31 Januari 2008

PENDAPAT GURU : Kurikulum Materi Bencana Alam

Tanggal : 31 Januari 2008
Sumber : http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=150952&actmenu=43
Oleh : Drs Gunawan MPd

BENCANA datang silih berganti: banjir, angin puting beliung, gempa, gunung meletus, tsunami, kebakaran hutan datang silih berganti. Bencana demi bencana beruntun menimpa negeri yang konon katanya merupakan surga dunia. Tidak ada wilayah negeri ini yang bisa merasa aman dari incaran musibah bencana alam. Penduduk di daerah dekat pantai senantiasa was-was kapan akan menerima giliran diterjang tsunami. Demikian juga mereka yang bermukim di daerah pegunungan dan lereng-lereng perbukitan khawatir kalau-kalau gunung di dekatnya meletus atau bukit longsor mengubur hidup-hidup penghuni di sekitarnya. Daerah dataran rendah dan perkotaan pun tidak bisa tidur nyenyak ketika musim penghujan datang. Sewaktu-waktu banjir bisa saja menerjang kehidupan, dan menghanyutkan semua harta yang dimiliki.

Ada apa sebenarnya dengan ini semua? Secara geografis letak Indonesia memungkinkan terjadinya bermacam-macam musibah bencana alam. Indonesia memiliki ratusan gunung berapi yang masih aktif. Ratusan sungai besar kecil yang membentang di semua pulau, bukit-bukit dari Sabang sampai Merauke dengan berbagai karakter tanahnya. Ditambah iklim muson yang setiap setengah tahun memberikan hujan serta jalur gempa yang membujur di sepanjang pantai selatan. Kondisi geografis tersebut memungkinkan wilayah Indonesia terjadi bencana alam. Meskipun di balik itu semua sesungguhnya tersimpan potensi untuk terwujudnya kemakmuran bagi penduduk negeri jamrud khatulistiwa.

Dengan manajemen lingkungan yang baik serta kearifan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam memungkinkan negeri ini menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi. Pertanyaannya mengapa kita tidak menjadi negeri yang ayem tentrem, gemah ripah loh jinawi. Namun justru menjadi negeri yang carut marut dengan segala kesengsaraan dan penderitaan. Setiap datang bencana alam kita hanya bisa terpaku dan mencari kambing hitam. Tidak pernah kita introspeksi, bahwa sesungguhnya bencana alam datang bukan sekadar gejala alam biasa. Bencana alam menimpa negeri kita karena kesalahan dan dosa kolektif. Dari pemerintah yang tidak memberikan regulasi dengan baik menjadikan penjarah hutan menebang hutan semuanya. Penambang batu kapur dan pasir laut dibiarkan tanpa ada penanganan secara komprehensif. Demikian juga masyarakat di semua lini kehidupan merasa cuek dengan keselamatan bersama.

Masyarakat membuang sampah disembarang tempat termasuk di selokan dan sungai yang fungsi sebenarnya merupakan tempat air bukan tempat sampah. Penduduk di sepanjang bantaran sungai dengan santainya mendirikan bangunan tanpa memperhatikan keselamatan diri dan orang lain. Badan sungai dari waktu ke waktu mengalami penyempitan akibat terdesak oleh bangunan-bangunan liar. Hal ini menjadikan aliran sungai terhambat bahkan meluap di kanan kiri sungai serta melanda pemukiman. Penyadaran masyarakat bisa ditempuh melalui berbagai jalur. Bisa melalui iklan layanan di televisi, radio, atau media cetak. Bagi pelajar dan mahasiswa pemahaman penjagaan lingkungan hidup bisa dimasukkan dalam mata pelajaran. Berkaitan dengan pelajar mahasiswa, ada baiknya pemerintah agar materi bencana alam dan cara mengantisipasinya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Atau minimal materi bencana alam dimasukkan secara terintegrasi ke dalam mata pelajaran yang telah ada. Dengan demikian anak-anak sejak dini sudah bisa mengenal berbagai macam bencana yang ada, bagaimana mencegah serta menyelamatkan diri jika sewaktu-waktu datang bencana alam.

26 Januari 2008

RAKER DI DPD RI: Kawasan Laut Termasuk Paru-paru Dunia

Tanggal : 26 Januari 2008
Sumber : http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20080126100326
Oleh : Ruslan Andy Chandra


KabarIndonesia - Gejala pemanasan global dan perubahan iklim yang saling mempengaruhi secara timbal-balik merupakan ancaman strategis, jika tidak terkendali semakin mempercepat pencairan es di kutub dan meningkatkan permukaan air laut secara drastis. Dampaknya, menenggelamkan pulau-pulau kecil dan pesisir, kemudian menimbulkan sedimentasi yang menutup ekosistem pesisir seperti terumbu karang (coral reef), hutan bakau (mangrove), dan padang lamun (sea gress).

Akibat pemananasan global dan perubahan iklim, menurut Menteri Perikanan dan Kelautan Freddy Numberi, Indonesia telah kehilangan 24 pulau. Tapi, Indonesia tidak merasa kehilangan apa-apa karena masih mempunyai 17.000 lebih pulau-pulau. “No body care, semua menganggap biasa-biasa,” jelasnya dalam Rapat Kerja (Raker) Panitia Ad Hoc (PAH) II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Ruang Rapat PAH II DPD Kompleks Parlemen Jakarta, Rabu (23/1), yang dipimpin Ketua PAH II DPD Sarwono Kusumaatmadja. “Masalah ini harus diwaspadai bersama.” lanjut Fredy.

Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, 10 April 2007, akan terjadi kenaikan suhu minimum dan maksimum bumi antara 0,5 hingga 1,5 derajat Celcius, lima tahun mendatang. Fenomena ini jelas mengancam negara-negara kepulauan di Pasifik, yang daratannya rata-rata hanya empat meter di atas permukaan laut (mdpl).

Pemanasan global dan perubahan iklim yang kian tak terkendali hanya akan menenggelamkan negara-negara kepulauan dalam waktu singkat. Mereka yang bergabung dalam Alliance of Small Island States (AOSIS) telah melontarkan Save Our Soul (SOS) berulang kali selama UNFCCC digelar, supaya pertemuan di Bali menghasilkan langkah nyata melindungi negara-negara kepulauan di samudera nan luas itu. Negara-negara kepulauan di Pasifik seperti Marshall Islands, Kiribati, Tuvali, Mikronesia, Palau Elias, dan Vanuatu mengharapkan Indonesia sebagai lead untuk mengangkat isu ini di forum PBB. “Kawasan pulau-pulau mereka juga sangat rentan,” kata Freddy.

DKP mencatat, semula pulau-pulau yang dimiliki Indonesia berjumlah 17.506. Setelah Sipadan dan Ligitan berpindah tangan ke Malaysia, jumlah pulau-pulau berkurang menjadi 17.504 diikuti pemanasan global dan perubahan iklim yang menenggelamkan 24 pulau. Maka, pulau-pulau Indonesia tinggal berjumlah 17.480. Selain pemanasan global dan perubahan iklim, penyebabnya antara lain tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias, eksploitasi berlebihan dan tidak terkendali pasca-otonomi daerah diberlakukan, serta abrasi pantai yang lambat laun mengikis pesisir pulau-pulau kecil.

Tim Nasional telah memverifikasi dan membakukan nama pulau-pulau sampai Juli 2007, yang mencapai 4.981 pulau dari 17.504 pulau di Indonesia. Telah didaftarkan 4.981 pulau saat Konferensi PBB tentang Pembakuan Nama-Nama Rupabumi ke-9 (The 9th United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names/UNCSGN) dan Pertemuan Kelompok Pakar Rupabumi ke-24 (The 24th Session of The United Nations Group of Experts on Geographical Names/UNGEGN) di New York, Amerika Serikat, 21-31 Agustus 2007.

Selama ini, Freddy melanjutkan, hanya kawasan hutan disebut-sebut sebagai paru-paru dunia pemeran utama penyerapan gas karbon dioksida (CO2) selain gas-gas lain seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metan (CH4), dan kloroflourokarbon (CFC) di atmosfir sebagai penyebab efek gas rumah kaca (green house effect). Salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyerap emisi gas rumah kaca itu, karena mengubah CO2 menjadi O2. Sehingga, perusakan hutan berkontribusi terhadap naiknya emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim.

Makanya, pelestarian hutan menjadi tuntunan terdepan para pemerhati lingkungan untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global dan perubahan iklim. “Selama ini, hanya hutan dianggap berkontribusi menyerap CO2,” kata Freddy. Namun sebenarnya bukan hanya hutan yang mampu menyerap CO2. Melalui berbagai organisme laut yang melimpah seperti terumbu karang, hutan bakau, dan padang lamun serta biota kecil seperti plankton atau mikroalga, ekosistem laut ternyata berkemampuan dan menjadi solusi menghadapi fenomena tersebut. Potensi laut menyerap CO2 dapat lebih tinggi dibanding hutan di darat. “Ternyata laut berkontribusi bukan main,” sambungnya.

Freddy memaparkan, laut menyerap CO2 dari atmosfer dalam jumlah yang sangat besar sekitar 245,6 juta ton per tahun atau seperempat CO2 yang dihasilkan pembakaran bahan bakar fosil, kemudian disimpan di laut. Bahkan, laut Indonesia dengan terumbu karang mencapai 75.000 kilometer serta 6,7 juta hektare kawasan konservasi laut berkontribusi menyerap 43,6% karbon dioksida (CO2) dunia. Di beberapa bagian laut, CO2 yang tersimpan hingga berabad-abad berperan sangat besar mengurangi pemanasan global.

Kemampuan laut menyerap CO2 akan berkurang jika ekosistem laut semakin mengalami kerusakan. Indonesia yang memiliki wilayah lautan 70% dari total wilayahnya tentunya memiliki kandungan biomassa yang jauh lebih banyak. Kekayaan ekosistem laut Indonesia berprospek sebagai alternatif menekan pemanasan global dan perubahan iklim di masa mendatang, meskipun sampai sekarang belum mendapatkan perhatian khusus.

Jadi, gejala pemanasan global dan perubahan iklim diperlambat melalui konservasi di bidang kelautan. Selama ini pun, konservasi ditumpukan pada bidang energi dan kehutanan, sementara konservasi bidang kelautan masih terabaikan. Padahal, selama tahun 2007 hingga 2010 tersedia dana global environmental facility US$ 1 miliar, tetapi peruntukannya tidak signifikan dengan konservasi di bidang kelautan.

Bagi Indonesia, program kawasan konservasi laut (marine conservation area) di masa mendatang akan berdampak pada kelestarian ekosistem laut khususnya ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir yang dibentuk tiga ekosistem utama, yaitu ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun merupakan habitat ikan dan sumber kehidupan masyarakat pesisir, serta pelindung pantai sebagai filter alami selain berbagai manfaat lainnya.

Karenanya, Indonesia menargetkan perluasan kawasan konservasi laut dengan menetapkan 20 juta hektar tahun 2020. Indonesia telah mengonservasi kawasan laut seluas 6,7 hektar (ha), kemudian ditingkatkan menjadi 10 juta ha (2010), dan 20 juta ha (2020). Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki kepentingan untuk menyelamatkan sumber daya pesisir itu secara berkelanjutan dari ancaman pemanasan global dan perubahan iklim.

Kawasan konservasi laut adalah wilayah perairan laut termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup tumbuhan dan hewan didalamnya, serta/atau termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial-budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain, baik melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut. Kawasan konservasi laut meliputi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Daerah Perlindungan Laut (DPL)/Daerah Perlindungan Mangrove (DPM), Suaka Perikanan (SP).

Pada konteks pelestarian dimaksud, DKP menargetkan 10% dari ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut tahun 2010. Salah satu program yang mengemban pencapaian dimaksud adalah Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang yang menetapkan marine management area (MMA) dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) di setiap kabupaten/kota.

Ekosistem terumbu karang di wilayah Indonesia saling berhubungan dengan wilayah lainnya juga berhubungan dengan ekosistem terumbu karang di negara lain yang dikenal sebagai interconectivity ecosystem dalam satu ekosistem laut besar (large marine ecosystem). Wilayah terumbu karang di Indonesia mencakupi sebagian kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) yang terbentang dari Malaysia, Philipina, Papua Nugini, Kepulauan Salomon, dan Timor Leste seluas 75 ribu kilometer persegi.

Menurut Freddy, Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mengajukan konsep konservasi terumbu karang sebagai “hutan amazon” bawah laut ke dalam forum Coral Triangle Initiative (CTI) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-15 Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Sydney, Australia, 8-9 September 2007. Salah satu usulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yakni pembentukan Inisiatif Segitiga Terumbu Karang atau Coral Triangle Initiative on Coral Reefs termasuk dalam Deklarasi APEC 2007 oleh Perdana Menteri (PM) Australia John Howard di Bennelobng Lawn, Government House.

Draft rencana aksi CTI disampaikan pula saat Senior Official Meeting (SOM) of Coral Triangle Inisiative (CTI) di Denpasar, Bali, 6-7 Desember 2007. Salah satu Roadmap SOM of CTI adalah merekomendasikan pengesahan rencana aksi itu diikuti pencanangan dimulainya implementasi rencana aksi oleh seluruh negara anggota yang tergabung dalam Coral Triangle/CT-6, antara lain Indonesia, Malaysia, Philipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste ketika World Ocean Conference (WOC) di Manado, Sulawesi Utara, Mei 2009. Mematangkan rencana aksi tersebut, Mei 2008 akan dilaksanakan SOM CTI kedua di Philipina.

Isu penyelamatan terumbu karang melengkapi isu utama Pertemuan Para Pihak (COP/Conference of Parties) 13 dari UNFCCC (United Nations Framework Conventions on Climate Change/Kerangka Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim) di Nusa Dua, Bali, 3-14 Desember 2007, yaitu masalah energi dan konservasi hutan.

Freddy mengatakan, kerjasama enam negara yang tergabung dalam Coral Triangle/CT-6 sangat diapresiasi dunia untuk menyelamatkan bumi. Diharapkan, WOC merekomendasikan rencana aksi CTI menjadi kesepakatan bersama kepala-kepala negara dari enam negara yang tergabung dalam CT-6, ditambah Amerika Serikat (AS) dan Australia yang belakang sangat mendukungnya. Selanjutnya, rencana aksi CTI bisa diadopsi untuk selanjutnya disosialisasikan dalam rangka memobilisasi dana menyelamatkan terumbu karang di kawasan segitiga itu yang memiliki keanekaragaman terbesar dunia.

Menurutnya, langkah CT-6 seharusnya diapresiasi dunia karena yang dilakukan dalam rangka menyelamatkan bumi. Kalau Indonesia bersama negara-negara lain di dunia mengembangkan kerjasama antarkawasan konservasi laut maka bumi akan diselamatkan melalui laut. Indonesia menyerukan negara-negara di dunia membentuk kesepakatan untuk mengambil terobosan baru menyelamatkan kawasan konservasi laut di seluruh belahan dunia. “Kita mendorong agar seluruh dunia mempunyai pemahaman yang sama.”

Dihimbau, setelah negara-negara kepulauan di Pasifik, negara-negara kepulauan di Hindia dan Karibia mengikuti langkah serupa, sehingga seluruh negara-negara kepulauan yang memiliki terumbu karang bersama-sama menyelamatkan bumi secara menyeluruh. “Jadi, akan lahirlah kesepakatan bersama untuk menyelamatkan kawasan laut,” ujar Freddy.

Pasca-WOC, diharapkan terwujud langkah-langkah bersama untuk menyelamatkan kawasan-kawasan lain di dunia. “Pada akhirnya, seluruh dunia berkomitmen bersama menyelamatkan bumi melalui laut,” terangnya.

Meskipun begitu, Freddy mengakui, selama ini perhatian dunia terhadap kawasan laut masih serba kurang sebelum FAO (Food Agriculture Organization) memacu kegiatan perikanan budidaya dengan membentuk branch office Departement of Fisheries and Aquaculture tahun 2007 di Markas FAO, Roma, Italia. Melalui Direktur Jenderal FAO Jacques Diouf, ia mengaku kerap mempertanyakan langkah-langkah badan pangan dunia itu untuk menyelamatkan bumi melalui laut. “Ternyata belum ada inisiatif, kecuali pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Penanganan lain masih parsial,” jelasnya.

Karena itulah, Indonesia berkepentingan untuk mendorong CTI memperoleh bantuan lembaga keuangan dunia seperti World Bank (WB) dan Asian Developement Bank (ADB) dari semula pinjaman atau hibah menjadi bantuan untuk kawasan konservasi laut. Dukungan badan-badan multilateral dan lembaga-lembaga internasional juga diharapkan seperti United Nations Environmental Program (UNEP), UN-Habitat, International Sea Bed Authority (ISBA), Global Forum on Ocean, Coast and Island, Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), International Ocean Institute (IOI), Global Environmental Facility-World Bank, World Wildlife Funds (WWF), The Nature Conservancy (TNC), Conservation International (CI).

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan ini, ke depan seluruh sektor yang berkiprah di wilayah pesisir harus mengadopsi pendekatan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management/ICM) yang memberikan rambu-rambu normatif pemanfaatan sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Kehadiran Undang-Undang Kelautan sebelum tahun 2009 akan memberikan landasan integrated ocean policy yang berfungsi sebagai umbrella bagi ocean affairs serta mengatur tata kelola laut atau ocean governance.

Pengaturan dan kebijakan, baik di bidang kelautan maupun kemaritiman, saat ini masih sektoral yang tersebar antara lain di Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, dan Departemen Perdagangan. Ditambah lagi, otonomi daerah di seluruh tingkat pemerintahan, baik pusat, provinsi, kota maupun kabupaten, berandil dalam pengelolaan kelautan.

Sebagaimana Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang direvisi UU 32/2004, kewenangan pengelolaan terumbu karang telah didesentralisasikan ke pemerintah kabupaten/kota. Terkadang, pemanfaatan sesaat mendorong kerusakan terumbu karang sehingga percepatan degradasinya semakin membesar. Kerusakan terumbu karang telah mengkhawatirkan antara lain disebabkan eksploitasi berlebihan, penambangan pasir, penambangan karang, dan perikanan destruktif (destructive fishing).

Setelah 60 tahun merdeka, Indonesia ternyata belum memiliki integrated ocean policy. “Ironis, sebagai negara kepulauan kita tidak concern membuat integrated ocean policy.” Seharusnya, setelah Deklarasi Juanda tahun 1957 tentang Konsepsi Negara Kepulauan mendorong bangsa Indonesia mengembangkan dan menanamkan kesadaran Wawasan Nusantara diikuti dengan terobosan baru meskipun otonomi daerah telah diberlakukan.

Di sinilah diperlukan integrated ocean policy yang berfungsi sebagai umbrella bagi ocean affairs tanpa mengurangi keberadaan undang-undang sektoral yang tersebar. “Anaknya sudah lahir duluan, ibunya baru lahir belakangan.” Lanjutnya, “Tentu kita kesulitan mencari bentuk yang pas, tetapi melalui kajian akademis akan bisa.”

Begitu pentingnya arti laut bagi kehidupan manusia. Gejala tersebut jangan sampai secara gradual atau drastis sehingga ekosistem laut tidak berkemampuan untuk berevolusi atau menyesuaikan diri dengan perubahan yang baru. Maka, kewajiban manusia untuk menjaganya. Jika terumbu karang, hutan bakau, dan padang lamun telah rusak maka merehabilitasinya memerlukan waktu sangat lama dan biaya tidak sedikit.

Sarwono menyayangkan masih terjadi perbedaan persepsi kewenangan di laut antar departemen/instansi di pusat maupun antara departemen/instansi pusat dengan daerah. Akibatnya, pengawasan kegiatan di laut tidak berjalan semestinya. Padahal, kegiatan di laut tidak hanya di perikanan tetapi juga seperti penyeludupan dan perdagangan manusia serta pembuangan sampah. “Sejauh mana kemajuan integrasi sistem ini,” tanyanya kepada Freddy selaku Ketua Dewan Kelautan Indonesia (DKI), dulunya disebut Dewan Maritim Indonesia (DMI).

Kegiatan tersebut membutuhkan pengawasan melalui sistem Monitoring Control, and Surveillance (MCS) yang didefinisikan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries untuk dilakukan seluruh instansi pemerintah secara bersama-sama. “Dahulu DKP sudah mendahului, tetapi orang (instansi) lain nggak mau.”

Ruang lingkup sistem MCS dapat digambarkan sebagai berikut. Aspek monitoring atau pemantauan mencakup kegiatan dan analisis data untuk menilai kelimpahan (abundance) dan tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan. Aspek control atau pengamatan lapangan dimaksud sebagai mekanisme pengaturan yang antara lain mencakup penyusunan/pemberlakuan peraturan dan perundang-undangan perizinan, pembatasan jumlah dan jenis kapal penangkap dan alat tangkap, zonasi penangkapan musim penangkapan, dan lain-lain. Sedangkan aspek surveillance atau pengawasan diartikan sebagai kegiatan operasional dalam rangka menjamin ditaatinya peraturan- peraturan yang telah ditetapkan dalam pengendalian.

Luther Kombong (anggota DPD asal Kalimantan Timur) mendukung rencana DKP untuk memperluas kawasan konservasi laut. Hanya saja, ia meragukan kesuksesan program tersebut mengingat beberapa bagian kawasan konservasi laut seperti terumbu karang merupakan kewenangan Departemen Kehutanan (Dephut). Beberapa taman wisata laut dan cagar alam laut ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) dan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Sumber : Siaran Pers Bagian Hubungan Antar-Lembaga dan Pemberitaan Sekretariat Jenderal DPD RI.

19 Januari 2008

Mendesak penyelamatan mangrove Jawa Timur

Tanggal : 19 January 2008
Sumber : http://www.ecoton.or.id/tulisanlengkap.php?id=1886


Banyak kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa mangrove memiliki peran penting dalam menunjang kualitas dan keberlangsungan kehidupan di wilayah pesisir sekaligus menjaga sumber perikanan.


Mangrove atau hutan bakau banyak dijumpai di sepanjang pantai utara Jawa Timur. Hutan ini dicirikan dengan kemampuan hidup pada daerah yang tergenang pasang surut. Di sepanjang Pantura Jatim mangrove mudah dijumpai pada daerah Paiton, Pemandangan laut Bentar Kecamatan Gending Probolinggo, di kawasan Oso Wilangun atau di wilayah Romo Kali Sari. Perbedaan penetapan peruntukkan wilayah pesisir membawa dampak buruk terhadap keberadaan Mangrove.


Di Sidoarjo keberadaan mangrove dilindungi Perda 17 Tahun 2003 tentang kawasan lindung yang menetapkan sepanjang 400 meter pada daerah pasang surut merupakan kawasan lindung, untuk lebih melindungi mangrove dalam Perda ini juga diatur tentang sanksi Rp 5 juta bagi penebangan mangrove pada kawasan lindung, dengan kebijakan ini mangrove di Sidoarjo dapat dikatakan relatif terlindungi, hal ini berbeda dengan hutan mangrove di wilayah Kota Surabaya yang sebagian besar diubah menjadi kawasan pengembangan real estate dan budidaya perikanan payau di pesisir timur serta pengembangan kawasan industri dan pergudangan untuk Kawasan Surabaya Utara.


Dalam mengendalikan perambahan hutan dan konversi mangrove menjadi kawasan budidaya tambak air payau, Pemerintah Kota Surabaya Melalui Dinas Perikanan, Kelautan, Peternakan, Pertanian, dan Kehutanan Kota Surabaya sebagai instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan Kawasan Pesisir Timur Surabaya mengaku kesulitan karena belum adanya sosialisasi Peruntukan kawasan Pesisir Surabaya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya. Bahkan untuk wilayah Gresik sebagian besar mangrovenya telah direklamasi menjadi kawasan pergudangan dan industri.


Perbedaan peruntukkan di ketiga wilayah kabupaten/kota membawa dampak buruk terhadap kualitas lingkungan pesisir karena sebenarnya ketiga wilayah ini merupakan satu kesatuan wilayah yang memiliki satu fungsi ekosistem yang mendukung kualitas perairan di utara Jawa Timur sehingga peruntukkan dan pemanfaatannya tidak dapat dipisahkan menurut daerah administrasi, ditambah lagi tidak ada instansi atau dinas di lingkungan pemerintah kota/kabupaten yang berwenang terhadap pengelolaan kawasan mangrove sehingga mengakibatkan lepasnya pengawasan apabila terjadi perambahan kayu mangrove.


Banyak kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa mangrove memiliki peran penting dalam menunjang kualitas dan keberlangsungan kehidupan di wilayah pesisir sekaligus menjaga sumber perikanan.


Dari kajian yang dilakukan oleh Ecoton di sepanjang Jawa Timur masih terdapat 25 jenis vegetasi mangrove dari 12 famili keberdaan mangrove di Jatim didominasi pohon api-api (Familia Avicenniaceae), pohon bakau (Familia Rhizophoraceae), dan pohon bogem (Familia Sonneratiaceae) Ekosistem mangrove di Pantura Jatim memiliki 4 fungsi spesifik yang dapat mempengaruhi kualitas perairan pesisir yaitu :


Mangrove mensuplai nutrisi bagi peraian di sekitarnya. Dalam kajian yang dilakukan Ecoton tercatat lebih 7 ton/ha/tahun serasah (daun kering) diproduksi ekosistem mangrove di pesisir Surabaya. Hasil ini setara dengan produktivitas ekosistem mangrove umumnya yang tersebar dari daerah tropis sampai subtropis. Serasah mangrove memainkan peranan penting dalam proses ini karena serasah mengandung 40 persen senyawa larut dalam air yang diubah menjadi biomassa bakteri kurang dari delapan jam setelah gugur ke perairan mangrove. .


Hal ini membuat kawasan mangrove sering dikunjungi beragam satwa untuk mendapatkan nutrisi. Sekitar 90 persen dari jumlah ikan yang ditangkap dalam jarak 10 km dari pantai di Jawa dan Bali mengandung fragmen mangrove dalam ususnya.


Mangrove sebagai habitat burung air. Sebagai ekosistem yang subur dan kaya akan nutrisi membuat kawasan ini ramai dikunjungi beragam satwa seperti burung, bahkan pada musim barat (Oktober-Desember ) tercatat lebih 5.000-20.000 populasi burung yang menjadikan kawasan utara Jatim sebagai daerah mencari makan dan berkembang biak dari jenis kuntul (Ardeideae), pecuk (Phalacrocorax), kowak sampai tahun 2003 tercatat 43 burung air mengandalkan mangrove sebagai ekosistem yang menunjang kelestarian mereka.


Kawasan Pesisir Utara Jatim termasuk dalam satu kesatuan wilayah Pantura Jawa yang menjadi kawasan transit bagi burung-burung yang melakukan migrasi dari belahan bumi utara menuju bumi selatan untuk menghindari musim dingin. Tercatat lebih dari 43 jenis burung air dan 25 jenis burung migran. Bahkan di Daerah Curah Sawo Kecamatan Gending Probolinggo dan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik, pemilik tambak mendapatkan penghasilan tambahan dari telur-telur burung yang bersarang di atas mangrove di areal tambak mereka.


Mangrove berperan penting dalam siklus hidup biota yang bernilai ekonomis seperti kepiting, udang, bandeng dan ikan laut lainnya, karena pada masa bertelur dan memijahkan anaknya sebagian besar biota-biota itu bersiklus di kawasan pesisir yang bermangrove, baru setelah mereka dewasa akan kembali ke laut lepas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tingginya populasi zooplankton (mata rantai penting dalam jaring-jaring makanan. Keberadaannya dapat menghubungkan antara produsen I dengan konsumen I) organisme ini sebagian besar akan tumbuh dewasa menjadi jenis ikan, udang, kepiting dan kerang.


Mangrove sebagai akumulator logam berat pencemar, mangrove memiliki mekanisme organ untuk melakukan resistensi terhadap kandungan logam berat dalam jaringannya, sehingga mangrove memiliki kemampuan luar biasa dalam menyerap logam berat yang mencemari lingkungan dan menyimpannya dalam jaringan daun, akar dan batang menjadikan logam berat berbahaya secara kimia akan mengalami inaktivisi, sehingga keberadaan mangrove di perairan pesisir utara Jatim dapat berperan menyaring dan mereduksi tingkat pencemaran logan berat di perairan laut.


Kawasan rawa payau Everglades California yang ditumbuhi mangrove difungsikan sebagai filter aliran air dari kawasan industri di California, sebelum mencapai laut air limbah terlebih dahulu disaring mangrove, meskipun California merupakan kawasan industri besar di Amerika namun kandungan logam berat beracun seperti Tembaga, Kadmium diperairan pantai Califormia masih dibawah standar.


Selain empat fungsi spesifik mangrove secara umum juga memiliki peran dalam mengurangi abrasi atau erosi pantai, berfungsi sebagai filtrasi air laut sehingga dapat menghambat laju intrusi air laut, barrier bagi daratan terhadap angin laut, pengendali bagi vektor Malaria . Mengingat besarnya potensi dan ancaman terhadap kelestarian fungsi ekosistem mangrove, Pemprov Jatim harus mengambil dua langkah startegis yaitu, Pertama Eksplorasi potensi dan daya dukung ekosistem pesisir khususnya ekosistem mangrove di Pantura Jatim mengingat pentingnya peran ekosistem ini dalam mendukung budidaya perairan payau dan menunjang kualitas lingkungan estuari (kawasan yang terpengaruh oleh sungai dan laut).


Kedua Pemerintah provinsi harus mengambil peran dominan dalam penyelamatan kawasan pesisir dengan menetapkan Tata Ruang dan Peruntukkan Pesisir Regional Jawa Timur. Hal ini mendesak dilakukan karena saat ini setiap daerah kabupaten/kota cenderung memanfaatkan kawasan pesisir hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah.

15 Januari 2008

Pasang Air Laut Makin Meninggi : Memuncak Sampai Juni

Tanggal : 15 Januari 2008
Sumber : http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/13141/297/


PAKAR Rekayasa Pesisir Dr Subandono Diposaptono menyatakan, pasang muka air laut akan mencapai puncaknya pada Juni 2008 akibat fenomena "perigee" atau jarak terdekat bulan-matahari.


"Revolusi benda langit itu bentuknya elips, ada saat jarak terdekat, ada saat jarak terjauh. Muka air pasang tinggi tertinggi ini berulang hanya 18,6 tahun sekali, dan Juni 2008 adalah puncaknya," kata Kasubdit Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan DKP itu, di Jakarta, Senin (14/1).


Sekarang, urainya, bumi dalam periode menuju puncak pasang tinggi tertinggi (highest high water level) itu, sehingga wajar jika pasang-pasang yang terjadi setiap bulan akhir-akhir ini juga sangat maksimal.


Itulah mengapa sejak tahun terakhir pasang laut (rob) mulai menjadi fenomena di pesisir Indonesia. Fenomena ini akan mulai menurun setelah Juni 2008, dan akan berulang lagi pada 2027 di mana Januari menjadi puncaknya, tambahnya.


"Karena itu tanggal 21-22 Januari ini ketika purnama, kondisi pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera dan lain-lain perlu diwaspadai lagi akan digenangi rob," katanya.


Pasang maksimal akan diperparah jika dibarengi kejadian lain seperti pembentukan siklon, hingga adanya alun (swell). Pembentukan siklon, ujarnya, akibat perbedaan tekanan udara yang kontras dan membuat massa udara bergerak membentuk pusaran di pusat tekanan rendah, di mana setiap 10 milibar penurunan tekanan udara menyebabkan kenaikan muka air laut sekitar 10 centimeter.


Sedangkan swell dibangkitkan oleh angin yang terjadi akibat depresi tekanan lintang menengah di selatan samudera Hindia dan menjalar ke pantai, tanpa halangan antara selatan Afrika dan barat daya Australia dan juga di pesisir yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik dan bisa membuat gelombang berketinggian lima meter.


Sementara itu, Peneliti dari Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN Dr Thomas Djamaluddin mengatakan, siklus pasang bulan-matahari pada Juni 2008 kira-kira akan sama kejadiannya dengan 18,6 tahun lalu dan tidak ada keistimewaannya. "Potensi rob Juni itu biasa saja, kecuali ada faktor cuaca ekstrem seperti Mei tahun lalu," katanya.


Menurut dia, rob maksimum dari efek bulan-matahari justru terjadi pada Desember-Februari akibat efek cuaca yang memperkuat. "Pasang maksimum berpotensi terjadi sekitar 19 Januari dan 18 Februari. Ini perlu diwaspadai kalau faktor cuaca memperparahnya dan menyebabkan gelombang besar," katanya


Ombak 4 Meter


Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mengingatkan masyarakat pelayaran, untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya gelombang laut atau ombak yang cukup tinggi sampai empat meter hingga tiga hari kedepan.


"Perairan Indonesia gelombangnya cukup tinggi. Karena itu, perahu-perahu kecil hingga sedang harus waspada hingga tiga hari ke depan," kata prakirawan BMG Maritim Tanjung Perak Surabaya, Supeno, di Surabaya, Senin.


Berdasarkan pantauan BMG, gelombang laut yang cukup tinggi berada di perairan Samudera Indonesia (1,5-5 meter), Bawean-Masalembu (1,5-3,5 meter), Laut Jawa (0,5-3,5 meter), Selat Lombok (1,3-3,5 meter), dan Bawean (0,8-3 meter).


Tingginya gelombang itu, katanya, karena angin barat bertiup cukup kencang. Angin tersebut terjadi akibat munculnya bibit badai berupa pusat tekanan rendah yang ada di selatan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan di Laut Cina Selatan. Karena itu, kapal-kapal berukuran kecil hingga sedang, harus waspada. Jika dinilai membahayakan, sebaiknya tidak berlayar dulu.


"Dengan konsisi ini, kapal-kapal penumpang dari Kalimantan menuju Surabaya atau Semarang dan ke wilayah Papua atau Maluku cukup beresiko, karena mereka harus melewati Laut Jawa dan Laut Arafuru yang ombaknya lumayan tinggi," katanya menambahkan.

14 Januari 2008

6 Perusahaan Buang Limbah ke Teluk Jakarta

Tanggal : 14 Januari 2008
Sumber : http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/news/artikel.php?aid=24126


Prakarsa Rakyat,
JAKARTA (Media): Sebanyak enam perusahaan di pesisir pantai diduga membuang limbah di perairan Teluk Jakarta sehingga kawasan itu tercemar.

Kepala Program Pesisir dan Laut Walhi Jakarta Dedy Ramanta mengungkapkan hal itu, kemarin. "Temuan ini merupakan hasil penelitian kami di kawasan pesisir pantai Jakarta Utara," ujarnya.

Keenam perusahaan yang dituduh membuang limbah ke perairan Teluk Jakarta ialah PT BFM di Lagoa, PLTU di Marunda, PT AFG di Ancol, PT KBN di Cakung dan Marunda, PT Pol di Kalibaru, dan Per di Lagoa.

Walhi mengawali penelitian dengan mengumpulkan air laut yang tercemar dan mendapatkan limbah berwujud cair berwarna hitam pekat. Setelah ditelusuri, diketahui limbah tersebut dibuang ke Teluk Jakarta dengan menggunakan kapal tongkang maupun angkutan sejenis.

Investigasi yang dilakukan Walhi Jakarta sudah berjalan tiga bulan dan sedang dalam tahap akhir pengumpulan bukti-bukti. Dari uji tingkat pencemaran yang dilakukan para peneliti Walhi Jakarta, terbukti pencemaran di perairan tersebut sudah dalam taraf serius. Setidaknya terlihat dari matinya ribuan kerang hijau. "Kerang hijau bersifat menyerap racun. Namun karena taraf pencemarannya sangat serius, kerang-kerang itu pun mati," imbuhnya.

Sebenarnya, menurut Dedy, pihak yang membuang limbah ke Teluk Jakarta lebih dari enam perusahaan. Saat ini pihaknya sedang menelusuri perusahaan-perusahaan di luar yang enam itu karena mereka membuang limbah ke 13 hulu sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta.

Sejauh ini Walhi Jakarta masih mengumpulkan bukti-bukti di lapangan. "Sampel limbah mereka belum kami periksakan ke laboratorium. Setelah seluruh bukti terkumpul, segera kami kirim untuk diperiksa," tambahnya.

Untuk meminimalkan tingkat pencemaran di perairan Teluk Jakarta, menurut Kepala Divisi Riset dan Analisis Kebijakan Publik Walhi Jakarta M Hasbi Azis, pemerintah sebaiknya segera merelokasi pabrik dan industri berat yang masih beroperasi di wilayah Jakut.

Keberadaan sejumlah pabrik dan industri berat di tengah permukiman padat penduduk tidak tepat lagi. "Dampak pencemaran terhadap warga di sekitar pabrik juga akan menjadi masalah yang serius," ucapnya.

Pasalnya, kata Hasbi, bentuk pencemaran bukan hanya pembuangan limbah cair, melainkan juga polusi udara karena asap pembakaran dan debu. Seperti debu yang dihasilkan PT BFM, lanjutnya, berdampak buruk pada kesehatan warga Kalibaru dan Lagoa.

12 Januari 2008

Pemasan Global, Kegagalan sistem ekonomi

Tanggal : 12 Januari 2008
Sumber : http://www.tribun-timur.com/view.php?id=59526&jenis=Opini


ISU global warming atau pemanasan global mulai merebak dan menjadi perbincangan elite politik dunia. Sementara rakyat telah merasakan dampaknya.

Jumlah rakyat yang terserang penyakit dan meninggal dunia karena dampak pemanasan global ini presentasenya semakin meningkat. Yang lebih memiriskan, elite politik baru melaksanakan konsesus setelah banyak rakyat yang menderita.

Permukaan air laut Indonesia diprediksikan akan naik 0,8 cm per tahun dan akan menenggelamkan pulau-pulau kecil sampai setinggi satu meter dalam 15 tahun ke depan (eramuslim.com).

Wilayah pesisir Pulau Jawa juga diprediksi juga terancam tenggelam. Pasalnya pertengahan Mei 2007 terjadi gelombang pasang. Dengan kata lain, peluang bencana alam banjir semakin besar. Banjir menjadi masalah warga Jakarta dan sekitarnya belakangan ini.

Kondisi cuaca ekstim menjadi peristiwa rutin. Badai tropis akan lebih sering terjadi dan semakin besar intensitasnya. Gelombang panas dan hujan lebat akan melanda sebagian wilayah kita serta risiko kebakaran hutan lebih tinggi. Wilayah darat akan menglami kekeringan yang berakhir dengan menurunnya produktivitas lahan.

Peningkatan suhu telah banyak menimbulkan wabah penyakit endemik "lama dan baru" seperti leptospiratos, demam berdarah, diare, dan malaria. Penyakit tersebut telah memakan korban.

Tingkat perkembangbiakan nyamuk, yang menjadi media penyebaran penyakit, meningkat karena perubahan curah hujan dan kelembapan. Siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa akan dipersingkat sehingga jumlah populasinya meningkat lebih cepat.

Saat ini, sekitar 270 juta penduduk dunia menderita malaria atau 42 persen penduduk bumi berisiko terkena malaria. Badan PBB yang menangani kesehatan, WHO, mencatat sekitar dua juta penduduk meninggal karena berbagai penyakit yang ditularkan nyamuk.

Hewan akan berimigrasi ke daerah kutub atau ke pegunungan. Tetapi proses perpindahan hewan tersebut akan mengalami gangguan karena jalan yang akan mereka tempuh telah menjadi kawasan pembangunan. Diramalkan spesies hewan tidak mampu bertambah cepat dan akhirnya akan musnah.

Tumbuhan juga akan mengalami hal yang sama. Kenaikan suhu sekitar 2,7 F akan menyebabkan sekitar 30 persen tumbuhan akan mati. Itulah sebgian kecil dampak global warming.


Global Warming

Global warming yang biasa disebut pemanasan global merupakan kondisi di mana meningkatnya temperature rata-rata atmosfir, laut, dan daratan. Global warming ini menimbulkan perubahan iklim.
Pemicu utama terjadinya pemanasan global adalah meningkatnya emisi karbon yang diawali dengan naiknya konsentrasi gas karbondioksida dan gas-gas lain ke atmosfir.

Kenaikan konsentrasi gas tersebut tidak terlepas dari kenaikan penggunaan bahan bakar atau energi fosil (bahan bakar minyak dan batu bara).


Berbicara tentang pemansan global seakan tidak berpengaruh dengan kehidupan sehari-hari kita. Tanpa kita sadari tenyata kita telah menjadi manusia yang serakah, yang selalu mementingkan kemewahan atau pola hidup konsumerisme.

Dengan bangga kita menggunakan barang elektronik, dengan sombong kita membuka lahan pertanian baru dengan menebang hutan, dengan gagah kita mendirikan bangunan pencakar langit. Kita tidak pernah memikirkan implikasi dari semua itu.

Delegasi dari 190 negara baru saja mengadakan perundingan untuk menekan laju perubahan iklim di Nusa Dua Bali, pertengahan Desember 2007.

Konfrensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim itu menyepakati beberapa hal. Perundingan yang memakan waktu dua minggu itu sangat alot akrena peserta dari Amerika Serikat pada hari terakhir perundingan baru menyetujui pengurangan emisi gas karbondioksida.

Amerika Serikat, sebagai negara maju, menghasilkan emisi karbon terbesar di dunia. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, satu orang warga AS menghasilkan efek emisi sebanding dengan 17 orang Maladewa, 19 orang India, 49 orang Srilanka, 107 orang Bangladesh, 134 orang Bhutan, dan 360 orang Nepal. Perbandingan tersebut memperlihatksan angka fantastis, AS jauh lebih cepat memanaskan bola bumi ini.


Sistem Ekonomi

Jauh sebelumnya Protokol Kyoto, dengan prinsip common but differentiated responsibilities yang merupakan prinsip tanggung jawab bersama tetapi beban berbeda. Protokol Kyoto mewajibkan negara-negara maju yang tergabung dalam Annex-1 mengurangi emisi gas rumah kaca rata-rata 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990 selama periode 2008-2012.

AS menolak Protokol Kyoto itu dan melahirkan mekanisme yang melibatkan negara berkembang dan memunculkan pengembangan proyek ramah lingkungan.

Dengan demikian, sama artinya negara berkembang membantu negara annex-1 memenuhi target penurunan emisi negaranya. Sebenarnya, toleransi kepada negara annex-1 pengkonsumsi enegi fosil terbanyak adalah penyebab gagalnya Protol Kyoto.

AS menjadi semakin tamak dan serakah sekadar untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan sistem ekonominya.

Sebuah sistem ekonomi yang telah menjelma jadi 'dewa' mereka. Sementara sudah cukup jelas salah satu dampak sistem ekonomi ini adalah global warming.

Idealnya, saat ini, dibutuhkan keberanian untuk mengkaji ulang sistem ekonomi pasar. Dengan anggapan bahwa mengubah sistem ekonomi dunia akan mengurangi emisi yang berakhir dengan menghambat global warming.

Pada awalnya, kapitalisme dianggap sebagai simbol kemajuan. Bagi kaum liberal, masyarakat kapitalis adalah orang-orang yang memiliki hak untuk hidup merdeka dan sejahtera. Mereka adalah orang-orang yang bebas bekerja dan bebas mengambil keputusan apapun. Dalam hal ini persaingan merupakan hal yang wajar.

Masyarakat kapitalis adalah masyarakat yang bebas dan produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan kedinamisan, kesempatan, dan kompetisi. Kepentingan dan keuntungan pribadi adalah motor yang mendorong masyarakat bergerak dinamis. Inilah yang kemudian menyebabkan ketidakadilan. Mereka akan menindas kelompok yang tidak memiliki modal.

Sistem ekonomi kapitalisme yang dianut negara maju saat ini mempercayai bahwa kesejahteraan dan kekayaan suatu negara ditentukan oleh banyaknya aset, modal, dan alat produksi. Hal inilah yang memicu sehingga terjadi imprealisme yang pada akhirnya membentuk ikatan superior dengan negara berkembang.

Selain itu, sistem ekonomi memicu perkembangan industrialilasi. Jika industrinya semakin pesat berarti nilai produksinya semakin tinggi disertai peningkatan input devisa.

Buruknya, bahan mentah dan tenaga kerja industri tersebut sebagian berasal dari negara berkembang yang dibeli dengan harga murah. Setelah diproduksi barang itu kembali dijual pada negara berkembang.

Kondisi ini akan berlangsung terus-menerus. Salah satu dampaknya yang telah dirasakan adalah global warming. Tingkat produksi negara maju berbanding lurus dengan peningkatan emisi. Penebangan hutan di negera berkembang sebagai bahan mentah sudah pasti meningkat. Pola hidup konsumerisme yang semakin menglobal. Keinginan untuk hidup mewah seakan menjadi barang utama.


Gaya Hidup

Menurut penulis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai langkah konkret untuk menghambat global warming, di antaranya, melalui revolusui gaya hidup, yaitu mengubah pola hidup konsumtif dengan pola hidup kesederhanaan berdasarkan ajaran agama. Perlu juga diterapkan revolusi keinginan menjadi kebetuhan dan yang utama adalah merevolusi sistem ekonomi yang ada saat ini.

Jika sistem ekonom yang diubah akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan. Sederhananya, walaupun masyarakat menginginkan mobil tetapi tidak ada pabrik mobil jadi kenginan tersebut tidak dapat tercapai. Penulis menitikberatkan mengubah sistem ekonomi karena telah cukup jelas bahwa global warming adalah bentuk kegagalan pasar.

11 Januari 2008

ARMATIM MENGGAGALKAN PEROMPAKAN DUA KAPAL CPO

Tanggal : 11 Januari 2008
Sumber : http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=52005


Metrotvnews.com, Surabaya: Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut Armatim menggagalkan perompakan dan pembajakan Kapal Makmur Abadi 1 dan Makmur Abadi 5 di perairan Sulawesi. Dalam operasi pembebasan tersebut, pasukan TNI AL menangkap tujuh perompak dan menyelamatkan 12 anak buah kapal yang sempat disandera.


Perompakan terjadi di sekitar Pulau Bilang-bilangan, Kalimantan Timur pada 21 Desember lalu. Saat itu, kapal tunda Makmur Abadi 1 sedang ditarik kapal tongkang Makmur Abadi 5. Para perompak menyergap kedua kapal tersebut dan menyandera 12 ABK-nya. Para perompak juga mengganti nama di lambung kapal menjadi Ocean Line 1 dan Ocean Line 2.


Menurut tersangka, kedua kapal yang dirompak membawa CPO senilai Rp 22,5 miliar. Jika mereka berhasil membajak, kedua kapal dan muatannya akan dibawa ke Malaysia.(DEN)


05 Januari 2008

Dampak Pemanasan Global pada Kehidupan

Tanggal : 5 Januari 2008
Sumber : http://www.tribun-timur.com/view.php?id=59866&jenis=Opini
Oleh : Saida, Staf pengajar Jurusan Budidaya Pertanian UMI dan Mahasiswa S3 Program PLS IPB-Bogor


Perubahan iklim merupakan topik yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Begitu pentingnya pemanasan global ini, para pakar dan pemimpin beberapa negara di dunia Desember 2007 lalu hadir dalam Conference of Parties (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Ke-13 di Bali.

Perubahan iklim mendapat perhatian besar karena mempunyai pengaruh pada sistem hidrologi di bumi, yang pada gilirannya berdampak pada struktur dan fungsi ekosistem alami dan kehidupan manusia.

Pemanasan Global
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur bumi yang berlangsung secara global dari tahun ke tahun.

Pemanasan global ini terjadi karena efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O), dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.

Berbagai literatur menjelaskan tentang adanya kenaikan temperatur global, termasuk Indonesia, yang terjadi pada kisaran 1,5-40 derajat C pada akhir abad 21.

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan biogeofisik seperti pelelehan gunung es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan curah hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya beberapa spesies flora dan fauna tertentu, serta terjadi migrasi fauna dan hama.

Dampak yang mudah terlihat adalah frekuensi dan skala banjir serta musim kering yang panjang, yang terjadi di banyak bagian dunia.

Beberapa tahun terakhir ini, terjadi perubahan iklim dan telah dirasakan berdampaknya pada pertanian, ketahanan pangan, kesehatan manusia, dan permukiman, termasuk sumber daya air dan keanekaragaman hayati.


Keanekaragaman Hayati
International Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi jika tidak ada upaya yang dilakukan secara global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, maka pada tahun 2100 suhu bumi akan meningkat hingga 5,8 derajat C. Dipastikan, sebagian besar ekosistem tidak mampu beradaptasi jika terjadi kenaikan suhu bumi secara global lebih dari dua derajat C dari kondisi yang biasa dialami, maka akan terjadi kepunahan banyak spesies.

Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman di antara mahluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya.

Mencakup keanekaragaman di dalam spesies dan ekosistem (UU No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan united nations convention on biological diversity).

Keanekaragaman hayati terdiri atas tanaman dan binatang yang memberi dasar bagi kehidupan. Beberapa di antaranya digunakan langsung oleh manusia untuk makanan, obat-obatan, pakaian, dan perumahan. Yang lain bermanfaat secara tidak langsung, misalnya binatang kecil dan bakteri di lapisan tanah membuat tanah subur.

Berdasarkan laporan IPCC, April 2007, bahwa kerentanan dan adaptasi akibat perubahan iklim telah menyebabkan sekitar 30 persen tumbuhan dan hewan akan meningkat risiko kepunahannya jika kenaikan temperatur global rata-rata di atas 1,5-2,5 derajat C.

Dampak perubahan iklim sudah terjadi, sekarang dan akan makin menjadi parah di masa yang akan datang. Mulai dari kebakaran hutan, pemutihan karang, gagal panen, dan punahnya beberapa spesies.

Tahun 2007 lalu menjadi tonggak peringatan bagi pemerintahan di seluruh dunia untuk membuat strategi baru untuk adaptasi atas dampak besar yang lain seperti badai, kekeringan, banjir dan naiknya permukaan air laut.

Setiap individu harus beradaptasi pada perubahan yang terjadi, sementara habitatnya akan terdegradasi dan yang tidak dapat beradaptasi akan punah.

Spesies yang tinggal di kutub, seperti penguin, anjing laut, dan beruang kutub, juga akan mengalami kepunahan, akibat mencairnya sejumlah gunung es di kutub.


Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim terhadap spesies sebagai komponen keanekaragaman hayati adalah berupa perubahan dalam kisaran penyebaran, meningkatnya tingkat kelangkaan, perubahan waktu reproduksi, dan perubahan dalam lamanya suatu musim tanam.

Jika dari sekarang tidak dilakukan upaya pencegahan, maka pada tahun 2100, dua pertiga dari species yang ada di bumi akan hilang.

Dengan memperhatikan kontribusi yang cukup besar dari perubahan iklim terhadap hilangnya keanekaragaman hayati, bahasan tentang tantangan pada keanekaragaman hayati akibat dari perubahan iklim menjadi sasaran ke tujuh dalam target keanekaragaman hayati 2010 yang dicanangkan konvensi keanekaragaman hayati untuk mengurangi laju kemerosotannya.

Indonesia sebagai salah satu negara equator, kepulauan, dan hutan tropis basah terbesar ketiga di dunia, dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, dan digolongkan sebagai megadiversity country.

Kupu-kupu saja terdiri atas 121 spesies dan menempati peringkat pertama di dunia. Sebanyak 12 persen dari mamalia dimiliki Indonesia. Ini merupakan peringkat kedua setelah Brazil. Sebanyak 17 persen dari jumlah burung di dunia ada di Indonesia. Untuk kekayaan reptilia dan primata masing-masing menempati peringkat keempat dan peringkat keenam.

Semua kekayaan tersebut berada dalam kawasan Indonesia yang hanya 1,5 persen dari luas dunia. Jika tantangan pada keanekaragaman hayati akibat perubahan iklim tidak diantisipasi dengan upaya-upaya yang memadai, keanekaragaman hayati Indonesia tersebut akan merosot atau bahkan punah dengan cepat.


Terumbu Karang
Pemanasan global juga membawa ancaman terhadap terumbu karang Indonesia, yang merupakan jantung kawasan segitiga karang dunia (heart of global coral triangle). Terumbu karang dunia dalam kondisi yang memprihatinkan.

Terumbu karang sangat sensitif terhadap panas. Kenaikan satu derajat C pada temperatur laut dapat mengakibatkan stres dan pemutihan (bleaching) terumbu karang yang akhirnya akan mati.
Pemutihan terumbu karang paling parah terjadi pada 1998. Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, dan Kepulauan Salomon, merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, khususnya terumbu karang.

Di Kepulauan Seribu, sekitar 95 persen terumbu karang yang berada hingga kedalaman 25 meter mengalami kematian akibat pemutihan karang (Reefs at Risk in Southeast Asia, WRI, 2002).

Pemanasan global dapat menyebabkan kepunahan dari sebagian besar ekosistem dunia yang amat berharga. Bahkan kehidupan liar yang ada di tempat-tempat konservasipun tidak bisa menghindari ancaman besar ini.

Beruang kutub semakin kehilangan habitatnya. Di Antartika, di mana suhu rata-rata telah meningkat sekita 4,5 derajat F dalam 50 tahun terakhir, gumpalan es sebesar pulau Rhode seberat 500 miliar ton terpisah dari es Larsen-B dan jatuh ke laut.

Laporan penelitian World Wildlife Fund (WWF), habitats at risk: Global warming and species loss in terrestrial ecosystems, ditemukan bahwa dengan beberapa asumsi mengenai pemanasan global di masa depan dan dampaknya terhadap beberapa tipe vegetasi utama, kepunahan spesies akan terjadi di kebanyakan ekoregion di bumi.

Laporan tersebut meneliti dampak perubahan iklim pada ekosistem teresterial yang diidentifikasikan WWF pada 200 tempat di mana terdapat keanekaragaman hayati bumi yang paling unik dan kaya.

Apabila tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer dalam 100 tahun mendatang meningkat dua kali lipat, maka lebih dari 80 persen dari ekoregion yang diteliti akan punah.