30 Juli 2008

Tanggal : 30 Juli 2008
Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2008/7/30/pembalakan-liar-rusakkan-2-4-juta-hektare-hutan


Bandarlampung, (ANTARA News) - Kerusakan hutan di Indonesia akibat "illegal logging" setiap tahunnya mencapai 1,6 juta hingga 2,4 juta hektare.

"Faktor yang memberi peluang illegal logging adalah peraturan perundang-undangan dan pengamanan hutan yang lemah, kekacauan politik, aspek partisipasi masyarakat di sekitar hutan lemah dan lain-lain," kata Rektor yang juga guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Kalimantan Timur, Prof Dr Ir Ariffien Bratawinata, M.Agr, di Natar, Kabupaten Lampung Selatan.

Menurutnya, kondisi hutan Indonesia sekarang telah mengalami degradasi yang tidak terkendali, areal hutan semakin rusak dan menyusut akibat konversi dan pengelolaan yang sembarangan.

"Degradasi yang paling dominan diakibatkan oleh kebakaran hutan, illegal logging dan konversi hutan," kata dia.

Kebakaran hutan berdampak sangat besar terhadap keanekaragaman hayati.

Ia mencontohkan kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada 1982-1983 mencapai 3,2 juta ha dan pengulangan kembali tahun 1993-2001 mencapai 1,087 juta ha.

Sementara konversi hutan dari hutan alam menjadi hutan perkebunan dan pertambangan pun dari waktu ke waktu semakin bertambah.

"Lebih ironis lagi, banyak kawasan hutan lindung yang dijadikan daerah pertambangan. Padahal secara aturan, hutan lindung tidak boleh diusik sebab fungsinya untuk mencegah erosi, longsor dan banjir," jelas dia.

Ia lebih lanjut mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati, yang jumlahnya mencapai 1,3 persen dari total luas daratan di dunia.

Indonesia mempunyai 10 persen dari total luas hutan dunia dengan kekayaan jenis yang sangat besar.

Selain itu terdapat pula 37.000 jenis tumbuh-tumbuhan dimana 400 jenis diantaranya merupakan jenis yang bernilai ekonomi tinggi.(*)

Wilayah Pesisir Pantura Perlu Dimitigasi

Tanggal : 30 Juli 2008
Sumber :
http://www.suaramerdeka.com/beta1/index.php?fuseaction=news.detailNews&id_news=10736


Pekalongan, CyberNews. Sebagai wujud kepedulian akademisi terhadap bencana di pesisir pantura, Universitas Pekalongan (Unikal) bekerjasama dengan Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan mengadakan Seminar Nasional bertajuk "Strategi Mitigasi Bencana Alam Pesisir di Wilayah Pantura Jawa-Tengah".

Kegiatan itu akan diselenggarakan di gedung Rektorat lantai 3 Unikal, Jl Sriwijaya No 3 Pekalongan, Sabtu (2/8). Menurut Ketua pelaksana seminar, Muhamad Agus, MSi, kegiatan itu digelar untuk menyebarluaskan tentang mitigasi atau tindakan preventif guna meminimalisasi dampak negatif bencana alam di wilayah pesisir.

Kemudian, mendekatkan perguruan tinggi, pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan strategi pencegahan bencana alam di wilayah pesisir. ''Di samping itu dapt menghasilkan langkah tepat dalam pencegahan bencana di wilayah itu,'' tandasnya.

Ditambahkan, seminar tersebut akan mendatangkan sejumlah Narasumber dari Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan. Antara lain Ir M Syamsul Maarif, Dr Subandono Diposaptono, dan Frista Yorhanita MSi. Narasumber lainnya yakni perwakilan OISCA, sebuah LSM dari Jepang, Mr Yoshinaga, dan dosen Unikal Ir Hadi Pranggono serta Muhamad Agus.

Mengapa seminar mengambil topik seperti itu? Agus menuturkan, gelombang pasang tinggi, erosi pantai, banjir, dan kenaikan permukaan air laut, merupakan fenomena bencana yang terjadi di pesisir. Akibat dari bencana tersebut, bisa mengakibatkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, dan lain-lain. ''Cara yang paling mudah menghindari bencana di wilayah pesisir adalah tidak tinggal di sekitar pantai,'' tandasnya.

Namun kenyataannya, masih banyak masyarakat yang tetap memilih tinggal di kawasan tersebut. Meskipun mereka tahu kalau tempat tinggalnya rentan terhadap bencana. Agar mereka tidak was-was tinggal di kawasan tersebut, maka perlu ''sentuhan tangan'' dari pemerintah sehingga bencana alam itu tidak terjadi.

Menurutnya, sentuhan tangan yang harus dilakukan dengan melakukan Mitigasi. Selain meminimalisir terjadinya bencana, Mitigasi merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat. ''Dalam seminar nanti, akan dibahas tentang strategi khusus dalam melakukan pencegahan bencana alam tersebut,'' katanya.

Pulau Lebutan Terancam Hilang Akibat Penambangan Pasir Ilegal

Tanggal : 30 Juli 2008
Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2008/7/25/pulau-lebutan-terancam-hilang-akibat-penambangan-pasir-ilegal


Jakarta (ANTARA News) - Pulau Lebutan di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, terancam hilang akibat penambangan pasir pantai yang dilakukan masyarakat sekitar pulau secara ilegal sejak lima tahun lalu.

"Penambangan pasir pantai di pulau kecil tersebut dilakukan setiap hari. Perkiraan kita dari hasil temuan sebelumnya sekitar lima ton pasir per hari ditambang," kata PegawaI Penyidik Negeri Sipil (PPNS) Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Muna, Paliawaluddin, saat dihubungi ANTARA di Muna, Sulawesi Tenggara, Jumat.

Dia mengatakan penambangan pasir pantai yang dilakukan di pulau dengan luas lebih dari 70.000 meter persegi (m2) sejak lima tahun lalu telah menghilangkan sekitar 20.000 m2 pulau. Kerusakan dari bibir pantai mencapai lima hingga 10 meter.

Menurut dia, pasir pantai yang ditambang tersebut kebanyakan dijual di wilayah Kabupaten Muna dan dibeli oleh para kontraktor untuk kebutuhan proyek dan sebagian untuk kebutuhan pengbangunan rumah masyarakat.

"Jadi informasi yang kami dapat, di Kabupaten Muna tak ada satu pun penambangan pasir yang memiliki ijin, sementara penambangan terjadi sejak lama," ujar dia.

Yang lebih parah lagi penambangan pasir pantai yang merusak lingkungan tersebut memasukannya pada pos pendapatan barang tambang golongan C, padahal penambangannya sendiri tidak dilarang, ujar dia.

"Sewaktu kita lakukan operasi dua bulan lalu, sekitar 10 kapal yang menambang pasir di sana menjual ke penampung di Raha dengan harga Rp20.000 per kubik. Berdasarkan laporan masyarakat kurang lebih lima kapal setiap hari mengangkut pasir dari pulau tersebut," katanya.

Sementara itu, menurut Kepala Satuan Kerja (Satker) Pengawasan dan Perlindungan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Kendari, Mukhtar A Pi, penambangan dilakukan masyarakat sekitar yakni dari Kelurahan Lagusa, Kelurahan Wapunto, dan Kelurahan Tula.

Kegiatan penambangan pasir pantai di Pulau Lebutan tersebut sempat berhenti beberapa bulan setelah adanya operasi dari PPNS Perikanan, katanya. Namun penambangan pasir yang dilarang dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut kembali marak dalam satu minggu terakhir.(*)

28 Juli 2008

Penambangan Harus Punya Amdal Menneg LH Minta Tata Ruang Pesisir Kulon Progo Ditaati

Tanggal : 28 Juli 2008
Sumber :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/28/10120367/penambangan.harus.punya.amdal.


Yogyakarta, Kompas - Menteri Negara Lingkungan Hidup atau Menneg LH Rachmat Witoelar menyatakan, proyek penambangan pasir besi di pesisir pantai selatan Kulon Progo harus didahului dengan analisis mengenai dampak lingkungan alias amdal yang baik. Dengan begitu, penambangan itu tidak merugikan masyarakat dan lingkungan.

"Pada prinsipnya penambangan itu tidak apa-apa. Kalau amdalnya baik, amdalnya beres, pasti tidak ada masalah," kata Rachmat, seusai meresmikan Kantor Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup Regional Jawa, Sabtu (26/7) di Yogyakarta.

Melalui penyusunan amdal yang benar, menurut Rachmat, akan memberikan pembelajaran kepada masyarakat, terutama untuk menjawab kekhawatiran warga sekitar lokasi rencana penambangan mengenai dampak lingkungan dan sosial yang akan muncul. Dari amdal tersebut, masyarakat bisa mengetahui akan dirugikan atau tidak. "Semua proyek penambangan maupun industri harus ada amdalnya yang baik. Kalau amdalnya sudah beres, maka tidak ada masalah dengan masyarakat," tuturnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, proyek penambangan pasir besi yang rencananya dilakukan PT Jogja Magasa Mining (JMM) mendapat protes warga pesisir selatan Kulon Progo. Mereka juga menuntut Universitas Gadjah Mada agar membatalkan kerja sama penelitian dengan PT JMM.

Kontroversi

Jika saat ini ada kontroversi pro-kontra tentang proyek penambangan pasir besi, ujar Rachmat, dimungkinkan ada kepentingan masyarakat yang terlanggar. Masyarakat, tutur Rachmat, tidak perlu khawatir karena pihaknya yakin semua aspek telah diperhitungkan. "Tidak akan merusak jika amdalnya juga baik. Kita ikuti itu. KLH akan menjaga agar sumber daya itu langgeng. Masyarakat tidak perlu khawatir," ujarnya.

Ia mengemukakan, munculnya protes dari warga karena mereka tidak diyakinkan bahwa konservasi lingkungan tetap akan dilakukan selama proses penambangan. Penolakan warga, lanjutnya, lebih disebabkan kurangnya komunikasi pemerintah setempat dengan warga.

Rencana penambangan pasir besi juga harus sesuai dengan tata ruang yang ada. Karena itu, ia meminta agar semua pihak menaati tata ruang pesisir Kulon Progo, apakah untuk pertanian, pertambangan, industri, maupun lainnya.

"Kalau ada pelanggaran terhadap tata ruang, Kementerian Negara Lingkungan Hidup tak akan kasih izin. Kita akan rekomendasikan ke gubernur dan bupati jangan melakukan hal-hal yang bisa merusak lahan itu untuk masa depan masyarakat. KLH akan mengecek," tuturnya.

Rachmat menuturkan, proyek penambangan pasir besi di pesisir pantai selatan Kulon Progo saat ini masih dalam tahap penjajakan, belum sampai tahap eksploitasi. "Maka, sementara itu amdalnya dibuat, kita bisa menenangkan warga," katanya.

Sebelumnya, Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, saat ini rencana penambangan pasir besi baru sampai pada aspek kontrak karya, belum investasi. Kontrak karya tersebut saat ini sudah berada di tangan Presiden.

"Prosesnya, kan, kontrak karya dulu. Begitu kontrak karya nanti disetujui Presiden, baru bicara rencana investasi," ujarnya. (RWN)

Sekitar 60 Persen Lahan di Belitung Timur Kritis

Tanggal : 28 Juli 2008
Sumber :
http://www.antara.co.id/arc/2008/7/28/sekitar-60-persen-lahan-di-belitung-timur-kritis


Manggar, Belitung Timur (ANTARA News) - Pemerintah Kabupaten Belitung Timur, Bangka Belitung, mendata sekitar 60 persen dari 2,5 ribu kilometer persegi lahan di daerah itu kritis akibat dampak penambangan timah inkonvensional (TI).

Kerusakan 60 persen lahan Kabupaten Belitung Timur itu disayangkan oleh Dinas Lingkungan setempat dan menyatakan upaya konservasi harus segera dilakukan.

"Saat ini kabupaten Belitung Timur memiliki luas 2.506,91 kilometer persegi dan terdiri dari empat kecamatan dan 30 desa dengan laju kepadatan penduduk 35 jiwa per kilometer persegi, namun kerusakan lahan yang mencapai 60 persen sangat disayangkan sekali dengan penduduk yang masih sangat sedikit itu," kata Kabag Tata Usaha Dinas Lingkungan Hidup Belitung Timur, Marwawi, di Belitung Timur, Senin.

Menurut Marwawi, untuk mengatasi kerusakan yang semakin parah, pemerintah daerah berupaya memupuk kesadaran masyarakat mengenai pentingnya lingkungan bagi kehidupan.

Selain itu pemerintah daerah juga bekerjasama dengan PT Timah Tbk untuk melakukan reklamasi lahan kritis sehingga dapat kembali produktif dan dapat menjadi tumpuan perekonomian masyarakat khususnya sektor pertanian.

"Saat ini Pemerintah Kabupaten Belitung timur telah membuat lahan percontohan seluas 2 Ha untuk reklamasi lahan krisis yang dapat dijadikan contoh dan acuan bagi pihak swasta dan masyarakat untuk melaksanakan reklamasi lahan," ujarnya.

Sidrap Dilanda Banjir Bandang, 2 Orang Tewas

Tanggal : 28 Juli 2008
Sumber:
http://us.rd.yahoo.com/dailynews/rss/search/bencana/SIG=11ua75310/*http%3A//www.myrmnews.com/nusantara/index.php?q=news&id=8556


Sidrap, myRMnews. Bencana banjir bandang melanda Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, kemarin (Senin, 28/7).

Ratusan bangunan terendam dan dua warga dilaporkan terseret arus.

Banjir terparah terjadi di Desa Compong Kecamatan Pitu Riase serta kawasan Tanru Tedong Kecamatan Dua Pitue. Ketinggian air di dua lokasi ini mencapai dua meter.

Banjir bandang terjadi akibat luapan air sungai Tanru Tedong, mulai sekitar Minggu (27/7) pukul 04.00 dini hari.

Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Pitu Riase, Sauli, menggolongkan banjir tersebut sebagai bencana musimam. Terutama di dua kecamatan tadi, Sidrap setiap tahunnya disebutkan rutin dilanda banjir.

Peristiwa itu dianggap sebagai banjir kiriman dari Kabupaten Enrekang. Itu, kata Sauli, karena hujan deras yang mengguyur sejumlah lokasi pegunungan di Enrekang dalam dua hari terakhir.

"Banjir terjadi hampir tiap tahunnya. Itu banjir kiriman dari Enrekang, namun kali ini yang paling parah," ujar Sauli seperti dikutip JPPN.

Pasar Salo Ale, Desa Compong, Kecamatan Pitu Riase, untuk sementara tidak dioperasikan. Sebanyak 46 lods dan gardu jualan di lokasi ini, rusak berat tersapu arus banjir.

"Kondisi pasar rusak parah. Banyak barang jualan kami hanyut tersapuh arus banjir," ujar Suda, warga pasar.

"1,5 ton kopi dagangan kami terseret arus. Kejadiannya tiba-tiba pak sehingga tak ada waktu menyelamatkan barang-barang jualan," tambah warga pasar lainnya.

Di Tanru Tedong, banjir memuncak sekitar pukul 10.00 Wita, kemarin. Ratusan rumah warga dan perkantoran terendam air dengan ketinggian sekitar dua meter.

Sarana umum yang ikut tegenang diantaranya sebuah Madrasah Aliyah, Kantor Kodim 1420-05 Dua Pitue, Mesjid Raya, Puskesmas Tanru Tedong, serta Polsek Dua Pitue. Luapan air setinggi lutut orang dewasa, juga sempat menggenangi jalan poros Makassar-Wajo selama beberapa jam.

Dua warga Tanru Tedong, Latif (50) dan Beddu (40), dilaporkan terseret arus sungai. Hingga malam tadi, korban bernama Beddu, dinyatakan masih hilang. [min]

Petani Terancam Gagal Panen Petani di DIY, Jateng, dan Jatim Harus Pakai Pompa

Tanggal : 28 Juli 2008
Sumber :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/28/01331466/petani.terancam.gagal.panen


Tijem (50) memanen tanaman padinya yang mengering hingga kecoklatan di lahan persawahan di Desa Cirangkong, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Minggu (27/7). Dari lahan sawahnya seluas 3.000 meter persegi, Tijem hanya mendapatkan hasil panen 1 kuintal. Jumlah ini turun dari hasil panen sebelumnya yang 15 kuintal gabah. Kekeringan ini juga menyebabkan dirinya menunda musim tanamnya hingga datangnya musim hujan.
Senin, 28 Juli 2008 | 03:00 WIB

Bandung, Kompas - Kekeringan yang menimpa lumbung padi nasional, Jawa Barat, pada tahun 2008, menurut catatan Dinas Pengelolaan Dinas Sumber Daya Air Jabar, pada Juni sebesar 77.619 hektar tanaman padi. Selain itu, 86.435 hektar terancam kekeringan dan 9.947 hektar tanaman padi mengalami gagal panen.

Kepala Dinas Pertanian Jabar Luky Djunaedi, pekan lalu, membeberkan, meski luas kekeringan lahan sawah tahun ini terhitung cukup besar dan bisa bertambah mengingat musim kemarau masih berjalan, hal itu masih lebih baik daripada kekeringan 2005.

”Tahun 2005, angka puso mencapai 30.000 hektar,” kata Luky. Daerah yang mengalami kekeringan dan terancam kekeringan paling luas berada di Kabupaten Indramayu, Cirebon, Cianjur, Sukabumi, dan Tasikmalaya.

Di Kabupaten Cirebon, luas lahan pertanian yang terkena maupun terancam kekeringan terus meluas. Hingga pekan keempat Juli, luas tanaman padi yang mengalami kekeringan mencapai 7.637 hektar atau 9,5 persen dari luas tanam Januari-Juni 2008, yaitu 80.000 hektar.

Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Cirebon Ali Effendi mengatakan, pekan keempat Juli ini lahan yang terkena kekeringan tercatat 7.637 hektar. Sementara lahan yang terancam kekeringan 6.923 hektar. Saat ini, luas tanaman padi yang gagal panen mencapai 1.180 hektar.

Di Indramayu, hingga pertengahan Juli, tercatat 34.881 hektar lahan sawah kekeringan. Dari keterangan resmi, hujan yang tidak turun selama hampir satu bulan menyebabkan luas tanaman padi yang gagal panen mencapai 13.784 hektar.

Meningkat 30 persen

Dalam waktu setengah bulan, luas lahan yang kekeringan di Indramayu meningkat 30 persen dari semula 26.078 hektar. Diperkirakan, kekeringan tahun ini akan lebih parah dibandingkan tahun lalu. Sebab, selama tahun 2007, luas puso hanya 14.000 hektar, sedangkan tahun 2008 sampai bulan Juli luas puso sudah mencapai 13.700 hektar.

Sawah di sebagian besar Kabupaten Indramayu dan Cirebon, serta sebagian kecil Kabupaten Majalengka, sangat bergantung pada Bendung Rentang. Sayangnya, debit air yang masuk ke Bendung Rentang dari hari ke hari semakin kecil.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, menurunnya debit air di saluran irigasi membuat kekeringan lahan pertanian terus meluas. Petani terpaksa menyedot air menggunakan mesin pompa. Akibatnya, biaya produksi membengkak untuk menyewa mesin dan membeli bensin.

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, sudah 180 hektar lahan sawah mengering dan 119 hektar tanaman padi di antaranya mengalami gagal panen. Kerugian ditaksir lebih dari Rp 500 juta. Untuk mencegah kekeringan meluas, petani diberi bantuan 22 pompa air.

Kekeringan juga melanda Kecamatan Imogiri, Pundong, Dlingo, dan Sedayu. Dari 180 hektar lahan yang mengering, 18 hektar rusak berat, 14 hektar rusak sedang, dan 32 hektar ringan.

Nasib serupa dialami petani Desa Balerejo, Kecamatan Balerejo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Misalnya Suryadi (45), tiap tahun mulai Mei harus mengeluarkan uang lebih untuk menyewa sumur pompa guna mengairi sawahnya karena air dari Waduk Dawuhan tidak lagi sampai ke sawahnya. Penyebabnya saluran irigasi dari waduk sampai ke sawahnya penuh dengan endapan.

Berbeda dengan Jawa, Provinsi Sumatera Barat diuntungkan oleh letak geografis yang membuat hujan turun sepanjang tahun. (DEE/ENY/THT/APA/ART)

Rebutan Air Bersih di Kulon Progo

Tanggal : 28 Juli 2008

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/28/01530343/rebutan.air.bersih.di.kulon.progo


Pada awal musim kemarau saat ini, sejumlah sumber mata air atau sendang di Girimulyo dan Kokap, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai diperebutkan warga. Mereka yang tinggal di perbukitan, seperti Girimulyo, Kokap, Nanggulan, Samigaluh, dan Kalibawang, berlomba-lomba memanfaatkan ”sisa-sisa” air sendang dengan berbagai cara.

Ada yang mengambilnya dengan menimba, ada juga yang memompa air ke rumah masing-masing dengan menggunakan selang.

Di Sendang Ngipik, Dusun Bulu, Desa Giripurwo, Kecamatan Girimulyo, misalnya, 7 ujung karet selang akhir pekan lalu menggantung di dalam dua bak penampung air berukuran 1 meter persegi. Selang-selang itu digunakan untuk menyalurkan air—dengan menggunakan pompa air—ke rumah-rumah warga yang secara topografis berada lebih rendah dari lokasi sendang.

Keberadaan selang-selang tersebut menuai keluhan warga Dusun Bulu lainnya, terutama yang tinggal di atas sendang. ”Tanpa adanya mesin pompa air, mustahil bagi kami untuk menyalurkan air dengan selang. Sementara air sendang makin cepat surut karena disedot banyak selang,” keluh mereka.

Untuk mencukupi kebutuhan air bersih, warga yang berada di atas bukit terpaksa mengambil air dengan menggunakan jeriken atau tempayan yang dipikul.

Daerah-daerah yang kesulitan air bersih tersebut pada umumnya belum tersentuh jaringan pipa air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kulon Progo. Karena itu, mereka sangat mengandalkan sumur atau mata-mata air yang ada di lereng kaki bukit.

Bisa kering

Kasus serupa terlihat di Dusun Tirto, Desa Hargotirto, Kokap. Akhir pekan lalu, terlihat lima ujung selang yang terhubung dengan Sendang Tirto, meski tidak sedikit warga yang mengambil air dengan jeriken.

”Tidak seperti mata air lain yang cenderung abadi, sendang di Dusun Tirto bisa kering. Kemungkinan dalam 1-2 bulan lagi sendang sudah tidak mengeluarkan air lagi,” ujar Sri Murni (35), warga Dusun Tirto.

Pemandangan yang sama terlihat di Desa Koro, Kecamatan Merakurak, Tuban, Jawa Timur. Sabtu lalu beberapa warga berebut air bersih dari sebuah sumber air. Sebab, air yang ditampung dalam bak ukuran 4 x 6 meter dengan kedalaman 3,5 meter sudah menipis. Saat itu ketinggian air sendang hanya 21 sentimeter.

Berbeda dengan di Gunung Kidul. Warga di daerah ini tidak saja sudah kesulitan air bersih, tetapi juga harus membeli air untuk ternak.

Kasidi (22), warga Dusun Ploso, Giritirto, Purwosari, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, menuturkan, belakangan ini dalam sehari dia harus membeli empat jeriken air seharga Rp 100 per jeriken (20 liter) yang diambil dari mata air Goa Cerme di dusun itu. ”Satu jeriken untuk seekor sapi, sisanya untuk kebutuhan minum, masak, dan mandi,” katanya.

45.000 jiwa

Mengacu pada peta rawan kekeringan yang dikeluarkan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Sermo (2007), pada musim kemarau sekitar 84,6 persen dari total 26 desa yang berada di lima kecamatan di wilayah itu kesulitan mendapatkan air bersih. Jumlah warga yang mengalami krisis air bersih diperkirakan lebih dari 45.000 jiwa.

Bupati Kulon Progo Toyo Santoso Dipo mengatakan, pemerintah daerah sudah berusaha optimal memanfaatkan sumber-sumber air bagi penduduk lokal. Selain mendirikan instalasi penyaluran air bersih, juga menyalurkan dana hibah untuk pendirian fasilitas penampungan air di sejumlah sendang. Namun, kebutuhan jauh lebih banyak.

Tahun ini, katanya, lebih dari 10 fasilitas penampungan air sendang dibangun di Kulon Progo.

Ketahanan pangan

Masih terkait kekeringan, dari Bandung, Jawa Barat (Jabar), dilaporkan, masalah ini selain telah menyebabkan berkurangnya air bersih, juga mengancam ketahanan pangan nasional.

Menurut data Dinas Tata Ruang dan Permukiman Jabar, musim kemarau pada Juni 2008 telah mengakibatkan 45 kecamatan di enam kabupaten/kota terancam tidak memiliki akses terhadap air bersih. Keenam kabupaten/kota itu adalah Indramayu, Majalengka, Karawang, Cirebon, Sukabumi, dan Cianjur, daerah lumbung padi.

Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air Dine Andriani berpendapat, kondisi ini akibat timpangnya luas rehabilitasi hutan dengan tingkat kerusakan lingkungan.

Dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), pun dilaporkan, 11 daerah resapan air di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang terancam punah. Penyebabnya, pembangunan permukiman penduduk, penebangan hutan, pengambilan bahan material, dan penggembalaan ternak.

Debit air di beberapa daerah resapan terus menurun, bahkan sebagian sudah kering. Jika hal ini tidak segera dibenahi, diperkirakan dalam jangka waktu 10-20 tahun lagi warga Kota Kupang dan Kabupaten Kupang krisis air bersih.

Menurut Direktur Utama PDAM Kabupaten Kupang Masya Djonu di Kupang, upaya Pemerintah Kota/Kabupaten Kupang melakukan konservasi terhadap sumber-sumber air dan daerah resapan air di kawasan itu sangat rendah. ”Tahun 1990-an debit air di Kota dan Kabupaten Kupang masih 1.200 liter per detik. Saat ini 460 liter per detik pada musim hujan, di musim kemarau turun sampai 200 liter per detik, bahkan sampai 150 liter per detik,” ujarnya.(Tim Kompas)

BANJIR JUGA MENGHANYUTKAN KAYU ILEGAL DI DONGGALA

Tanggal : 28 Juli 2008
Sumber :
http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=63374


Metrotvnews.com, Donggala: Puluhan kayu gelondongan ditemukan di sekitar lokasi banjir dan tanah longsor di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Menurut pantauan Metro TV, kayu-kayu gelondongan tersebut ditemukan sekitar areal perkebunan kakao milik warga setempat. Belum diketahui pemilik kayu gelondongan itu. Namun diperkirakan kayu-kayu tersebut terbawa arus saat daerah itu dilanda bencana banjir.

Warga juga memperkirakan kayu ilegal tersebut merupakan hasil tebangan liar di hutan. Terkait dengan kejadian itu, warga mendesak pemerintah untuk menyelidiki asal usul kayu tersebut. Jika tidak segera dihentikan, maka dikhawatrikan akan menimbulkan bencana yang lebih besar lagi.(FAH)

LIPI SELENGGARAKAN SIMULASI GEMPA DI PAPUA BARAT

Tanggal : 28 Juli 2008
Sumber :
http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=63377


Metrotvnews.com, Biaknumfor: Gempa bumi berkekuatan 6,9 skala richter yang terjadi di Distrik Kota Biak, Kabupaten Biaknumfor, Papua Barat, sangat mengejutkan warga. Apalagi gempa-gempa susulan juga terus dirasakan. Anak-anak maupun orang dewasa yang panik berlarian menyelamatkan diri. Bahkan, sebagian warga berbondong-bondong mendaki bukit karena petugas telah memberikan informasi akan terjadi Tsunami.

Usai dinyatakan aman, Tim SAR dari Basarnas dan aparat terkait langsung melakukan evakusi dan pertolongan terhadap para korban. Semua rangkaian peristiwa ini adalah simulasi pelatihan community preparedness yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Warga Biaknumfor sangat antusias mengikuti simulasi ini. Karena mereka pernah merasakan kedahsyatan bencana gempa bumi pada tahun 1996 lalu. Simulasi bencana gempa dan Tsunami ini akan digelar LIPI di 18 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.(FAH)

26 Juli 2008

Petani Rumput Laut Rugi. KABAENA DIAMBANG MALAPETAKA.

Tanggal : 26 Juli 2008
Sumber :
Hidup Bersama Risiko Bencana; Website: http://bencana.net; Milis: bencana@googlegroups.com


Aktivitas tambang PT.. Billy Indonesia di Kabaena telah mengeruk tanah dibukit Bumbuntuwele sangat merisaukan warga di sekitar Desa Lambale Dongkala dan Tapuhaka. Aktivitas perusahaan ini membawa kerusakan hutan dibukit itu, yang menimbulkan kelangkaan air minum karena keringnya sumber mata air dibukit tersebut.

Menurut Alkautsar dari Aliansi Masyarakat Kabaena Bersatu (AMBK) menjelaskan banyaknya Lumpur warna merah dipinggir laut akibat sedimentasi dari bukit itu menyebabkan ratusan hektar arear budidaya rumput laut di Kelurahan Lambale dan Desa Tapuhaka rusak. Akibatnya banyak petani rumput laut gulung tikar karena menanggung rugi. Belum lagi dampak terhadap ekosistem perairan disekitarnya akan rusak.

Selain itu didaerah Kulisusu buton utara akibat perambahan hutan yang dilakukan oleh pengelolaan kayu rakyat. 300 kelompok petani rumput laut mengalami gagal panen, akibat air bah yang masuk dalam areal budidaya. Menurut La Ode Ramlan ketua HNSI perambahan hutan yang berimbas pada hilanya daerah resapan air, mengakibatkan potongan kayu dan berbagai sisa sampah dari pegunungan ikut hanyut menggenangi lahan pengembangbiakan rumput laut. (Sumber Kendari Pos 26 Juli 2008).

Menurut salah satu LSM/Ngo Yayasan Pelestarian Laut dan Pantai (marine and coastal conserfation Foundation) Kendari mengharpakan perhatian pemerintah propinsi maupun kabupaten yang sudah mengeluarkan kuasa pertambangan (KP) dan izin pengelolaan kayu rakyat (IPKR) untuk meninjau kembali izin yang sudah diberikan jangan melakukan pekerjaan dengan mengabaikan kerusakan lingkungan yang bakal timbul. Lebih jauh akan mengakibatkan kerusakan ekosistem lingkungan baik didarat maupun dilaut.

Pemerintah seharusnya melihat lebih jauh apabila mengeluarkan izin kuasa pertambangan (KP) dan izin pengelolaan kayu rakyat (IPKR) apakah menguntungkan masyarakat atau malahan menimbulkan keresahan dimasyarakat atau malahan bencana yang akan datang.

(Pengirim : Mukhtar, A.Pi Forum Illegal Fishing Indonesia)

24 Juli 2008

Sulteng Dikelilingi Banjir Bandang

Tanggal : Kamis 24 Juli 2008
Sumber : http://mail.google.com/mail/?shva=1#inbox/11b57f01c4dc1534


PALU – Banjir di Sulteng terparah melanda Kawasan Batui, Nuhon, dan
Mamasa di Kabupaten Banggai Kawasan Dataran Bulan dan Tojo di
Kabupaten Tojo Unauna, Bungku Utara di Kabupaten Morowali, serta
Dataran Palolo di Kabupaten Donggala.

Banjir berkepanjang sejak 9 Juli di Dataran Batui yang dihuni hampir
100.000 jiwa eks trans migrasi itu telah mengakibatkan sebagian besar
rumah penduduk pada tiga kecamatan setempat terendam air hingga
setinggi lebih dari dua meter akibat dari meluapnya sejumlah
sungai-sungai besar.
Banjir di kawasan lumbung beras kedua terbesar di Provinsi Sulteng ini
juga telah menimbulkan kerusakan banyak infrastruktur perekonomian,
seperti jalan , jembatan, bendungan dan saluran irigasi.

Bahkan selama sepekan kawasan ini sempat terisolasi dari sarana
perhubungan darat, selain mengakibatkan ribuan hektar areal persawahan
terancam gagal panen.
Dikawasan Nuhon, bencana banjir sempat memutuskan jembatan
Tobelombang, Jembatan Bangketa, dan Jembatan Balingara, sehingga
menghentikan arus transportasi angkutan darat selama 10 hari dari dan
ke wilayah Timur Provinsi Sulteng.

Sekalipun arus transportasi di wilayah ini sejak tiga hari lalu sudah
normal setelah dilakukan perbaikan atas semua jembatan yang rusak,
namun banjir di kawasan ini sempat mengakibatkan seorang pengusaha
antarpulau pasir dan kerikil hanyut terseret bersama basecamp
perusahaannya.

Sejak Senin(21/7), lagi-lagi banjir melanda kabupaten di bagian timur
pulau Sulawesi itu, dan kali ini yang diterjang yaitu dua Kecamatan di
Kawasan Mamasa. Informasi terbaru yang diperoleh, ratusan rumah
penduduk pada sejumlah desa di dua kecamatan (Luwuk Timur dan Mamasa)
hingga Rabu pagi masih direndam banjir hingga setinggi lebih satu
meter, serta telah memutuskan arus lalu-lintas di jalan provinsi dari
arah Luwuk (ibukota kabupaten) ke Kecamatan Mamasa, Lamala, dan
Balantak.

Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Banggai, Andi
Djalaluddin, memperkirakan lebih Rp 100 miliar kerugian material yang
ditimbulkan akibat banjir bandang yang melanda beberapa kawasan di
wilayahnya selama sekitar dua pekan terakhir sejak 9 Juli 2008.
Kerugian tersebut disebabakan rusaknya puluhan kilometer jaringan
jalan provinsi dan jalan kabupaten, lebih 10 buah jembatan, beberapa
bendungan serta saluran irigasi primer dan tersier, serta infra
struktur perekonomian lainnya.

Di Kawasan Dataran Bulan, Kabupaten Tojo Unauna, banjir sempat
menghajar unit pemukiman transmigrasi setempat dengan mengakibatkan
banyaknya kerusakan bangunan penduduk, fasilitas umum, serta lahan
pertanian dan perkebunan. Banjir di kabupaten ini juga sempat
memutuskan Jembatan Sabo dan jembatan kontsruksi baja Australia dan
terpanjang di Sulawesi, Jembatan Bongka (lebih 300 meter), dengan
mengakibatkan arus lalu-lintas dari dan ke timur Provinsi Sulteng
terputus selama 10 hari. Namun kedua jembatan yang putus pada bagian
oprit itu sudah selesai diperbaiki.

Pada Selasa (22/7), banjir kembali melanda Dataran Palolo di Kabupaten
Donggala, dengan mengakibatkan badan jalan di provinsi pada banyak
titik rusak tertimbun tanah longsor dan ambrol, selain merendam areal
persawahan dan perkebunan penduduk di desa Berdikari dan Rahmat.
Bahkan banjir di daerah ini menyebabkan seorang penduduk tewas dan
hanyut terbawa arus air.

Sementara itu, Stasiun Meteorologi Dephub di Bandara Mutira Palu

melaporkan bencana alam banjir disertai tanah longsor masih menghantui
semua wilayah Provinsi Sulteng, sebab curah hujan diatas rata-rata
normal berpotensi terjadi sepanjang Juli ini. ANT/IDN

23 Juli 2008

Waspadai Gelombang Laut!!

Tanggal : 23 Juli 2008
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/23/05261590/waspadai.gelombang.laut


JAKARTA, RABU- Ketinggian gelombang laut berkisar 2,0 meter hingga 5,0 meter diperkirakan terjadi di sejumlah wilayah Indonesia, sehingga berbahaya bagi semua jenis kapal yaitu kapal nelayan, tongkang, tugboat, ro-ro mapun jenis ferry.

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Rabu, mencatat ketinggian gelombang berkisar 2 -3 meter terjadi di perairan Barat Aceh, Samudera Hindia Barat Bengkulu dan Enggano, Laut Jawa bagian Timur, Selat Makassar bagian Selatan, Laut Timor, Perairan Bau-Bau, Laut Aru, dan Perairan Merauke.

Ketinggian gelombang berkisar 3 - 4 m terjadi di Laut Cina Selatan, Samudera Hindia Barat Daya Lampung hingga Jawa Barat, Samudera Hindia Selatan Jawa Tengah hingga Nusatenggara, Laut Sawu, Perairan Selatan Rote, Laut Buru, Laut Banda, Perairan Kepulauan Kai dan Tanimbar, serta Laut Arafuru. Sedangkan gelombang laut 4 - 5 m berpeluang terjadi di Laut Andaman dan Teluk Carpentaria.

21 Juli 2008

DAERAH KELUHKAN LEMAHNYA KONTROL PUSAT ; Pemerintah Amankan 318 DAS

Tanggal : 21 Juli 2008
Sumber :
http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=171344&actmenu=35


SEMARANG (KR) - Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban mengatakan pemerintah mencoba mengamankan sedikitnya 318 daerah aliran sungai (DAS) yang ada di berbagai daerah di tanah air. Ia menargetkan menanam pohon hampir tiga juta hektar di daerah hulu aliran sungai.

MS Kaban mengungkapkan hal tersebut, Jumat (18/7) sore, pada pencanangan Gerakan Menanam Sejuta Pohon bersama mahasiswa 101 perguruan tinggi peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) XXI Unissula di Taman Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.

Kerusakan hutan di negeri ini, imbuhnya, sudah berlangsung sejak lama dan kompleks. Sekarang rehabilitasi hutan diutamakan untuk daerah hulu aliran sungai, karena kawasan ini sangat penting dan strategis. “Mengingat maraknya potensi bencana banjir dan tanah longsor pada saat musim hujan, serta krisis air saat musim kemarau,” sebut MS Kaban.

Lebih lanjut menurutnya, degradasi dan deforesasi hutan sudah terjadi sejak zaman pemerintahan Soeharto. Setelah pembangunan dilakukan dan permukiman penduduk bertambah, kerusakan terhadap kawasan hutan juga kian meningkat hampir dua kali lipat mencapai 1,8 juta hektar per tahun.
Kondisi tersebut berlangsung terus dan puncaknya terjadi pada era reformasi (1998). “Banyak kepala daerah saat itu belum menghayati dan memahami lika-liku perhutanan yang akhirnya berdampak pada pemberian izin penebangan hutan yang keliru,” katanya.

Terkait dengan DAS, sebagian daerah mengeluhkan lemahnya pemerintah pusat dalam melakukan kontrol, berupa pengawasan dan pengamanannya dari kerusakan. Padahal hal ini menjadi kewenangan pusat lewat instansi terkait, bukan daerah.

Kepala Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (KPDLH) Sleman, Drs Urip Bahagia menyebutkan, areal pinggir sungai yang seharusnya bebas dari rumah dan bangunan, kenyataannya adalah sebaliknya.

“Persoalannya, aturan yang tidak benar-benar ditegakkan dan lemahnya instansi terkait di pusat menjalankan kewenangannya menjaga DAS dari kerusakan,” akunya. (Sgi/Sto)-e

13 Juli 2008

Hidup Selaras Dengan Alam Kurangi Pemanasan Global

Tanggal : 13 Juli 2008
Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/13/19134420/hidup.selaras.dengan.alam.kurangi.pemanasan.global


PADANG, MINGGU - Gaya hidup selaras dengan alam (living green) perlu mendapat perhatian masyarakat dan pemerintah di dunia, sebagai upaya mengurangi pemanasan global yang menjadi biang perubahan iklim.

"Pemanasan global juga dampak dari kerusakan lingkungan di Bumi," kata kata Pakar Lingkungan dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Bung Hatta (UBH), Profesor Dr Ir H Nasfryzal Carlo M.Sc di Padang, Sabtu (12/7). Hal tersebut disampaikannya saat dikukuhkan sebagai guru besar tetap bidang ilmu bidang ilmu rekayasa lingkungan dan pengolahan limbah Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UBH.

Menurut Carlo, agar temperatur bumi tidak terus meningkat dan kerusakan lingkungan tidak semakin parah, maka pemanasan global harus dikurangi. Ia mengatakan, meminimalkan pemanasan global dilakukan dengan mengurangi pelepasan gas rumah kaca dan mencegah terjadinya pencemaran udara lainnya ke atmosfer.

"Cara yang paling positif untuk hal itu, adalah melakukan gaya hidup selaras dengan alam (living green) sebagai keharusan dalam kehidupan sehari-hari bagi oleh pemerintah maupun masyarakat di dunia, " tambahnya. Ia menjelaskan, langkah-langkah gaya hidup selaras dengan alam itu seperti, menghemat pemakaian arus listrik dan bahan bakar minyak (BBM).

Gaya ini diwujudkan dengan mematikan lampu listrik yang tidak penting, mematikan komputer ketika tidak bekerja, mematikan alat pendingin ketika tidak berada di dalam ruangan, dan mematikan televisi saat tidak menonton. Kemudian, menghindari penggunaan lift atau eskalator pada bangunan berlantai dua, memaksimalkan penggunaan transportasi umum dan kendaraan yang berbahan bakar gas atau biodiesel.

Selanjutnya, memakai kendaraan bebas polusi seperti sepeda dan becak, menghindari pembakaran sampah, menerapkan konsep 3R (reduce, reuse and recycle atau mengurangi, menggunakan kembali dan mendaur ulang) dalam sistim pengelolaan sampah.

Masih gaya hidup ramah lingkungan lainnya adalah mendesain bangunan dengan sirkulasi udara dan pencahayaan alami, mengontrol emisi operasional perusahaan, membeli produk lokal untuk mengurangi transportasi barang-barang impor dan jika terpaksa beli produk impor yang mempunyai recycle logo.

Hidup selaras dengan alam, kata Carlo, juga diimplementasikan dengan mengganti tas belanja dari bahan plastik ke bahan kain atau bahan organik lainnya, menggunakan kertas pada kedua sisi dan mendaur ulang kembali, menebang pohon yang harus diikuti penanaman kembali dan membuka lahan dengan cara tidak membakar.

"Berikutnya, menghentikan penebangan hutan secara liar, membudayakan gemar menanam pohon, menggunakan taman hidup sebagai pagar dan merubah gaya hidup untuk menyelamatkan Bumi," tambahnya.

Sementara itu, khusus bagi pemerintah dan pihak-pihak pengambil kebijakan diminta lebih aktif mematuhi dan melaksanakan ketentuan dan aturan menjaga lingkungan secara konsekuen. Indonesia sebagai salah satunegara yang masih mempunyai hutan penghasil oksigen diharapkan upaya pelestarian hutannya dengan kebijakan tebang pilih terhadap hutan yang masih diperlukan dalam pembangunan.