29 November 2007

Pemulihan Kawasan Pesisir Bukan dengan Reklamasi

Tanggal : 29 Nopember 2007
Sumber : http://www.suarapublik.org/index.php?option=com_content&task=view&id=64&Itemid=28


Jakarta, Kompas - Ekosistem di kawasan pesisir Indonesia dalam kondisi kritis ditandai dengan laju kerusakan mangrove yang tak terkendali. Rusaknya ekosistem di pesisir sudah menuai ongkos sosial dan lingkungan berupa bencana banjir, abrasi, intrusi air laut, dan rusaknya biota di perairan. Berdasarkan catatan Departemen Kehutanan, di sepanjang garis pantai Indonesia yaitu, 81.000 kilometer sejatinya ditumbuhi ekosistem mangrove seluas 9,36 juta hektar (9.361.957,59 hektar).

Akan tetapi, hasil identifikasi Dephut tahun 2000, hanya tersisa 2,5 juta hektar (2.548.209,42 hektar) mangrove yang kondisinya tergolong baik. Dengan demikian, areal mangrove yang rusak sudah mencapai sekitar 70 persen.

Mangrove berperan sebagai peredam gelombang laut dan angin, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimentasi.

Potret kerusakan pesisir, termasuk ekosistem mangrove, sudah bisa dirasakan dampaknya ketika banjir akibat gelombang pasang air laut terjadi di utara Jakarta awal pekan ini.

Tegakan bakau yang bisa disaksikan saat ini hanya terlihat sedikit di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke dan kawasan taman wisata alam Angke Kapuk, yang luas tegakkan bakaunya tinggal sekitar 9 hektar, yang secara ekologis tidak lagi bisa berfungsi

Penyebab kerusakan kawasan pesisir selama ini yaitu karena reklamasi, pencemaran, konversi menjadi tambak, juga penebangan bakau untuk dijadikan arang.

Akan tetapi, saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan sembilan pengembang justru tengah merealisasikan proyek mercusuar reklamasi pantai utara Jakarta.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 telah menyatakan ketidaklayakan lingkungan proyek tersebut. Namun, Pemprov dan DPRD tetap bersikeras mengizinkan proyek itu.

Reklamasi tersebut akan menguruk pantai sedalam delapan meter, selebar dua kilometer dari garis pantai, dan sepanjang 30 km kawasan pesisir. Rencananya, di atas lahan reklamasi itu akan digunakan untuk berbagai kegiatan bisnis dan perumahan penduduk untuk 750.000 jiwa.

Bukan Reklamasi

Khalisah Khalid dari Walhi Jakarta mengatakan, proyek itu hanya akan menuai kerugian ekologi hingga Rp 3,499 triliun dan menggusur 125.000 nelayan.

Muhammad Ilman dari Wetland International menegaskan, pemulihan kawasan pesisir tidak bisa dijawab dengan reklamasi. Hal itu justru akan memperparah kondisi pesisir.

Bambang Supiyanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan juga mengatakan, pemulihan kawasan pesisir, khususnya di Jakarta, tidak bisa dilakukan dengan pendekatan ekonomi. "Sebab tidak sepadan dengan ongkos akibat dampaknya. Namun, pemeliharaan lingkungan itu masih dianggap cost center," ujarnya.

Direktur Pemukiman dan Perumahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Basah Hernowo mengatakan, merujuk Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pencabutan dan pembatalan izin, bahkan pembongkaran bangunan bisa dilakukan bila properti merugikan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Baik pemberi izin maupun penerima izin bisa dikenakan sanksi pidana denda bahkan penjara bila properti memang merusak lingkungan.

Pemprov Mengakui

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengakui adanya kesalahan perencanaan tata ruang di masa lalu. "Saat ini, kita mengadapi konsekuensi dari naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global. Tidak perlu saling menyalahkan tata ruang di masa lalu tetapi kita harus mencari cara untuk mengatasinya," kata Fauzi.

Saat ini, Jalan Tol Prof Sedijatmo, Bandara Soekarno-Hatta pada kilometer 27 masih menghadapi ancaman banjir dari kawasan tambak rakyat akibat air laut pasang. Namun, dalam jangka pendek PT Jasa Marga masih belum berniat membangun tanggul pembatas tepian tambak dan jalan tanah. Rabu siang (28/11), titik lokasi awal meluapnya air tambak karena laut pasang ke jalan tol hanya ditutup dengan tumpukan deretan karung berisi tanah setinggi 20 sentimeter.

Korban Masih Terlantar

Sementara itu, Sekitar 300 warga RT 06 / RW 01 Kamal Muara Penjaringan Jakarta Utara yang mengungsi di tenda darurat akibat banjir Senin lalu kondisinya cukup memprihatinkan. Bantuan air minum serta obat-obatan masih minim sehingga mengakibatkan puluhan balita terserang penyakit.

"Hingga hari ini, kami hanya mendapat satu bantuan dos air minum kemasan gelas. Bahkan, obat-obatan sama sekali kami belum dapat. Padahal banyak balita sudah sakit demam, diare dan gatal-gatal," ujar Ketua RT 06/01, Muksin.

Warga juga mengeluh karena tidak bisa lagi mencari nafkah. "Saya sudah tidak punya uang lagi karena tiga hari tidak melaut," ujar Udin (42) warga RT 2 / RW 1 Dadap Kosambi.

Sementara itu, sebagian besar nelayan di Muara Baru tinggal di RT 19 dan RT 20, yang merupakan wilayah terparah dari sembilan RT yang ada di sana. Sekitar 20 rumah di wilayah itu rusak.

Untuk mengatasi banjir di Jakarta Utara yang ditimbulkan limpasan gelombang air pasang, Fauzi Bowo mengatakan, polder untuk mengatasi limpasan gelombang air pasang seharusnya berlapis sehingga mampu menampung dan memompa air kembali ke laut, saat mulai surut. Cara itu meniru sistem di Belanda. (SF/ECA/WIN/A04/A05/A08/)

Sumber. Kompas

28 November 2007

Minimalisasi Dampak Bencana Alam di Pesisir

Tanggal : 28 Nopember 2007
Sumber : http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/11/23/o3.htm

Oleh : Ir. IGA Ari Agung, S.Ag., M.Kes.


BENCANA tsunami yang menyapu sebagian besar kawasan Aceh dan Sumatera Utara, dan baru-baru ini di Bali dicengangkan dengan terjangan angin puting beliung, membuat banyak kalangan mulai memikirkan perlunya tata ruang untuk perlindungan di tepi-tepi pantai agar ketika bencana datang tidak banyak menelan korban.


Di Bali konsep tata ruang terkenal dengan istilah Tri Hita Karana, istilah ini sekarang sudah go international. Tetapi kita di Bali tampaknya masih kurang perhatian dengan konsep keharmonisan/kesejahteraan alam ini.


Meminimalkan dampak dari bencana yang akan terjadi, diperlukan suatu program untuk mengurangi pengaruh suatu bencana terhadap masyarakat atau komunitas, perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan, penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan database, pamantauan dan penelitian dan pengembangan.


Meski wilayah Indonesia merupakan negara rawan bencana alam, namun kesadaran masyarakat akan hal ini masih rendah. Di mata seorang ahli geologi, Indonesia ibaratnya adalah sebuah yang mengapung (floating mass) di kerak bumi, dikepung oleh lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Selain itu, Indonesia juga kaya dengan gunung berapi, di mana tercatat 240 gunung berapi yang 70 di antaranya masih aktif.


Badan Meteorologi dan Geofisika menunjukkan bahwa ancaman tsunami ada di kepulauan sepanjang Indonesia dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa hingga Nusa Tenggara lalu ke Banda dan Pasifik. Mahalnya biaya perlindungan tidak menyurutkan para ilmuwan untuk melakukan penelitian dan riset, karena Indonesia memiliki potensi alam yang bisa bermanfaat untuk mengurangi akibat bencana.


Di pesisir timur Lampung, misalnya, kawasan pantai sepanjang 270 km merupakan habitat asli bakau yang mampu menjadi pemecah gelombang dan pelindung pantai. Selain itu kawasan rawa-rawa air tawar juga memiliki fungsi sebagai pengendali banjir. Habitat hutan mangrove yang ditumbuhi bakau (Rhizophora mucronata), api-api (Avicennia alba dan avicennia marina), dan nipah (Nypa fructicans), mampu melindungi pemukiman dari bencana angin dan banjir. Hutan mangrove memiliki fungsi sebagai pemecah gelombang atau air pasang, yang akan menerjang pemukiman wilayah pesisir. Jika ketebalan hutan mangrove sampai satu kilometer lebih, keganasan arus gelombang pasang dapat diredam dan dampaknya dapat dikurangi. Kondisi tersebut akan lebih baik lagi jika hutan mangrove itu didukung dengan habitat terumbu karang yang baik. Empasan gelombang pasang akan lebih tertahan lagi, karena fungsi terumbu karang dan mangrove adalah menahan dan memecah laju gelombang. Selain itu, hutan mangrove juga mampu melindungi pantai dari proses abrasi.


Hutan mangrove merupakan benteng alam terhadap gelombang pasang yang kerap menerjang daerah pantai di Indonesia termasuk pantai-pantai di Bali. Hutan mangrove juga merupakan paru-paru bagi wilayah Badung Selatan yang kebanyakan lahannya berupa lahan tandus dan lahan berbeton. Penurunan luas hutan ini tentu juga tidak sesuai dengan upaya dunia dalam mencegah dampak buruk global warming yang mengancam kehidupan umat manusia. Belum lagi polusi yang ditimbulkannya saat bandara semakin luas, sedangkan filter semakin berkurang. Polusi udara dan polusi suara adalah pencemaran lingkungan yang berdampak buruk bagi alam Bali yang menjadi andalan pariwisatanya dan tentunya bagi masyarakat Bali.


Fakta-fakta menarik didapatkan di daerah korban tsunami Aceh bahwa gelombang tsunami semakin jauh masuk ke daratan jika pantai bertipe teluk dan datar. Hal ini mengisyaratkan perlunya tata ruang untuk wilayah pesisir sehingga berguna dalam penyelamatan jiwa manusia dan perencanaan pembangunan wilayah pesisir. Sehingga pengembangan bandara atau pembangunan lainnya sejauh-jauhnya harus menghindari kesan yang menunjuk pemaksaan maupun pemerkosaan alam yang dilakukan secara sengaja. Pemerintah beserta pihak-pihak terkait perlu mengkaji kembali rencana perluasan landasan pacu Bandara Internasional Ngurah Rai. Harus diupayakan dulu solusi terbaik terhadap masalah lingkungan hidup sebelum melaksanakan perluasan bandara. Misalnya menggalakkan reboisasi lahan tandus dan perluasan lahan hutan mangrove di sekitar batas perluasan bandara. Penulis, dosen MIPA Unhi


24 November 2007

Pantai di Kalsel Penuh Sampah

Tanggal : 24 Nopember 2007
Sumber : http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/8023/289/


BANJARMASIN, BPOST - Kondisi pantai yang ada di Kalimantan Selatan yakni pantai timur dan selatan kian memprihatinkan. Kerusakan pantai baik karena proses alam maupun akibat ulah manusia diprediksi lebih dari separuh luas wilayah pantai itu.


Demikian disampaikan Kepala Sub Dinas Prasarana dan Pulau-Pulau Kecil, Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel, HM Darban di gubernuran, kemarin. Menurutnya, aktivitas manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan menjadi faktor utama penyebab kerusakan pantai.


Bentuk kerusakan wilayah pantai itu antara lain berupa abrasi (pengikisan) yang disebabkan kuatnya gerusan ombak laut, dan sedimentasi karena lumpur-lumpur dari wilayah hulu berakhir di kawasan pantai.


Belum lagi masalah sampah. Nyaris di semua wilayah pantai tampak kotor akibat sampah organik dan non organik sehingga membuat pantai tak lagi sedap dipandang mata. Sampah-sampah itu juga dominan kiriman dari daratan dan daerah hulu.


"Aktivitas penebangan hutan dan penambangan batu bara yang pengirimannya melewati sungai dan tembus ke pantai juga telah mengotori pantai. Pantai yang rusak berpengaruh pada ekosistem laut yang pada akhirnya produktivitas kelautan menurun," tukasnya.


Dan Kamis (22/11), Pemprov Kalsel menggelar kegiatan aksi bersih-bersih pantai. Kegiatan yang dipusatkan di Pantai Taboneo, Tanah Laut itu dibuka Wakil Gubernur Kalsel, Rosehan NB.


Dalam kegiatan itu Rosehan memberikan bantuan kepada warga pesisir berupa uang Rp 25 juta dan bagi-bagi delapan unit genset. Kegiatan dilanjutkan dialog langsung dengan masyarakat nelayan setempat.


Warga Taboneo dan sekitarnya menginginkan pemerintah provinsi membangun tanggul penahan ombak. Pasalnya, menurut mereka abrasi yang terjadi di Pantai Taboneo dan sekitarnya mengalami abrasi sekitar 5 sampai dengan 10 tahun pertahun.


Mereka juga mengharapkan adanya rambu-rambu atau petunjuk arah ketika hendak memasuki muara menuju ke sungai.

Mengkhawatirkan Abrasi Pantai di Indonesia

Tanggal : 24 September 2007
Sumber : http://www.opinimasyarakat.com/2007/09/24/mengkhawatirkan-abrasi-pantai-di-indonesia/


Jakarta, Abrasi pantai Indonesia saat ini dinilai sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan. Lebih dari 30 ribu kilometer pantai, atau sekitar 40 persen dari 80 ribu kilometer bibir pantai rusak akibat abrasi. Kondisi rawan ini menyebabkan potensi dampak bencana yang lebih buruk ketimbang sebelumnya. Bencana yang akan kerap terjadi antara lain gelombang besar, pasang laut luar biasa, erosi pantai, sedimentasi pantai, tsunami, angin badai, gempa bumi dan banjir.

Demikian disampaikan Dirjen Sumber Daya Air (SDA) Departemen PU Iwan Nursyirwan Diar di Jakarta, Sabtu (22/9). Disisi lain, lanjutnya, pemerintah hanya bisa menargetkan perbaikan bibir pantai yang rusak sepanjang 250 kilometer sampai tahun 2009. “Dari kerusakan yang begitu besar, kita memang tidak bisa berbuat banyak, selain luasnya pantai di Indonesia juga karena anggaran yang terbatas senilai Rp 423 milyar,” ujarnya.


Untuk mencegah terjadinya abrasi yang lebih buruk lagi, saat ini pihaknya sudah melakukan pengamanan pantai, berupa pemecah gelombang, revetment, pembentukan tembok laut dan juga membentuk groin. “Groin ini dibangun di pantai pada posisi tegak lurus garis pantai agar dapat menahan amterial sediment,” jelasnya.


Selain membuat groin, PU juga melakukan pengamanan pantai dengan menanam tanaman hutan pantai yang bisa meredam gaya lingkungan laut yang menimbulkan bencana.”Namun bencana laut tsunami tidak dapat ditanggulangi oleh bangunan pengaman seperti groin ataupun hutan bakau,” kata dia.


Adapun untuk kasus bencana gempa di Bengkulu, Iwan mengatakan terdapat sekitar 11 kilometer pantai yang rusak, terutama Bengkulu arah utara dari Bengkulu sampai Muko-Muko.”Kerusakannya memang tidak lurus, tetapi di beberapa tempat sampai 3 meter ke daratan dan panjangnya mencapai 11 kilometer,” urai Iwan seraya menambahkan untuk bibir pantai dari Muko-Muko sampai ke Padang tidak mengalami kerusakan berat.


Kepala Pusat Data, Statistik Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Saut Hutagalung menyatakan, belum dapat membenarkan atau penilaian menyalahkan bahwa 40 persen bibir pantai di Indonesia. Pihaknya akan melakukan verifikasi terlebih dahulu kepada direktorat bina pesisir serta konservasi yang selama ini menanganinya.


Menurutnya, rusaknya bibir pantai di perairan Indonesia akibat abrasi itu tidak terlepas dari geologi, kekuatan ombak laut serta pusaran angin menjadi faktor . Namun, kondisi tersebut juga kerap terjadi dikarenakan tidak kuatnya daya dukung tata ruang pesisir akibat menguatnya mobilitas ekonomi penduduk. Apakah itu berbentuk pengembangan properti, perumahanan atau industri.


23 November 2007

Pantai Indramayu Terancam Abrasi

Tanggal : 23 Nopember 2007
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0711/23/daerah/4020063.htm


Cirebon, Kompas - Pantai Indramayu rusak berat akibat abrasi. Nelayan khawatir, musim angin barat bulan Desember meningkatkan proses abrasi. Sejauh ini, abrasi telah menggerus rumah warga dan fasilitas umum. Penanaman bakau dinilai belum efektif, karena itu perlu dibangun pemecah ombak.


Berdasarkan pemantauan Kompas, kerusakan akibat abrasi terjadi di sepanjang pantai utara Jawa Barat, mulai dari Kabupaten Karawang, Pamanukan, Kabupaten Subang, Indramayu, hingga Cirebon.


Menurut Kepala Dinas Perikanan Provinsi Jabar Darsono, yang dihubungi Kamis (22/11), luas abrasi yang terjadi di sepanjang pantai Kabupaten Indramayu mencapai 2.000 hektar (ha), memakan ratusan rumah warga serta jalan umum.


Berdasarkan data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jabar, daratan yang terkena abrasi di pantai utara Jabar mencapai 370,3 ha per tahun.


Penanaman bakau belum efektif karena belum setahun sudah mati. Seperti di Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu. Sebagian karena terseret ombak, sebagian lagi kurang perawatan.


Pemecahan ombak menjadi salah satu solusi. Namun, belum semua perkampungan tepi pantai dilindungi oleh pemecah ombak.


Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Kabupaten Indramayu AR Hakim mengungkapkan, tahun 2007 abrasi di Kabupaten Indramayu mencapai 49,56 kilometer. Jumlah ini lebih tinggi dari tahun lalu yang hanya 42,6 km. Pada 2008, Diskanla hanya mampu membangun pemecah ombak sepanjang 3,5 km.


Kajidin, Ketua Serikat Nelayan Indramayu, mengeluhkan, pantai Indramayu sudah tidak mempunyai banyak ikan. Nelayan harus menjala di tengah laut untuk mendapatkan ikan.


Menurut Darsono, kerusakan ekosistem menjadi salah satu penyebab berkurangnya jumlah ikan. Kabupaten Indramayu menempati urutan pertama dalam hal kerusakan lingkungan laut di Jawa Barat.


Terumbu karang yang tersisa hanya 60 persen. Padahal terumbu karang merupakan tempat hidup ikan yang menjadi tangkapan nelayan.


Rusaknya terumbu karang, lanjut Darsono, akibat ulah sebagian nelayan yang ingin mendapatkan ikan dengan cara cepat, seperti menggunakan racun, bom, atau alat listrik. Karena itu, sosialisasi tentang pelestarian ekosistem terus dilakukan untuk mengurangi kerusakan.


Marak


Hal serupa terjadi di Lampung. Setelah aksi perusakan terumbu karang dengan bom ikan untuk mendapatkan ikan mereda, pencurian terumbu karang dan ikan hias kini marak terjadi di Teluk Kiluan, Tanggamus, Lampung. Pencurian diperkirakan sudah berlangsung selama enam bulan.


"Pencurian yang mengarah pada eksploitasi besar-besaran itu bisa memusnahkan beberapa spesies ikan hias dan terumbu karang," kata Ketua Yayasan Ekowisata CIKAL Lampung Riko Stefanus, Kamis kemarin.


Ikan hias dan terumbu karang dijual nelayan kepada pengepul di Rangai, Tarahan, Lampung Selatan.


Menurut Riko, jika seseorang mendapat izin usaha jual beli ikan hias, ia harus melengkapi usahanya dengan pembudidayaan ikan, sehingga tidak perlu lagi mengambil indukan dari laut bebas.

17 November 2007

971 km ekosistem pantura rusak

Tanggal : 17 September 2007
Sumber : http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=15091&Itemid=54


DEMAK - Sepanjang 971 kilometer Pantura Jawa kini dalam keadaan memperihatinkan. Bahkan telah mengalami degradasi fungsi. Khususnya ketika abrasi, reklamasi dan pencemaran yang mengakumulasi, telah akibatkan rusaknya ekosistem pantai.


Demikian Dirjen Pengawas dan perlindungan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP, Dr Ir Adji Sularso MSi, dalam perayaan Hari Bahari Nusantara di Pantai Morosari Sayung, Sabtu (15/12). Dituturkan, kondisi lingkunan pantai dan laut Jawa saat ini relatif kurang baik. Bahkan cenderung memperihatinkan, sehingga perlu segera dilakukan rehabilitasi sebagai upaya pemulihan.


"Apalagi melihat potensi kelautan yang saat ini sudah pada ambang overfishing. Tidak boleh tidak, harus ada tindakan tegas terkait pembatasan jumlah pemanfaatnya. Jika tidak ingin potensi perikanan di laut Jawa minus," ujarnya.


Lebih lanjut disampaikan, diperlukan waktu yang tak sebentar untuk memulihkan kondisi ekosistem pantai berikut hutan mangrove dan terumbu karangnya.


Karenanya, Adji Sularso meminta, upaya mitigasi bencana dan pencemaran adalah upaya prioritas yang ditempuh Departemen Kelautan dan Perikanan. Dimaksudkan untuk mengembalikan produktivitas serta kelestarian habitat wilayah pesisir juga pulau-pulau kecil lainnya.


Menurut Kepala Subdirektorat Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan DKP Dr Ir Subandono Diposaptono MEng, pencegahan terjadinya bencana khususnya di wilayah pesisir dapat dimulai dari diri kita sendiri. Antara lain dengan menyumbangkan satu bibit mangrove serta tidak membuang sampah sembarangan per orang, sehingga dapat menghemat biaya pengadaan bibit mangrove.


"Dengan begitu, rehabilitasi pantai sepanjang pulau Jawa yang pastinya tidak sedikit nominalnya tersebut dapat dialihkan untuk pemeliharaan juga pemasangan APO (alat pemecah ombak), atau upaya perbaikan lainnya. Seperti penanganan overfishing melalui upaya restocking bibit kepiting atau udang," tuturnya.


Bupati Demak Drs H Tafta Zani MM yang hadir pula pada pencanangan Gerakan Bersih Pantai dan Laut (GBPL) menjelaskan, kerusakan di pantai Demak yang terjadi akibat abrasi telah mencapai 500 hektar lebih. Menurut bupati, sejauh ini swadaya masyarakat pesisir Demak sangat bagus.


Subandono menambahkan, kerusakan pesisir Demak akan lebih efektif jika ditanggulangi dengan penanaman mangrove dilengkapi alat pemecah ombak (APO). Sehingga kerusakan tidak bergeser, bahkan lambat laun nantinya APO dan mangrove justru membentuk sedimen alami.

01 November 2007

Pemanasan Global: Siap Gusur Masyarakat Pesisir

Tanggal : 1 Nopember 2007
Sumber :
http://www.trobos.com/show_article.php?rid=4&aid=752

Selama 100 tahun terakhir, paras muka air laut naik 1 meter, suhu permukaan bumi naik 1 derajat C.

Dunia kian dipadati manusia. Lebih dari enam-setengah milyar jiwa. Perjuangan memenuhi kebutuhan hidup menjadi kian ganas. Industri wahana modernisasi kian meluas dan kian rakus. Maka polusi pun kian kejam, khususnya ketika CO2 mengangkasa lalu merangsang tumbuhnya kubah maharaksasa efek rumahkaca, hingga pemanasan global (global warming) pun kian mengikislelehkan es kedua kutub bumi. Maka menjadi tak aneh ketika ribuan pakar dunia mengabarkan betapa cepatnya “parasmuka air laut” (SLR = Sea Level Rise) naik.


Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP) Prof Indroyono Soesilo kepada TROBOS mengatakan, setiap kenaikan temperatur bumi 1 derajat C, maka SLR, permukaan air laut naik 1 meter. Kapan itu terjadi? “Faktanya, selama 100 tahun terakhir, paras muka air laut telah naik 1 meter. Ini berarti suhu permukaan bumi telah naik 1 derajat C. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir akan tergsur.


Menanggapi naiknya parasmuka air laut ini, Meneg Lingkungan Hidup – Rahmat Witoelar, beberapa waktu lalu mengatakan, jika kondisi itu terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin pada tahun 2030an sekitar 2.000 pulau milik Indonesia tenggelam. Angka 2.000 tersebut memang masih menjadi bahan perdebatan seru kalangan pakar, termasuk oleh Dr Soebandono Diposaptono, Kasubdit Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan Ditjen P3K-DKP. Berdasarkan perhitungan Soebandono, dengan asumsi rata-rata kelandaian pantai di Indonesia sebesar 2%, maka setiap kenaikan permukaan air laut sebesar 1 m akan mengakibatkan tergenangnya wilayah pesisir pantai sepanjang 50 m ke arah daratan. “Jika total garis pantai yang dimiliki Indonesia sepanjang 81.000 km, maka dalam waktu 100 tahun ke depan wilayah yang akan tergenang bisa mencapai 405.000 ha, atau 4.050 ha/tahun,” ujar Soebandono sambil menunjukkan angka-angka hasil perhitungannya.


Apapun hasil akhirnya, kedua analisa di atas itu patut diwaspadai. Jika benar terjadi, tentu dampaknya niscaya menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Pasalnya, letak sebagian besar kota-kota yang menjadi pusat industri, justru berada di sepanjang pesisir. Bukan hanya itu, wilayah pesisir ini juga umumnya menampung 60% dari total penduduk yang ada di Indonesia. Dari sini bisa dibayangkan, berapa besar kerugian yang akan ditimbulkan akibat tenggelamnya seluruh infrastruktur yang ada di sepanjang pesisir tersebut. “Sayang, belum ada penelitian yang menghitung berapa jumlah kerugian tersebut,” keluh Soebandono.


Hutan mangrove punah


Naiknya suhu SLR juga berdampak pada kerusakan terumbu karang. Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson, Soebandono mengatakan, dampak dari peningkatan suhu SLR yang terjadi pada akhir-akhir ini telah mengakibatkan 30% terumbu karang yang ada di wilayah Indonesia mengalami bleaching (pemutihan). Jika luas total terumbu karang yang ada di Indonesia 51.020 km2, terumbu karang yang mengalami bleaching akibat dari pemanasan global ini sedikitnya telah mencapai 15.306 km2.


Masih berdasarkan penelitian Wilkinson lebih lanjut Soebandono menjabarkan, luasan 1 km2 terumbu karang dapat menghasilkan produk perikanan senilai US$ 15.000/tahun. Lebih dari itu dapat menghemat biaya perlindungan pantai dari abrasi US$ 193.000 dan mempunyai potensi pariwisata bernilai antara 3.000 sampai 500.000 dolar AS. “Bisa kita bayangkan, berapa besar kerugian yang bakal kita tanggung akibat rusaknya terumbu karang ini,” ujar Soebandono.


Tidak hanya merusak ekosistem terumbu karang, efek pemanasan global juga mengancam keberadaan ekosistem hutan bakau (mangrove) yang tumbuh di daerah pesisir. Serangkaian riset mengatakan, apabila laju perubahan SLR mencapai 100 cm per 100 tahun, maka hal itu akan menyebabkan terjadinya pergeseran hutan mangrove ke arah hulu. Dampaknya, 57% kawasan hutan mangrove yang ada di dunia terancam punah.


Secara teoritis Soebandono kembali menjelaskan, kenaikan SLR akan menggenangi sebagian wilayah pesisir, sehingga menyebabkan air laut ini terus merangsek ke arah daratan. Dengan kata lain, intrusi air laut makin jauh ke arah hulu sungai. Akibatnya, salinitas air di wilayah pesisir yang biasanya payau akan bertambah. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada ekosistem hutan mangrove, dengan terus melakukan migrasi ke arah hulu. Masalah baru segera muncul jika tempat migrasi hutan mangrove ini sudah mencapai ke lokasi permukiman penduduk, sehingga tidak mempunyai ruang lagi untuk melakukan migrasi. “Sebagai akibatnya, mangrove akan mengalami kepunahan” keluh Soebandono. Hilangnya hutan mangrove ini dinilai oleh Soebandono akan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Mengingat fungsi hutan mangrove sebagai tempat pemijahan bagi udang dan beberapa jenis ikan. Selain fungsinya sebagai pelindung pantai dari abrasi.


Panen Ikan, Saat El nino dan La nina


Efek lain dari proses pemanasan global ini dituturkan Indroyono. Disamping mengakibatkan naiknya SLR, efek pemanasan global juga mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. “Orang menyebutnya dengan El Nino (kemarau panjang) dan La Nina (kemarau basah),” kata Indro. Terjadinya El Nino dan La Nina ini sebagai akibat dari adanya interaksi antara atmosfer dan lautan. Biasanya jika terjadi El Nino, Indonesia akan mengalami kemarau panjang, sedangkan di wilayah lain (belahan bumi lainnya) justru terjadi badai.


Tetapi sebaliknya keunikan justru terjadi di dunia perikanan. El Nino dan La Nina dinilai sebagai pembawa berkah bagi para nelayan. “Jika terjadi El Nino atau La Nina, nelayan justru panen ikan,” imbuh Indro. “Jika terjadi El Nino, maka ikan akan melimpah di wilayah pantai selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan pantai barat Sumatera. Sedangkan jika terjadi La Nina, keberadaan ikan akan berpindah ke wilayah laut utara Papua, Maluku dan laut Sulawesi. Jadi, nelayan bisa memprediksi, jika selama beberapa bulan ke depan terjadi El Nino, mereka sudah tahu ke mana harus mencari ikan.


“Teoritis,” ujar Ario Damar dari PKSPL-IPB di kesempatan yang berbeda, “pemanasan global juga memberikan peluang pada perubahan arus air laut. Konsekuensinya, kondisi ini juga akan mengubah fishing ground (daerah penangkapan ikan). Ini terjadi karena arus air laut merupakan sarana pengangkut bahan makanan untuk ikan. Selain itu Ario juga menyebutkan, efek negatif dari pemanasan global yang terjadi pada dunia perikanan tangkap, adalah semakin tingginya gelombang air laut. Faktanya, gelombang besar memang sering terjadi pada akhir-akhir ini. Akibatnya, nelayan yang memiliki kapal kecil jadi takut untuk melaut.