30 Agustus 2007

Bali Stop Pemanenan Bunga Karang

Tanggal : 30 Agustus 2007
Sumber : http://64.203.71.11/ver1/Iptek/0708/30/183239.htm


SANUR, KAMIS - Untuk memelihara keberadaan terumbu karang (coral) di perairan laut Bali, pemerintah daerah setempat bertekad untuk mengupayakan tidak adanya lagi pemanenan bunga karang.


"Kita stop pemanenan bunga terumbu karang. Bunga yang memang sangat indah bentuk dan warnanya itu, cukup hanya dapat dinikmati di dasar laut," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bali, Ir IBP Wisnawa Manuaba, di Sanur-Denpasar, Kamis (30/8).


Di sela-sela kegiatan "Underwater Videography Training (UVT)", Wisnawa menyebutkan, selama ini pihaknya masih menemukan adanya warga yang secara sembunyi-sembunyi memanen bunga terumbu karang. Bunga yang muncul dari terumbu karang yang tumbuh di habitatnya di dasar laut itu, dipanen untuk dijadikan cinderamata.


"Sekarang kami tekankan, ’cinderamata" itu cukup hanya dapat dinikmati bagi para penyelam (diving) saja," ucapnya.


Sementara itu, Kasubdin Sumberdaya DKP Bali Saleh Purwanto, menambahkan, dengan kemampuan masyarakat dalam menjual terumbu karang berikut bunganya yang lestari di dasar laut, senantiasa akan memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar daripada memetiknya.


"Keuntungan tidak hanya akan datang dari para pelancong yang mencintai keindahan bawah laut, tetapi juga bagi ekosistem di perairan itu sendiri" katanya. Dengan terumbu karang yang lestari, senantiasa aneka jenis ikan dan biota laut lainnya akan dapat tumbuh dan berkembang secara subur.


"Sebaliknya bila tanpa terumbu karang, jangan harap ada kehidupan lain yang dapat bertahan di laut," kata Saleh menandaskan.


Untuk merehabilitasi bagian terumbu karang yang rusak bahkan mati, DKP Bali sejak tahun 1991 telah melakukan berbagai upaya, termasuk melibatkan unsur masyarakat luas. Namun, kerusakan yang ada belum sepenuhnya dapat direhabilitasi sehubungan masih ada pihak yang kurang sadar dengan manfaat unsur kehidupan di perairan itu.


Mengenai potensi terumbu karang, Kadis mengatakan, wilayah perairan laut Bali seluas lebih dari 4.000 kilometer persegi, tercatat memilik hamparan "coral" yang tersebar pada 73 lokasi.


"Terumbu karang yang tersebar pada 73 lokasi di dasar laut tersebut, secara keseluruhan luasnya mencapai 65,08 kilometer persegi. Namun sungguh disayangkan, beberapa bagian dari terumbu karang seluas itu, belakangan ini diketahui mengalami kerusakan," ucap Wisnawa.


Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 2003, sebesar 34,41 persen di antaranya telah rusak, bahkan 27,38 persen lainnya diketahui telah dalam keadaan mati. Kerusakan tersebut selain diakibatkan proses alam, juga sebagian merupakan dampak dari praktik "destructive fishing" serta bentuk pemanfaatan lain yang kurang memperhatikan kaidah pelestarian.


Pelatihan yang diprakarsai Coral Reef Rehabilitation and Management Project (Coremap) dan berlangsung sejak 26 Agustus hingga 2 September mendatang itu, diikuti 14 peserta terdiri atas unsur DKP, fotografer amatir bawah laut, jurnalis dan pemerhati lingkungan. Kegiatan dengan memanfaatkan kamera video kali ini merupakan kelanjutan dari pelatihan fotografi bawah laut yang telah dilaksanakan sebelumnya.


28 Agustus 2007

Jika Siswa SMA Peduli Terumbu Karang

Tanggal : 28 Agustus 2007
Sumber : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=304806&kat_id=13


Mengolah terumbu karang menjadi batu kapur bukan hanya merusak lingkungan laut tapi juga daratan karena penggunaan kayu bakar.


Kerusakan terumbu karang di Pantai Pasir Panjang Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), menimbulkan kerisauan tersendiri bagi tiga siswa SMA Negeri II Kupang, Kristina Puu Heu, Jefry Tuan, dan Alyan M Sioh. Berbekal ilmu yang dimiliki, mereka melakukan penelitian untuk mencari solusi agar kerusakan terumbu karang di daerahnya tidak kian parah.


Selama ini, NTT dikenal memiliki terumbu karang yang sangat menonjol. Sayangnya, saat ini sekitar 50 persen terumbu karang di NTT mengalami kerusakan berat akibat aktivitas masyarakat di pesisir pantai yang menjadikannya sebagai bahan bangunan maupun kapur.


''Padahal terumbu karang memiliki sifat yang sangat sensitif terhadap gangguan atau pengaruh perubahan lingkungan,'' tutur Kristina dan rekan-rekannya yang memenangi 'Final Kontes Inovator Muda 2 dengan Tema Pelestarian Terumbu Karang' yang diadakan Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) LIPI, Ahad malam (26/8).


Menurut Kristina, dari hasil survei timnya di Pantai Pasir Panjang Kupang, terumbu karang digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan kapur. Kondisi ini sudah terjadi sejak 2000 silam. ''Bahkan lokasi pengambilan karang sudah jauh masuk ke dalam laut dengan menggunakan sampan, sekitar 50 hingga 100 meter dari batas surut,'' ungkapnya.


Dalam kurun satu tahun, kata Kristina, penambang dapat melakukan pembakaran terumbu karang sebanyak enam kali, berupa kegiatan pembakaran dua bulan sekali. ''Dengan sekali membakar terumbu karang setinggi lima meter dan berdiameter enam meter, setahun dapat menghasilkan 600 hingga 700 karung kapur yang beratnya 20 kilogram,'' cetusnya.


Kristina lantas melakukan perhitungan secara matematis, jika selama tujuh tahun, setiap harinya penambang mengambil terumbu karang, maka luas area terumbu karang yang rusak akibat pembuatan kapur diprediksi sekitar 56.376,6 meter kubik. ''Angka ini hanya untuk lima penambang saja, bagaimana kalau lebih banyak orang yang melakukannya,'' keluhnya.


Terganggunya keseimbangan perairan laut dengan rusaknya terumbu karang, kata Kristina, mengakibatkan rantai makanan putus. ''Dengan demikian fungsi biologis dari terumbu karang juga terganggu,'' ingatnya. Siswi kelas XII IPA 1 ini lantas mencontohkan, karena pemijahan, pemeliharaan berbagai biota laut khususnya ikan sebagai sumber protein yang berkualitas hilang dan berimbas pada produksi ikan menurun sebanyak 142.069.032 ton akibat ulah lima penambang selama tujuh tahun.


Contoh lain, lanjut dia, ketidakseimbangan ekosistem laut karena rusaknya terumbu karang dapat mengakibatkan populasi ikan buntek sebagai predator dari landak laut berpindah tempat atau hilang karena tak ada tempat pemijahan benih. ''Akibatnya populasi landak laut meningkat sehingga keseimbangan ekosistem perairan laut terganggu,'' jelasnya.


Padahal, berdasarkan literatur yang dibaca para siswa SMA Negeri II Kupang ini, kecepatan pertumbuhan terumbu karang sangat lamban berkisar beberapa milimeter sampai 1 cm ada yang 10 cm per tahun tergantung jenis terumbu karang. ''Ini tidak sebanding dengan kecepatan proses perusakan terumbu karang,'' tuding Kristina yang diamini anggota tim lainnya.


Tak hanya itu, kata Kristina, fungsi terumbu karang sebagai pemecah gelombang atau pelindung pantai juga hilang. ''Hal ini berdampak ekonomi biaya tinggi karena perlu membangun tembok pemecah gelombang sepanjang pantai,'' tegasnya.


Tim dari Kupang ini juga meyakini, perusakan terumbu karang juga berdampak pada ekologi terhadap ekosistem darat, yaitu pengrusakan hutan. Pasalnya, kegiatan membakar kapur juga berdampak pada ekosistem darat dengan menggunakan batang kayu yang berdiameter rata-rata 15-30 cm sebagai bahan bakar. ''Maka dipastikan hutan semakin gundul yang bisa menimbulkan bencana kekeringan, banjir, erosi, longsor, dan pemanasan global,'' jelasnya.


Oleh karena itu, Kristina dan rekan-rekannya memberikan beberapa solusi. Pertama, pemberian pelatihan ketrampilan berusaha baru dan sekaligus memberikan bantuan modal usaha untuk beralih profesi bagi penambang karang. ''Dari hasil wawancara dengan penambang, mereka ada keinginan untuk alih profesi jika dibantu pemerintah atau sektor terkait,'' ujarnya.


Solusi kedua, perlu dibuat perangkat aturan yang jelas. Seperti perda pengelolaan sumber daya laut atau pemanfaatan SDA pesisir guna melindungi ekosistem perairan laut dan pemanfaat sumberdaya pesisir dari eksploitasi yang berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan bahari. ''Serta penetapan area terumbu karang sebagai area yang dikonservasi,'' ungkap Kristina.


Kristina dan timnya juga menyarankan peningkatan pengawasan oleh aparat berwenang seperti polisi air, TNI AL, dan pemuka masyarakat setempat terhadap kegiatan yang merusak ekosistem terumbu karang. ''Juga pelarangan penggunaan bom, racun, penggalian karang, atau eksploitasi berlebihan dari sumber daya laut,'' tegasnya.


Penelitian dari SMA Negeri II Kupang ini menjadi pemenang pertama setelah di final menyisihkan tim dari SMA Negeri 4 Denpasar (pemenang kedua) dan SMA Negeri 2 Bengkulu (juara ketiga).


Direktur Coral Reef Information and Trainng Centre (CRITC) COREMAP-LIPI, Ono Kurnaen Sumadhiharga mengharapkan kontes kali ini bisa menjadi bahan pembelajaran yang dapat dimanfaatkan masyarakat, kalangan pendidikan, pemerhati lingkungan, dan forum-forum nasional serta internasional. ''Kami juga berharap siswa SMA bersosialisasi dengan isu pelestarian ekosistem terumbu karang dan lingkungan,'' jelasnya.


Solusi dari para remaja


* Pekerja terumbu karang mau alih usaha jika ada yang membimbing dan memberi modal
* Perangkat hukum untuk pelestarian lingkungan harus diperjelas
* Harus ada penetapan area terumbu karang konservasi

27 Agustus 2007

Menuju Teluk Jakarta Berkelanjutan

Tanggal : 27 Agustus 2007
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0708/27/sh04.html

Harian Umum Sinar Harapan selama 4 hari, Senin 27 Agustus sampai Kamis 30 Agustus, akan melakukan Ekspedisi Pesisir Teluk Jakarta 2007. Tim ekspedisi yang terdiri dari wartawan SH, anggota Mapala Universitas Indonesia dan Peneliti dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Insitut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) membagi kegiatan pada wilayah pesisir dan laut, serta wilayah Daerah Aliran Sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta. Ekspedisi ini bisa terselenggara dengan bantuan dari PT Asian Agri. Berikut ini adalah tulisan pengantar yang disusun oleh Suhana, peneliti pada PKSPL-IPB.

Kawasan Pesisir dan Laut Teluk Jakarta merupakan wilayah pesisir yang strategis sekaligus paling rentan terhadap perubahan, gangguan, dan pencemaran oleh manusia. Strategis karena Teluk Jakarta merupakan pintu gerbang utama aktivitas ekonomi kelautan di Indonesia, khususnya untuk wilayah bagian barat sementara. Namun dikatakan paling rentan karena daerah ini merupakan penyangga bagi ekosistem daratan Jakarta yang demikian tinggi aktivitas manusianya.

Kerentanan Teluk Jakarta juga disebabkan oleh terus meningkatnya kebutuhan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir untuk kegiatan pariwisata, industri, dan permukiman.


IRCOM
Jenis pencemaran utama di kawasan Teluk Jakarta adalah pencemaran bahan organik, organisme pathogen, logam-logam dan minyak. Bahan organik dan organisme pathogen bersumber dari aktivitas manusia di kawasan perkotaan dan juga pertanian di hulu sungai Ciliwung, Citarum dan Cisadane. Logam-logam terlarut bersumber dari berbagai aktivitas industri baik industri kecil, menengah maupun besar di sepanjang ketiga DAS tersebut.

Perairan Teluk Jakarta selalu menerima limbah organik hasil aktivitas belasan juta manusia di kawasan Jabotabek. Permasalahan utama di kawasan ini adalah belum tersedianya fasilitas pengolah limbah cair domestik, sehingga limbah cair masuk ke perairan Teluk Jakarta tanpa terolah.

Data menunjukkan bahwa konsentrasi ammonia lebih buruk dari standar, bahkan sampai 10 kalinya. Konsentrasi nitrat tahun 2002 tercatat 5 kali lebih jelek dari standar. Konsentrasi nitrat dan fosfat lebih jelek dari standar tahun 2001, tetapi lebih baik pada tahun 2002. Konsentrasi fenol, timah, dan tembaga lebih baik dari standar pada tahun 2001 dan 2002. Dari Ciliwung, Cipinang, Mookervart, dan sungai-sungai lain juga terdapat beban BOD, COD, TSS, dan nutrient (nitrat, nitrit, fosfat) yang memasuki perairan Teluk Jakarta mencapai ratusan ribu ton setiap tahunnya.

Sesungguhnya, kematian massal ikan dan biota air lainnya di kawasan Teluk Jakarta beberapa waktu yang lalu merupakan puncak dari sebuah gunung es permasalahan pencemaran perairan di kawasan ini.

Menurut Tridoyo Kusumastanto, pendekatan yang dapat dilakukan dalam membangun Teluk Jakarta adalah pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara Terpadu (Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management-IRCOM). Konsep dasarnya adalah bahwa dalam pengelolaan pesisir, kondisi biogeofisik, dan sosial ekonomi yang dikaji tidak hanya wilayah pesisirnya, tetapi juga kondisi biogeofisik dan sosial ekonomi yang ada di sekitar DAS dan pengaruh dari laut lepas, karena justru sebagian besar limbah dan partikel tersuspensi yang masuk ke wilayah pesisir berasal dari DAS.

Limbah dan partikel tersuspensi tersebut tidak saja terbawa oleh aliran air pada saat hujan, tetapi secara terus-menerus dibuang ke sungai melalui saluran pembuangan limbah sehingga andilnya sangat besar terhadap pencemaran yang terjadi di wilayah pesisir kawasan Teluk Jakarta.


Bukan Instan
“Melalui IRCOM, tidak saja akan diketahui tingkat pencemaran yang terjadi di wilayah pesisir, tetapi juga akan diketahui proses-proses alami yang terjadi di sekitar DAS seperti siklus air, transfer material dan energi yang terjadi di sekitar DAS dan wilayah pesisir,” ungkap Tridoyo.

Selain itu, akan diketahui pula aktivitas-aktivitas manusia yang berada di sekitar DAS dan wilayah pesisir yang mempengaruhi proses-proses alami yang terjadi seperti urban development (perumahan, industri dan sebagainya), rural activities (kehutanan, peternakan, pertanian, perikanan, dan sebagainya), serta infrastruktur (irigasi, bendungan, pintu air dan dam).

IRCOM bukan pendekatan yang instan dan singkat, tetapi merupakan sebuah pendekatan studi yang terpadu, menyeluruh dan detail, dari beberapa proses perencanaan pengelolaan lingkungan. Pendekatan terpadu ini sangat penting agar akar permasalahan tentang pencemaran air, kondisi alam dan dinamika fisik persebaran bahan pencemar, jenis-jenis pencemaran, penyebab pencemaran dan efek dari pencemaran terhadap mahluk hidup dapat terjawab. Kemudian disusul langkah-langkah penyelesaian permasalahan dengan tepat.

Pengelolaan pesisir dan laut Teluk Jakarta tidak dapat terlepas dari pengelolaan daerah tangkapan (catchment area) atau daerah aliran sungai (DAS) di wilayah hulu. Dengan kata lain, pengelolaan yang terpadu antara kawasan pesisir dan DAS dibutuhkan agar pemanfaatan secara optimal sumber daya pesisir Teluk Jakarta dapat dilakukan.

Pengelolaan kawasan DAS dan laut dalam satu kesatuan area pengelolaan mengkaitkan sistem alam, ekonomi, dan lingkungan serta proses ekologi sehingga tekanan terhadap ekosistem kawasan pesisir, DAS dan lautan dapat dikurangi.

Degradasi lingkungan perairan Teluk Jakarta merupakan akibat kegiatan manusia yang tidak hanya bersumber di Teluk Jakarta, namun juga bersumber di sepanjang DAS yang mengalir ke kawasan Teluk Jakarta. Tercatat ada tiga DAS utama yang bermuara di Teluk Jakarta, yaitu DAS Ciliwung, Citarum, dan Cisadane.

Perlu penanganan menyeluruh atas segala aktivitas penghasil limbah di sepanjang daerah tangkapan air, mulai dari daerah hulu di kawasan Bogor (Ciliwung dan Cisadane) maupun daerah Bandung (Citarum). Tanpa melibatkan DAS, upaya pengelolaan kawasan Teluk Jakarta, khususnya mengatasi pencemarannya akan tidak mengenai sasaran dan sifatnya menjadi sementara belaka.

Para Bajak Laut Membebaskan Dua Pelaut Indonesia yang Diculik

Tanggal : 27 Agustus 2007
Sumber : http://www.voanews.com/indonesian/archive/2007-08/2007-08-27-voa1.cfm


Para bajak laut telah membebaskan dua orang pelaut Indonesia yang diculik sebelumnya bulan ini di Selat Malaka, setelah sejumlah uang tebusan dibayarkan.


Sebuah organisasi pemantau kelautan yang berbasis di Malaysia mengatakan, uang tebusan dibayarkan, dan kedua orang pelaut itu sekarang sedang diwawancara pihak berwenang Indonesia. Besarnya uang tebusan dan siapa yang membayar, tidak dijelaskan.


Kedua pelaut itu berlayar dari Malaysia, dan diculik tanggal 13 Agustus oleh perompak bersenjata lengkap. Lima orang rekan kedua pelaut itu tidak diculik.


Ini adalah penculikan ketiga di Selat Malaka tahun ini, yang meningkatkan kecemasan mengenai meningkatnya perompakan di perairan itu. Ini adalah yang pertama sejak tahun 2005, perompak menculik awak kapal.


Lebih dari 30 persen pengiriman barang dagangan dan separuh dari pengiriman minyak sedunia, dilakukan melewati Selat Malaka, yang merupakan wilayah perairan Indonesia, Malaysia dan Singapura.


26 Agustus 2007

Tujuhbelas Persen Terumbu Karang Dunia Tumbuh di Indonesia

Tanggal : 26 Agustus 2007
Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/8/26/tujuhbelas-persen-terumbu-karang-dunia-tumbuh-di-indonesia/

Sanur, Bali (ANTARA News) - Sebanyak 17 persen dari luas hamparan terumbu karang (coral) dunia, tumbuh dan berkembang di perairan laut yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

"Kita punya hamparan terumbu karang yang cukup besar dibandingkan negara-negara lain di dunia," kata Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Prof Dr Ir Syamsul Maarif, di Sanur, Denpasar, Minggu.

Usai membuka kegiatan "Underwater Videography Training (UVT)", Dirjen menyebutkan sejalan dengan hamparannya yang cukup luas, sumbangan "coral" Indonesia terhadap kehidupan di bawah permukaan laut pun begitu besar.

"Ikan misalnya, yang tumbuh dan berkembang di Indonesia sangat banyak, baik dari segi jumlah maupun spesiesnya," kata Dirjen.

Namun demikian, lanjut dia, kenyataan di lapangan belakangan ini sangat memprihatinkan karena cukup banyaknya terumbu karang yang hancur, mati dan rusak.

"Sekitar 70 persen dari luas hamparan terumbu karang (coral) yang tersebar di perairan laut Indonesia, kini dalam keadaan rusak, bahkan beberapa di antaranya rusak berat hingga berupa kematian," kata Syamsul.

Sementara yang 30 persen sisanya, lanjut dia, hanya enam persen yang masih dalam kondisi sangat bagus, dan 24 persen yang lain tergolong bagus.

Oleh karena itu, rehabilitasi terumbu karang perlu secepatnya dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat.

"Jika langkah penyelamatan tidak segera diambil, Indonesia bahkan dunia, tidak lagi akan mengenal adanya kehidupan seperti ikan dan biota lain di wilayah perairan laut," katanya.

Direktur Coral Reef Rehabilitation and Management Project (Coremap), Ir Yaya Mulyana, menambahkan, ada sejumlah faktor yang telah mengakibatkan rusak dan hancurnya terumbu karang di hampir semua daerah perairan Nusantara.

Faktor tersebut tidak hanya datang secara alami seperti bencana alam, tetapi juga akibat ulah manusia. "Justru sebagian besar `coral` tercatat hancur akibat ulah manusia," ucapnya.

Menurut dia, manusia dengan berbagai aktivitasnya, telah mencemari perairan laut dengan aneka polutan yang dapat membunuh terumbu karang.

"Polutan tersebut tidak hanya datang dari limbah sejumlah industri, namun limbah rumah tangga pun mengambil peranan yang cukup besar. Yang lebih parah lagi, ada manusia yang sengaja menebar racun dan meledakkan bom di laut," kata Yaya.

Peledakan bom dan menebaran racun jenis sianida tersebut, sengaja dilakukan orang untuk tujuan menangkap ikan. "Ini sungguh upaya sesat yang sifatnya sesaat. Sebab, setelah itu, ikan tak pernah dapat tumbuh dan hidup kembali," ujar Yaya menegaskan.

Pelatihan yang diprakarsai Coremap dan akan berlangsung hingga 2 September mendatang itu, diikuti 14 peserta terdiri atas penyelam, pemerhati lingkungan, jurnalis dan fotografer amatir bawah laut.

Pelatihan kali ini merupakan kelanjutan dari pelatihan fotografi bawah laut yang sudah diselenggarakan sebelumnya, kata Putu Widyastuti Rudolf, Humas kegiatan itu.

03 Agustus 2007

Menggeliatnya Pasir Laut

Tanggal : 3 Agustus 2007
Sumber : http://www.surya.co.id/web/index.php/Opini/Menggeliatnya_Pasir_Laut.html


Pulau Jawa adalah salah satu pulau paling genting untuk dilakukan restorasi, 65 persen penduduk Indonesia bermukim di Pulau Jawa yang saat ini terus dilanda bencana seperti potensi bahaya akibat abrasi sepanjang pantai utara Laut Jawa.

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 3700 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km. Wilayah pantai ini merupakan daerah yang sangat intensif dimanfaatkan untuk kegiatan manusia, seperti sebagai kawasan pusat pemerintahan, pemukiman, industri, pelabuhan, pertambakan, pertanian/perikanan, pariwisata, dan sebagainya. Kekayaan Sumber daya alam pesisir dan laut Indonesia yang tak terhitung nilainya mendorong dan menggoda melakukan oksploitasi .

Salah satu fungsi pasir laut yang terdapat di dasar perairan pesisir adalah meredam energi gelombang sebelum menghempas di pantai yang disebabkan adanya gaya gesekan dengan dasar. Apabila dikeruk (ditambang) akan menjadi lebih dalam dan lereng dasar lebih curam yang akan berdampak makin naiknya tingkat energi gelombang yang menghempas pantai sehingga makin intensif proses abrasi dan erosi pantai.

Sampai sekarang penambangan pasir laut berkembang menjadi polemik nasional, karena berdampak hilangnya mata pencaharian nelayan hingga tenggelamnya beberapa pulau. Akibat penambangan pasir di Kalimantan Timur maka tenggelamlah 7 pulau di pesisir Selat Makasar dan juga kepulauan Riau selama tahun 1978-2002 telah hilang 10 pulau dan salah satunya pulau Nipah sebagai titik pangkal dalam penentuan batas negara RI-Singapura dan RI-Malaysia, sehingga pemerintah perlu mereklamasi kembali demi keberadaan pulau ini.

Pulau Jawa adalah salah satu pulau paling genting untuk dilakukan restorasi, 65 persen penduduk Indonesia bermukim di Pulau Jawa yang saat ini terus dilanda bencana seperti potensi bahaya akibat abrasi sepanjang pantai utara Laut Jawa menimbulkan kerugian sangat besar dengan rusaknya kawasan permukiman dan fasilitas-fasilitas yang ada di daerah tersebut, sampai berisiko pada jaringan pipa-pipa penyalur minyak bumi dan gas alam milik Pertamina.

Erosi pantai disebabkan hilangnya perlindungan alami pantai, perencanaan bangunan pantai yang tidak tepat, perubahan iklim gelombang dan kenaikan muka air laut (sea level rise), ancaman gelombang badai musiman, dan tsunami. Wilayah pesisir di Pulau Jawa yang rawan terhadap bencana adalah Kendal, Tegal, Jepara, Probolinggo (terjadi erosi dan abrasi).

Sedangkan di wilayah Jabodetabek dan daerah lain di Pantura terjadi kenaikan air laut mencapai 200 - 500 meter ke darat (peta sebaran banjir), Jogjakarta, Banyuwangi, Cilacap, Ujung kulon dan sekitarnya yang merupakan daerah yang rawan bencana tsunami.

Pada dasarnya, pantai memiliki perlindungan alami menahan serangan gelombang. Misalnya pantai berlumpur memiliki hutan mangrove untuk meredam serangan gelombang, sedang pantai berpasir memiliki bukit pasir (sand dune) untuk menyuplai pasir yang hilang terbawa gelombang ke lepas pantai, dan terumbu karang serta padang lamun yang juga dapat mereduksi energi gelombang yang menuju pantai.

Karena pengelolaan tidak berwawasan konservasi maka terjadi ketidakseimbangan alam seperti berkurangnya ekosistem mangrove sebagai tanah tambak, pemukiman dan daerah industri tanpa memperdulikan sempadan pantai yang merupakan daerah konservasi, akhirnya menimbulkan proses pantai yang bersifat merusak.


Restorasi Pantai

Restorasi bisa dilakukan untuk jenis tertentu sesuai dengan tingkat urgensinya. Kasus sepanjang Pantai Utara Jawa apabila penanganan abrasi hanya dilakukan di satu tempat, justru akan berisiko menimbulkan kerusakan di tempat lain akibat berbeloknya gelombang. Padahal, panjang pantai di pantura mencapai sekitar 80 kilometer dan hampir semuanya mengalami abrasi.

Oleh karena itu, penanganannya pun harus dilakukan bersama-sama agar tidak ada daerah yang dikorbankan.

Kondisi daerah sekarang ini seperti digencet oleh fenomena kekuatan alam adalah banjir pantai atau ombak pasang laut yang semakin menggerus garis pantai serta kondisi saat ini mengalami kerusakan lingkungan yang parah, antara lain berupa berkurangnya hutan mangrove, abrasi, dan menurunnya permukaan tanah.

Penambahan suplai pasir di pantai (sand nourishment) pada pantai berpasir mempunyai kemampuan perlindungan alami terhadap serangan gelombang dan arus. Perlindungan tersebut berupa kemiringan dasar pantai di daerah dekat pantai (nearshore) yang menyebabkan gelombang pecah di lepas pantai, dan kemudian energinya dihancurkan selama dalam penjalaran menuju garis pantai di surf zone (pantai).

Dalam proses pecahnya gelombang tersebut sering terbentuk gundukan pasir (offshore bar) di ujung luar surf zone yang dapat berfungsi sebagai penghalang gelombang yang datang (menyebabkan gelombang pecah). Erosi pantai berpasir terjadi apabila terdapat kekurangan suplai pasir, stabilisasi pantai dapat dilakukan dengan penambahan suplai pasir ke daerah tersebut.

Apabila pantai mengalami erosi secara terus menerus, maka penambahan pasir tersebut perlu dilakukan secara berkala, dengan laju sama dengan kehilangan pasir yang disebabkan oleh erosi.

Untuk mencegah hilangnya pasir yang ditimbun di ruas pantai akibat terangkut oleh arus sepanjang pantai sering dibuat sistem groin adalah bangunan pelindung pantai yang biasanya dibuat tegak lurus garis pantai, dan berfungsi untuk menahan pengiriman sedimen sepanjang pantai, sehingga bisa mengurangi/menghentikan erosi yang terjadi dan untuk menahan masuknya pengiriman sedimen sepanjang pantai..

Namun dalam perencanaan bangunan pantai perlu memperhatikan kondisi fisik dan oceanografi pantai tersebut. Tinjauan lapangan memahami kondisi lapangan, permasalahan, dan memperkirakan penyelesaian masalah sangat diperlukan agar tidak terjadi masalah baru setelah bangunan tersebut selesai dibuat. Simulasi juga dapat dilakukan dengan software tertentu untuk memprediksi perubahan garis pantai (seperti erosi dan akresi) yang terjadi akibat adanya bangunan pantai, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penempatan bangunan pantai..

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melindungi pantai, yaitu memperkuat/melindungi pantai agar mampu menahan serangan gelombang, mengubah laju pengiriman sedimen (pasir laut) sepanjang pantai, mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai dan reklamasi dengan menambah suplai sedimen (pasir laut) ke pantai.

Jenis bangunan pantai di sesuaikan dengan fungsi dan kondisi alam sepanjang pantai dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu :
  1. Kontruksi yang dibangun di pantai dan sejajar dengan garis pantai. Misalnya Sea Wall, Revetment.
  2. Kontruksi yang dibangun kira-kira tegak lurus pantai dan sambung ke pantai. Misalnya Groin, Jetty.
  3. Kontruksi yang dibangun di lepas pantai dan kira-kira sejajar dengan garis pantai. Misalnya Break Water.
Sebagai contoh, adanya landasan pacu Bandara Ngurah Rai yang menjorok ke laut di Bali mengakibatkan erosi besar-besaran pada Pantai Kuta. Hal ini terjadi karena transpor sedimen sejajar pantai terhalang landasan pacu tersebut, sehingga salah satu sisi terjadi sedimentasi yang mengakibatkan garis pantai maju (akresi) dan pada sisi lain kekurangan suplai sedimen yang mengakibatkan garis pantai mundur (erosi). Namun, saat ini sudah diatasi dengan membuat seri-seri groin.

Penanganan masalah sepanjang pantai Utara Jawa ini tidak akan bisa teratasi tuntas bila ditangani secara sektoral, karena itu masalah ini harus ditangani secara terpadu.

Dari kejadian di atas kita dapat melihat dari aspek pengelolaan sumber daya kelautan bahwa dengan memperhatikan penataan ruang, maka pasir laut dapat dijadikan alat mitigasi (pencegah) bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga komoditi pasir laut pada dasarnya amat diperlukan oleh bangsa ini sebagai usaha restorasi kawasan kritis pantai berpasir di berbagai daerah.

Sedangkan untuk jenis pantai berlumpur perlu usaha reboisasi mangrove kembali sebagai pelindung alami pantai dengan cara bantuan bangunan pantai misalnya Revetment berupa tumpukan kubus beton ukuran 0,40 m2 sebagai pelindung sementara mangrove kecil dari terjangan hempasan gelombang.

02 Agustus 2007

Pulau Kasu Dibandrol Rp6 Juta

Tanggal : 2 Agustus 2007
Sumber : http://www.posmetrobatam.com/index.php?Itemid=46&id=1949&option=com_content&task=view

Oleh : Novianto

Tanpa sertifikat, hanya berdasar surat dari kelurahan atau kecamatan, jual beli pulau-pulau kecil di sekawasan Pulau Batam marak dipraktikkan. Tak ada kontrol. Beberapa pulau pun jatuh ke tangan pemilik asing, yang menurut perundang-undangan tidak dibenarkan menguasai tanah di wilayah Indonesia.

Surat elektronik itu berlampiran empat foto. Pengirimnya menyebutkan bahwa itu adalah contoh pemandangan di Pulau Kasu. Luasnya 60 hektare. Pulau itu hendak dijual dengan harga Rp6-7 miliar. Si pengirim penawaran itu minta tolong dicarikan pembeli. Menurut si penerima tawaran itu - ia seorang pengelola perusahaan milik seorang menteri di Jakarta - si pengirim surat elektronik mengaku berasal dari Batam, dan kini menetap di Jakarta.

Benarkah yang ditawarkan itu Pulau Kasu? Berbekal empat foto itu Posmetro memulai penelusuran, Selasa (24/7) lalu. Penulusuran pertama ditujukan ke Kantor Dinas Pertanahan Kota Batam. Ini dinas yang berani. Meski kewenangan mengelolan pertanahan dimungkinkan oleh undang-undang, tak banyak daerah yang membentuknya. Selain Batam, Kota Padang juga membentuknya. Kewenangan dinas ini banyak yang tumpang tindih dengan Badan Pertanahan Nasional. Dinas ini di Batam dibentuk tahun 2002.

“DPRD sempat menolak pembentukannya, karena ada "pesan sponsor" dari pusat. Tahun 2003 baru dinas ini berfungsi,” kata Kepada Dinas Pertanahan Kota Batam Drs H Buralimar yang sebelumnya menjabat Sekretaris Dewan DPRD Batam.

Dari data digital di kantor Dinas Pertanahan Kota Batam, diperkirakan pulau yang ditawarkan itu adalah Pulau Pecung, Pulau Kalong, Pulau Lumba atau Tanjung Ladan, bukan Pulau Kasu. Soalnya, luas Pulau Kasu adalah 301 hektare, jauh dari luas yang disebutkan dalam surat elektronik yang beredar di Jakarta itu.

Tiga pulau yang diduga itu luasnya sekitar 60 hektare. Pulau Pecung 62 hektare, Pulau Kalong 63 hektare, Pulau Lumba 66 hektare dan Pulau Tanjungladan 69 hektare. “Kalau pun itu Pulau Kasu, mungkin tak seluruhnya, hanya kebun yang seluas itu. Mungkin,” kata Buralimar yang baru empat bulan menjabat kepala di Dinas Pertanahan itu.

Buralimar yang pernah menjabat sekretaris camat (sekcam) di Belakangpadang - kecamatan yang melingkupi Pulau Kasu dan pulau-pulau kecil lainnya - mengenal baik kawasan itu. Ia juga tahu praktik penjualan pulau-pulau telah lama berlaku. “Dasarnya alas hak atau surat keterangan tanah yang dikeluarkan lurah. Kadang juga surat tanah dari zaman Belanda dulu,” katanya. Tanah yang diperjualbelikan itu, kata Buralimar, kecil kemungkinannya bersertifikat.

Pembeli tanah atau pulau-pulau itu kebanyakan orang luar, bahkan seringkali orang asing. Ini yang tak tersentuh hukum. “Duitnya punya orang Singapura. Tapi dia beli tanah atas nama orang Indonesia. Ini yang belum ada aturannya,” kata Buralimar.
Inilah yang terjadi dengan Pulau Aur. Pulau yang berjarak kurang satu mil dari Jembatan I Barelang itu kini telah dibeli oleh Warga Negara Singapura keturunan India. Nama pulau pun telah diganti menjadi Pulau Bali.

Untuk mencapai ke pulau ini, kita cukup menumpang dengan pancung-pancung yang mangkal di pelabuhan kecil persis di bawah Jembatan satu. Ongkos menuju pulau itu terbilang cukup murah, hanya Rp20 ribu per penumpang. Dengan menggunakan mesin tempel bertenaga 20 PK, pancung berkapasitas lima orang hanya memakan waktu kurang dari 10 menit.

Pulau tak berpenduduk itu, kini ditata khusus kawasan wisata. Di sana terdapat empat buah kamar yang berdiri kokoh di bibir pantai untuk disewakan. Menurut Mahadi, si penjaga pula bersama istrinya Salma, pulau tersebut dibeli seharga Rp16 juta. Orang Singapura yang membeli pulau tersebut, meminjam nama orang tunya untuk memiliki pulau tersebut.

oleh warga Singapura dari tangan warga Pulau Panjang dengan menggunakan jasa orang tuanya.

"Orang asing kan tak boleh beli tanah di sini, jadi jual beli itu atas nama Ismail, bapak mertua saya," aku Salma.

Sedangkan untuk perawatan pulau diserahkan oleh Mahadi yang dikoordinir oleh Adi dan Iskandar selaku orang kepercayaan warga Singapura tersebut. Adi menurut Salma sering berkunjung ke pulau tersebut untuk memberikan bahan makanan dan bahan pembangunan pulau.

Sedangkan Iskandar dan warga Singapura yang membeli pulau hanya berkunjung sekali setahun. "Biasanya kalau datang mereka satu rombongan, bisa sampai 10 orang. Mereka ke mari dengan jet sky yang disewa dari Marina City," terangnya.

Proses jual beli Pulau Aur ini sudah berlangsung cukup lama, sekitar tujuh tahunan. Jelas pemerintah kecolongan dan tak ada tindakan tegas yang diambil oleh pemerintah.
Apakah hal seperti ini juga akan dialami oleh Pulau Kasu kecil yang kini hendak dijual itu?

Berbekal empat foto dari surat-elektronik tadi, pelacakan Posmetro selanjutnya ditujukan ke lapangan. “Pulau itu jaraknya 20 menit dari Batam, dan 20 menit dari Singapura,” ujar si penerima tawaran itu, mengutip tawaran yang ia terima.

Benar. Jarak tempuh pulau ini dari Pelabuhan Sekupang, Batam, kurang lebih 20 menit. Namun tak ada pancung - perahu kayu atau fiber bermesin tempel - yang langsung ke Pulau Kasu. Angkutan reguler hanya melayani penumpang dari Batam ke Pulau Belakangpadang, tempat Kecamatan Belakangpadang berkantor. Dulu, sebelum Batam berkembang, Kota Administratif Batam berkantor di sini.

"Mau langsung ke Kasu? Carter saja, pulang-pergi Rp400 ribu, saya tunggu," ujar salah seorang penambang pancung di Sekupang. Tawaran itu, memang sempat dipikirkan, namun karena ingin mengenal lebih banyak pulau dan ingin berbual-bual dengan lebih banyak masyarakat, akhirnya perjalanan dipilih lewat Belakangpadang saja.

Ongkos naik pancung dari Sekupang ke Belakangpadang Rp8.000. Pancung-pancung yang menuju ke pulau-pulau kecil se-Kecamatan Belakang Padang, berlabuh dan berangkat dari Pelabuhan 88 yang letaknya bersebelahan dengan pelabuhan utama.
"Sehari hanya satu pancung saja ke Pulau Kasu, kalau mau pulang hari, terpaksa carter pulangnya," ungkap Anwar, penambang pancung Belakang Padang-Kasu.

Menurutnya, dalam seminggu ia hanya tiga hari melayani penumpang dari Kasu ke Belakang Padang, pulang pergi. Ada dua pengusaha pancung yang beroperasi dengan rute yang sama.

"Kami berbagi, kalau tak seperti itu, kita tak makan," jelasnya.
Setiap pagi pancungnya dipenuhi warga Pulau Kasu yang hendak berbelanja ke Belakangpadang. Setiap warga ditarik ongkos Rp20 ribu pulang-pergi. Anwar setia menunggu para penumpangnya yang berbelanja kebutuhan pokok di Belakang Padang.

"Mereka ini sudah langganan. Kalau orang luar, sekali jalan kita tarik Rp15 ribu," lanjutnya. Dengan tiga mesin masing-masing berdaya 40 PK, perjalanan Belakangpadang menuju Kasu hanya menghabiskan waktu tak lebih dari 15 menit.
Sepenjang perjalanan Anwar bercerita kalau Pulau Kasu Kecil memang hendak dijual. Menurutnya, pulau itu dulunya milik Mutadin salah seorang warga setempat.
"Tapi sudah dibeli oleh orang Jepun (Jepang-red), memang baru-baru ini saya dengar mau dijual lagi," ungkapnya.

Pulau Kasu yang dimaksud ternyata adalah Pulau Kasu kecil. Anwar mengingat sudah banyak orang bertampang asing yang berkunjung ke pulau itu. Pada umumnya mereka langsung menggunakan pancung carteran, atau dijemput oleh Andang. "Yang jaga Pulau Kasu Kecil itu Andang, kalau mau lebih jelas, langsung saja ke sana," anjurnya.

Rumah Andang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari tambatan pancung di Pulau Kasu. Pria asli NTB yang bernama asli Iskandar. Ia mengaku sudah sejak 1970 berada di Pulau Kasu kecil. "Dulu hanya beberapa orang saja penghuni pulau ini. Itu pun tinggal di Kasu kecil bukan di Kasu baru ini," ungkapnya.

Penduduk yang dulunya tinggal di Pulau Kasu kecil mulai menyebrang dan membangun rumah di Pulau Kasu besar, yang hanya dipisahkan oleh alur air, rawa dan hutan bakau yang berjarak sekitar 300 meter.

Sementara rumah-rumah yang di Pulau Kasu kecil dibiarkan begitu saja. "Semuanya pindah termasuk saya, karena di Kasu besar waktu itu lahan kosong, luas lagi," ungkap Andang.
Lantaran Pulau Kasu kecil telah tak berpenghuni dan terbiarkan tidur begitu saja, Mutadin - yang sudah meninggal - salah seorang warga dan anggota TNI, pada tahun 1990 membeli pulau tersebut dari masyarakat.

"Memang saat itu tak ada yang punya sertifikat, tapi kita kan punya surat pegangan dari kelurahan dan kecamatan" lanjutnya.

Andang menaksir Pulau Kasu kecil itu luasnya sekitar 20 hektare. Pulau ini ditawarkan bersama dua pulau kecil tak bernama yang luasnya sekitar setengah hektare. Semuanya dibeli oleh Mutadin dari warga seharga Rp20 juta.

"Tapi tak sampai dua bulan pulau ini di tangan Pak Mutadin, lalu dijual kembali ke Sujatno Supardi, pengusaha Batam yang beristrikan orang Jepang, seharga Rp500 juta," Kata Andang.

Di tangan Sujatno Supardi, Kasu kecil mulai maju dan dikenal oleh orang luar. Pasalnya di sana telah dibangun cottage-cottage yang disewakan bagi para pengunjung. "Dulu sempat ramai, orang dari mana-mana singgah ke sini, ada yang dari Australi, Singapura, Malaysia, orang Batam pun ramai yang ke sini. Sama Pak Sujatno, saya yang disuruh menjaga dan mengelola," ungkapnya.

Namun keramaian itu menurutnya tak berjalan lama, lantaran berbagai hal yang Andang pun tak tahu tiba-tiba Sujatno memutuskan untuk menjual kembali pulau tersebut.
"Tapi sempat lama juga tak ada yang beli, tahun 2005 baru pulau ini dibeli oleh Bu Gunarni Gunawan seharga Rp2 miliar," jelasnya.

Sebelum pulau tersebut dibeli, Sujatno telah membagikan sebagian tanah dari pulau tersebut atas nama anak-anaknya.

"Saya juga dapat dua hektare, mungkin karena selama ini saya yang rawat, makanya dia kasih saya tanah, selebihnya atas nama keluarga besar Pak Sujatno," ujarnya sembari memperlihatkan surat keterangan riwayat penggunaan tanah yang dikeluarkan oleh Lurah Kasu Yusuf M, tertanggal 14 Januari 2004 dan diketahui oleh Camat Belakang Padang Husnul Hafil.

Menurut Andang tanahnya itu telah disertifikatkan juga, tapi saat ini sertifikatnya dipegang oleh Gunarni Gunawan atau yang kerap dipanggilnya dengan sebutan Bu Narni.

Kini pulau tersebut kembali mau dilego seharga Rp3 miliar- ini harga yang disebutkan Andang, bandingkan dengan harga yang ditawarkan di Jakarta. Sudah banyak orang asing yang berkeinginan memiliki pulau tersebut.

“Ada yang dari Brunei, Australia, pun dari Malaysia. Kemarin datang H Kamal, orang Brunei dalam dua minggu dia datang tiga kali ke sini khusus menanyakan pulau ini, saya bilang saja memang mau dijual saya tawarkan ke dia Rp3 miliar dia tertarik, namun hingga saat ini belum ada jawaban dari Bu Narni," ungkapnya.

Begitu juga dengan orang Australia dan Malaysia yang datang sekitar empat bulan lalu. "Mereka tertarik, tapi Bu Narni belum kasih jawaban, padahal dia sendiri yang bilang ke saya untuk dicarikan pembelinya," kata Andang.

Begitulah, bagi masyarakat di pulau-pulau di sekitar Batam, penjualan pulau adalah praktik yang wajar. Dan orang asing adalah pembeli potensial. Kawasan Batam diketahui terdiri dari 403 pulau besar dan sebagian lagi adalah pulau kecil. Mengingat kedekatannya dengan Singapura, dan lemahnya pengawasan serta peraturan yang bisa diakali, pulau-pulau kecil itu adalah barang dagangan yang menggiurkan.***

01 Agustus 2007

Longsoran Bibir Sungai Perparah Abrasi Muktijaya

Tanggal : 1 Agustus 2007
Sumber : http://rokanhilir.go.id/berita.php?go=beritalengkap&id=2084


MUKTIJAYA (RP) - Akibat pasang surutnya air sungai rokan diwilayah Kepenghuluan Muktijaya, Kecamatan Rimbamelintang sebabkan terjadinya longsor-longsor kecil yang kerap memakan bibir sungai tersapu gelombang. Meski tak besar, namun gerusan yang terjadi akibatkan muntahan bibir sungai tak dapat dibendung begitu saja.

''Kemarin saja terdapat tiga titik longsoran bibir sungai yang mengakibatkan gerusan abrasi. Meski tak seberapa besar, namun bila berkelanjutan dalam waktu yang panjang, tidak mustahil reruntuhan tebing akan terus menyerusuk hingga kepemukiman penduduk," ujar Ketua KTNA Rohil Alkahfi Sutikno dari bibir sungai rokan di kepenghuluan Muktijaya.

Kepada Riau Pos, pihaknya mengklaim reruntuhan terjadi akibat pasang surut air sungai yang menghala secara langsung kepada muara pantai Bagansiapiapi itu terjadi kontinu bahkan setiap hari. Saat itu saja, reruntuhan bibir sungai rokan tersebut terjadi secara bersamaan jelang air sungai surut. Bahkan, setakat ini belum ada upaya yang dapat menahan laju gerusan meski pekerjaan pembangunan benteng tetap dilaksanakan. "Karena pasang surut air laut tersebut terjadi dalam skala besar. Jelas reruntuhan kecil-kecil dalam waktu bersalang hari akan menjadi besar seiring tekstur lahan yang rapuh dalam menahan gelombang pasang" imbuh Alkahfi yang juga PPL tersebut.

Disadarinya, hujan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir juga turut mempengaruhi keadaan tanah. Begitu hujan, tanah akan menjedi lembek dan becek sehingga elastisitas bibir sungai tak mampu membendung debit pasang laut. "Kita coba lakukan pemetaan dibeberapa titik disepanjang bibir sungai yang endemi abrasi. Hasilnya, hampir secara keseluruhan termakan gerusan abrasi. Walau tak banyak, gerusan-gerusan yang terjadi setiap pasang mengenyahkan ketahanan tanah," sambung Alkahfi lagi.

Pemetaan yang dilakukan dengan menandai setiap bibir sungai dengan jarak 2 hingga meter menggunakan kayu ataupun serpihan papan yang tersedia, membuktikan bahwa setiap pancangan tersebut mengalami gesekan. Gesekan air dalam tempo beberapa hari, semakin mendekatkan jarak bibir sungai dengan tiang pancang yang ada. "Ada beberapa titik yang kelihatan parah. Mungkin termakan hingga sepuluh centimeter dalam sepekan. Ya jelas inilah bencana panjang akibat gerusan abrasi," ujar Alkahfi.

Namun, pihaknya tetap optimis dengan pekerjaan pembangunan turap atau tanggul penahan abrasi secara permanen. Dimana debit air yang demikian besar tidak serta merta menyapa tanah di bibir sungai. Karenanya, peluang untuk menghambat longsoran akan semakin besar sehingga gerusan abrasi setidaknya dapat tertahan dari benteng yang terbuat dari beton. "Hanya itu satu-satunya harapan. Yang jelas, saat hujan itulah kelenturan tanah akan labil. Dan akan sangat mudah terpecah-pecah kemudian digerus pasang surutnya air laut," tutupnya.(