat menyelamatkan diri. Pembelajaran tentang terjadinya bencana dan cara menghindarinya dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan tentang bencana sejak usia sekolah dasar, sosialisasi terhadap masyarakat di sekitar daerah rawan bencana, dan melakukan latihan evakuasi jika terjadi bencana.

Selain tiga cara di atas, ada alternatif lain yang dapat dilakukan sebagai upaya mitigasi bencana akibat gelombang pasang dan gelombang tsunami. Upaya tersebut adalah dengan penataan kawasan pesisir. Tata letak kawasan dapat direncanakan dengan memperhatikan aspek teknik pantai atau coastal engineering-nya, yaitu dengan memperhitungkan tinggi run-up gelombang yang menyerang kawasan tersebut, pola aliran yang menghantam kawasan, dwelling time (waktu tunggu) gelombang, dan kecepatan alirannya.

Tata letak yang tepat dapat mempermudah orang melakukan evakuasi. Rambu-rambu peringatan dapat dipasang pada tempat yang tepat sehingga orang dapat lebih mudah menyelamatkan diri. Ketika tanda bahaya dibunyikan, orang di kawasan tersebut tahu harus lari ke mana untuk menyelamatkan diri. Latihan penyelamatan diri juga dapat lebih terarah, sehingga orang-orang di kawasan tersebut lebih siap jika terjadi bencana.

Kesiapan individu dalam evakuasi sangat membantu menghindari kekacauan di saat bencana datang. Mitigasi bencana untuk kawasan pesisir memang sudah merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda.

Sejauh ini, penataan kawasan pesisir hanya memperhatikan segi keindahannya saja, kurang memperhitungkan aspek pencegahan bencananya. Mengingat Lampung terutama Bandarlampung berhasrat sangat untuk mewujudkan waterfront city agar menjadi rapi dan tertata sesuai dengan fungsinya, maka perlu mewaspadai ancaman bencana kawasan pesisir di atas.

Kerugian ekonomi dan korban jiwa dalam setiap terjadinya bencana akan lebih besar apabila strategi pembangunan dan perencanaan tata ruang tidak memperhatikan risiko bencana. (*)

19 Mei 2007

Bangunan Pelindung di Pantai Jawa Minim

Tanggal : 19 Mei 2007
Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/5/19/bangunan-pelindung-di-pantai-jawa-minim/

Surabaya (ANTARA News) - Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menilai, bangunan pelindung kawasan pantai di bagian Utara maupun Selatan Jawa hingga kini masih sangat minim, sehingga ketika terjadi gelombang besar (pasang) warga dan pemukiman di dekat pantai terancam.

"Kalau pun sudah ada, konstruksi dan penempatannya belum sesuai harapan," kata Praktisi Cuaca dan Kelautan BMG Maritim Tanjung Perak Surabaya, Eko Prasetyo, di Surabaya, Sabtu.

Buktinya, berdasarkan kajian sementara yang dilakukannya, banyak terjadinya abrasi di pesisir Jawa, baik bagian Utara maupun Selatan akibat hantaman air laut pasang beberapa hari terakhir.

Hantaman air laut pasang beberapa hari terakhir diantaranya telah mengakibatkan abrasi dan kerusakan fasilitas pantai di beberapa daerah seperti Anyer, Cilacap, Banyuwangi, Tuban dan lainnya.

Karena itu, menurut dia, pembangunan fasilitas yang dapat menghindarkan atau mengurangi ancaman air laut pasang di kawasan pesisir Jawa mendesak untuk dilakukan.

Fasilitas bangunan tersebut, diharapkan akan bisa mengurangi energi gelombang laut hingga ke pantai dan juga melindungi pantai secara langsung dari air laut pasang ataupun terpaan angin laut.

Bangunan-bangunan pantai yang mendesak untuk dibangun diantaranya "jeti", "groen" dan pemecah gelombang (break water).

"Jeti" adalah bangunan tegak lurus dengan pantai yang ditempatkan di dua sisi muara sungai. Fungsinya, untuk menahan laju gelombang ke muara dan mengurangi tingkat sedimentasi.

"Groen" adalah bangunan di pantai yang menjorok ke laut yang sangat membantu mengurangi abrasi akibat hantaman gelombang. Sedangkan "break water" terdiri dari "break water" lepas pantai atau sambung pantai.

"Break water" fungsinya tidak hanya menghancurkan energi gelombang sebelum sampai ke pantai, tetapi juga melindungi kapal yang merapat di dermaga atau pesisir, paparnya.

11 Mei 2007

MOU OSRC do Tandatangani

Tanggal : 11 Mei 2007
Sumber : http://tambangnews.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=748


Jakarta, Tambangnews.com.-
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Riau, Otorita Batam, dan PT Enervo Engineering Indo, di Jakarta, Jumat (11/5), menandatangani nota kesepahaman (MoU), mengenai pembentukan pusat pengelolaan pencemaran tumpahan minyak atau Oil Spill Response Center (OSRC).

Menurut Wakil Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Muhammad Sani, MoU ini dilakukan sebagai upaya mengatasi pencemaran akibat tumpahan minyak di Kepulauan Riau, karena kondisi wilayah Provinsi Kepulauan Riau sangat rentan terhadap pencemaran lingkungan oleh tumpahan minyak (oil Spill).

Hal ini terlihat dari pengalaman buruk yang dialami provinsi tersebut, yakni terjadinya pencemaran lingkungan dari tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal tanker.

“Kepulauan Riau merupakan kepulauan yang berada di Selat Malaka, di mana jalur tersebut merupakan jalur kapal-kapal tanker internasional dan domestik, karena itu rentan terhadap pencemaran minyak, akibat kecelakaan,” katanya.

Dengan mempertimbangkan semua poin tersebut, maka perlu bagi Provinsi Kepulauan Riau untuk memiliki sumber daya penanggulangan pencemaran minyak yang diberi nama Pusat Pengelolaan Pencemaran Tumpahan Minyak atau Oil Spill Response Center (OSRC).

Menurut Sani, OSRC ini merupakan salah satu program unggulan Provinsi Kepulauan Riau tahun anggaran 2007, yang merupakan tempat dimana tersedia alat-alat pengendalian pencemaran minyak di laut beserta tenaga ahlinya dan merupakan badan pelaksanaan operasi penanggulangan minyak secara terpadu.

“Inisiatif pembentukan OSRC ini, berdasarkan Peraturan Presiden No. 109 tahun 2006, yang mewajibkan setiap provinsi dan tingkat II memiliki pusat pengelolaan pencemaran tumpahan minyak.

Pembentukan OSRC ini merupakan Pilot Project bagi pemerintah pusat dan provinsi lainnya, sebagai upaya penanggulangan minyak di laut. Maka ditunjukklah PT Enervo Engineering Indo, yaitu perusahaan yang bergerak dibidang pengelolaan pencemaran minyak, untuk bekerjasama membentuk OSRC.

Menurut Dirut PT Enervo Engineering Indo, Yunita Fahmi, kecelakan kapal yang terjadi di Kepri beberapa waktu lalu, mengakibatkan tumpahan minyak, karena pemerintah tidak memiliki peralatan maka harus memanggil peralatan dari Singapura.

Karena itu hal ini dilakukan, karena jika tumpahan minyak tersebut terbawa oleh arus kepesisir, maka dampak dari tumpahan minyak tersebut sangat tinggi.

Sampai sekarang, dampak natunasi (kecelakan kapal) masih terasa, klaim kepada perusahaan hanya 5 persen yang dibayarkan dengan asuransi yang ada.

“Karena alasan Tidak ada zona lingkungan yang jelas, berapa jumlah nelayan, dan petani, maka dengan adanya pusat pengelolaan ini diharapkan dapat dibuat data base dari daerah yang ada, yang terkena dampak pencemaran minyak, sehingga ada data-data yang bisa diakui oleh asuransi,”katanya.

Menurut Yunita, rencana tahapan awal penyediaan alat pengelolaan pencemaran melihat kebutuhan, yakni, pemerintah provinsi menyiapkan dana tahap pertama 3,6 M untuk pembelian alat yang disebutkan dalam MOU tersebut.

“Dari alat tersebut digunakan untuk menanggulangi tumpahan minyak dan setiap tahun akan di budgetkan oleh pemerintah sesuai dengan Peraturan Presiden 109, yang di budgetkan melalui APBD,”tambahnya.

Yunita juga mengatakan, sebagai tahapan awal pelaksanaan OSRC, setelah MOU ini, tiap wakil dari masing-masing pihak akan berkumpul untuk menyediakan peralatan yang menjadi kewajiban masing-masing pihak.

Sekitar 400-500 industri di kepulauan Riau yang menjadi anggota (OSRC), yang juga akan membiaya dana peralatan, dana total yang dibutuhkan sekitar 27, 5 M dari pemerintah dan anggota, yang digunakan untuk penyediaan peralatan.

Ia mengharapkan OSRC ini dapat dilaksanakan pada 2007, karena persiapannya sudah dilakukan sejak 2005. (bip/tn03)

10 Mei 2007

Kapal Asing Masih Langgar Batas Wilayah Sumbagut

Tanggal : 10 Mei 2007
Sumber : http://beritasore.com/2007/05/10/kapal-asing-masih-langgar-batas-wilayah-sumbagut/


Medan ( Berita ) : Kapal berbendera asing masih ditemukan melanggar batas kedaulatan wilayah RI dengan memasuki batas zona ekonomi ekslusif diperairan Sumbagut .

Komandan Pangkalan TNI AU Medan, Kol.Pnb.SB.Supriyadi, di Medan, Rabu (9/05), menyatakan hingga kini kapal nelayan berbendera asing masuk secara illegal tanpa izin dan melakukan berbagai kegiatan seperti penangkapan ikan, perompakan laut dan sebagainya.

Pelanggaran itu diketahui dari hasil patroli di wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut)yang dilakukan selama 10 hari dimulai 30 April lalu.

Ia mengatakan, daerah yang rawan itu terutama di wilayah perairan di sekitar Selat Malaka dan Dumai, Riau yang memasuki wilayah Singapura.

Kendati demikian dalam setahun terakhir Indonesai telah melakukan operasi udara bersama Malaysia dan Singapura yang dikenal dengan “eyes in the sky” secara bergantian.

Kebijakan ini diambil agar ketiga negara yang tergabung dalam ASEAN ini tidak mencurigai antara satu dengan yang lainnya akibat terjadinya perompakan atau kegiatan illegal yang terjadi tengah laut yang selama ini Indonesia sering menjadi kambing hitam.

Dari kerjasama ini terjadi penurunan frekuensi kasus perompakan di laut dari 63 kasus tahun 2005 menjadi 12 kasus pada 2006 dan empat kasus pada periode Maret tahun ini, katanya.

Sementara itu dalam patroli rutin tiga bulan sekali yang dilaksanakan dalam 10 hari itu berakhir pada Kamis 10/5 dan menggunakan satu unit pesawat jenis Hawk 100, dua unit Hawk 200, satu Helikopter Sikorsky Twin Pack S.58 T dan satu unit pesawat Hercules, dengan tujuan pertahanan di Sumbagut.

09 Mei 2007

BMG: Ancaman Gelombang dan Cuaca Buruk Masih Akan Terjadi

Tanggal : 09 Juni 2007
Sumber : http://www.kapanlagi.com/h/0000175726.html


Kapanlagi.com - Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Serang Edy Kelana mengatakan, ancaman gelombang dan cuaca buruk masih akan terjadi di sekitar perairan Banten dan bisa membahayakan keselamatan para nelayan dan kegiatan pelayaran.

"Dalam catatan kami peluang terjadinya hot spot yang dapat menimbulkan tiupan angin kencang dan puting beliung masih akan terjadi dalam tiga hari ke depan. Indikasi tersebut tampak jelas dari kecepatan angin rata-rata yang bertiup saat ini hingga mencapai 17 knot di Selat Sunda," kata Kelana di Serang, Sabtu.


Menurut dia, ancaman gelombang tinggi bisa terjadi saat tekanan udara di satu titik menurun secara drastis yang akan diikuti tiupan angin kencang kemudian menimbulkan gejolak ombak hingga bisa mencapai ketinggian lebih dari tiga meter.


"Ancaman gelombang dan cuaca buruk yang cukup berbahaya bisa terjadi khususnya di perairan Samudra Indonesia atau di wilayah Banten Selatan, sementara di Laut Jawa atau wilayah Banten Utara bisa juga terjadi hal serupa tapi kekuatannya lebih kecil," katanya.


Namun demikian, kata Edy, karena potensi "hot spot" akan terjadi secara merata seiring akan terjadinya perubahan musim menjelang datangnya musim kemarau, ancaman cuaca buruk bisa terjadi di sembarang tempat di sepanjang jalur perairan Banten dan wilayah pesisir baik Utara dan Selatan.


"Cuaca buruk yang terjadi karena perbedaan tekanan secara drastis bisa terjadi sewaktu-waktu dan di sembarang tempat. Karena itu para nelayan di perairan Utara lebih-lebih di Selatan Banten sebaiknya tetap waspada," demikian Edy Kelana.


Takut tsunami


Sementara itu terjadinya cuaca buruk ditambah tiupan angin cukup kencang di perairan utara Kabupaten Serang, sore kemarin sempat membuat panik warga Serang Utara seperti yang terjadi di Kampung Lontar, Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa..


"Kepanikan warga semakin menjadi-jadi karena sebelumnya kami sempat mendengar isu akan terjadi tsunami, maka ketika terjadi cuaca buruk dan angin bertiup sangat kencang sekitar seribu warga di sini kalang kabut dan sempat mengungsi ke Masjid Jami Nurul Islam," kata Cecep Subarna (39) Ketua RT setempat.


Semula sebagian besar warga Kampung Lontar yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan tradisional menganggap hal itu sebagai kejadian biasa.


Namun setelah lewat 15 menit, terjangan angin semakin kencang yang mengakibatkan ombak di Pantai Lontar makin mengamuk hingga mencapai sebagian rumah warga, membuat warga semakin ketakutan.


"Maka tanpa dikomando, sekitar seribu warga Kampung Lontar, pria-wanita, dewasa-anak kecil, dan tua-muda, kalang kabut berlari meninggalkan rumah dan masuk ke Masjid Jami Nurul Islam yang jaraknya lebih jauh dari bibir pantai," kata Cecep.


Dibayang-bayangi kejadian buruk akibat tsunami seperti di Aceh, ratusan warga berlindung di masjid dan sebagian lainnya naik ke menara Masjid.


"Karena tidak semua warga bisa tertampung, ratusan warga lainnya berjejal di luar Masjid. Jalan desa yang panjangnya ratusan meter dipenuhi warga yang saat itu ketakutan," kata Zaenuri Said (45), yang juga mengaku ikut berlindung di Masjid.


Kepanikan warga mulai hilang dan kembali tenang setelah sekitar satu jam kemudian kondisi cuaca mulai membaik hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pulang kembali ke rumah masing-masing.


"Alhamdulillah ternyata kami masih selamat, kejadian itu ada hikmahnya juga sebab membuat sebagian besar warga jadi insyaf," kata Zaenuri Said.

08 Mei 2007

Hutan Bakau Bekasi Terkikis Habis

Tanggal : 8 Mei 2007
Sumber : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=292400&kat_id=13


BEKASI -- Hutan bakau (mangrove) di pesisir pantai Kabupaten Bekasi telah terkikis habis. Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Tarkim) setempat mencatat, perambahan hutan bakau oleh warga menjadi tambak adalah penyebab utama menyusutnya hutan bakau di Kabupaten Bekasi. "Penyusutan hutan bakau di Kabupaten Bekasi sudah terbilang parah," kata Kepala Distarkim Kabupaten Bekasi, Tarigan Jamari, Senin (7/5).


Parahnya penyusutan hutan bakau di pesisir pantai Bekasi, kata Tarigan, mencapai 95 persen. Tarigan merinci, dari 10 ribu hektare hutan mangrove yang harusnya ada di pesisir pantai Bekasi, saat ini jumlahnya hanya mencapai 237 hektare. Perambahan hutan bakau sejak yang mulai deras dilakukan warga tahun 1980'an, dituding Tarigan menjadi penyebab utama terkikisnya hutan bakau.


Padahal, lanjut Tarigan, tambak-tambak yang ada di pesisir pantai Bekasi khususnya di Kecamatan Muaragembong, sebagian besar dimonopoli warga luar Bekasi. Tambak-tambak yang memproduksi hasil laut seperti udang dan bandeng, kata Tarigan, dimanfaatkan oleh setidaknnya oleh 3.500 kepala keluarga (KK). "Tapi warga sekitar hanya sebagai kuli, pengusaha Jakarta yang memiliki tambaknya," kata Tarigan.


Menurut Tarigan, terdapat tiga dampak negatif akibat terus dibabatnya hutan bakau di Bekasi. Yakni, berkurangnya media penetralisir logam berat di lautan, terjadinya abrasi pantai, dan hilangnya habitat biota laut. Bahkan, ekosistem khas hutan bakau Bekasi seperti burung Kuntul dan Lutung, kata Tarigan, sudah mulai punah akibat hancurnya habitat hutan mangrove.


Saat ini, Pemkab Bekasi, kata Tarigan tidak dapat berbuat banyak terkait rusaknya hutan bakau tersebut. Pasalnya, hutan bakau yang membentang di sepanjang 72 kilometer bibir pantai Bekasi tersebut, adalah milik Perum Perhutani. Sehingga upaya yang saat ini dilakukan pihaknya, kata Tarigan, adalah mendesak Depertemen Kehutanan segera mengambil langkah guna merehabilitasi hutan bakau. "Pemilik tambak itu juga mendapat izin merambah hutan bakau dari Perhutani, sehingga regulasinya juga harus diperbaiki," kata Tarigan.


Secara terpisah, Kabid Fisik dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bekasi, Oda Djuanda, mengatakan, kawasan pesisir utara Bekasi sangat membutuhkan mangrove guna mencegah abrasi pantai. Terdapat tiga kecamatan yang pantainya terus tergerus yakni Kecamatan Babelan, Tarumajaya, dan Muaragembong. Rehabilitasi mangrove, menurut Oda, harus diiringi pemecahan masalah tata ruang dan daerah aliran sungai (DAS).


Sebagai informasi, pada kurun waktu tahun 2003 hingga tahun 2006 Kabupaten Bekasi sebenarnya pernah menerima bantuan dana dan bibit dari Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Dua tahun lalu Pemkab Bekasi kemudian menanam 729 ribu pohon bakau dan api-api di 200 hektare lahan di Kecamatan Babelan dan Tarumajaya. Selain di dua kecamatan tersebut, 75 ribu pohon mangrove juga ditanam pada 25 hektare lahan di Kecamatan Muaragembong. Namun sayang, bibit-bibit pohon yang ditanam tersebut hancur disapu banjir besar Februari 2007 lalu.


02 Mei 2007

Teluk Tercemar Berat

Tanggal : 02 Juni 2007
Sumber : http://www.kendari.info/index.php?pilih=news&aksi=lihat&id=69

Masa depan teluk Kendari kian suram saja. Pencemaran teluk kini menjadi masalah serius dan butuh perhatian ekstra dari semua pihak terutama pemerintah daerah.

Manajer Program Pesisir dan Laut Walhi Sultra, Ismalik Ohasi mengungkapkan teluk kendari kini tercemar logam berat seperti Merkuri (Hg) dan Cadmium (Cd). Dan kadar pencemarannya tergolong tinggi sehingga menggangu kelangsungan biota yang ada seperti ikan dan kerang-kerangan.

Hasil penelitian Walhi, kandungan logam berat yang ada di perairan Teluk Kendari melampaui ambang batas normal satu baku mutu lingkungan yang disyaratkan dalam Kepmen KLH Nomor 02/1988 yaitu sebesar 0,003 ppm. Hal itu dapat mengancam kelangsungan hidup manusia yang mengkonsumsi biota laut yang ada di Teluk Kendari.

Disebutkan, logam berat yang masuk ke Teluk Kendari bersumber dari sejumlah aktifitas yang ada di sekitarnya. Sumber itu diantaranya, kegiatan industri seperti pabrik, coldstorage, pangkalan minyak. Kegiatan pertanian dan perikanan serta kegiatan rumah tangga hotel, termasuk reklamasi pantai.

Masalah lain yakni terjadinya pencemaran di Teluk Kendari akibat adanya konversi kawasan hutan mangrove menjadi lahan tambak. Selain itu, perkembangan pemukiman di sekitar teluk tidak terkontrol, serta belum adanya kejelasan tataruang dan rencana pengembangan wilayah pesisir teluk Kendari.

Akibatnya, terjadinya tumpang tindih pemanfaatan kawasan pesisir untuk berbagai kegiatan pembangunan.

Ia menilai penanganan Teluk Kendari kurang optimal akibat tidak adanya sinergisitas antar instansi terkait, termasuk minimnya alokasi dana pengelolaan Teluk Kendari. *Yos Hasrul - Kendari