27 Februari 2008

Kerasnya Tekanan terhadap ''Coastal Zone''


Tanggal : 17 Januari 2008
Sumber : http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2008/1/17/o2.htm


Oleh I Nengah Subadra


PESATNYA pertumbuhan pembangunan untuk kepentingan perumahan dan industri khususnya industri pariwisata hotel, vila, bungalo, dan sarana kegiatan olah raga air di hampir semua kawasan pesisir di Bali telah mengakibatkan tekanan-tekanan terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat, sumber daya alam (air, udara dan tanah), dan ekosistem yang ada di sekitarnya.


-------------


Kehidupan sosial-budaya masyarakat sudah makin terkikis seiring dengan derasnya laju pembangunan pariwisata. Budaya-budaya asli (indigenous cultures) masyarakat yang hidup di sepanjang kawasan pesisir di hampir seluruh pelosok Bali seperti nelayan, pembuat garam, pencari kerang dan batu kerang, serta petani rumput laut sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena dianggap kurang menjanjikan kesejahteraan hidupnya.


Hilangnya keaslian pantai di Pantai Sanur (dari Pantai Matahari Terbit sampai dengan Pantai Mertasari) merupakan contoh nyata dari rusaknya sumber daya alam pesisir pantai. Contoh lain adalah abrasi yang terjadi di Pantai Lebih, Gianyar yang air lautnya sudah mengancam keberadaan tempat-tempat makan lesehan yang berada di sepanjang garis pantai.


Selain kerusakan pantai, daerah pesisir juga sangat rentan dengan pencemaran air yang diakibatkan pembuangan sampah secara sembarangan di sungai-sungai yang secara langsung bermuara di pantai atau laut. Sungai yang melewati kawasan Mangrove Information Center merupakan salah satu sungai yang langsung bermuara ke laut. Di tempat ini terdapat tumpukan berbagai jenis sampah yang dibuang secara sembarangan dari hului sungai. Tumpukan sampah tersebut tidak hanya mencemari air tetapi juga menutupi akar-akar pohon mangrove dipergunakan sebagai alat pernapasan sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan penyebaran pohon tersebut. Pencemaran serupa juga terjadi di sungai yang terletak di ujung Pantai Mertasari, Sanur. Sampah-sampah organik dan non organik secara langsung dibuang ke laut tanpa melalui proses penyaringan sehingga mengakibatkan terganggunya aktivitas masyarakat yang sedang berlibur dan berenang di kawasan tersebut.


Faktor Utama dan Pendukung


Tekanan terhadap zona pesisir umumnya disebabkan oleh beberapa hal antara lain; pergantian jenis dan penambahan jumlah populasi, peningkatan arus urbanisasi, peningkatan jumlah penduduk lokal, serta invasi yang dilakukan oleh para penanam modal (investor). Seiring dengan pesatnya pertumbuhan industri khususnya pariwisata di Bali yang sebagian besar objek wisatanya menawarkan keindahan alam pantai dan aktivitas wisata yang berhubungan dengan laut atau pantai, maka makin banyak peluang kerja dan sumber mata pencarian yang tercipta dan tersedia di sekitar kawasan pesisir yang dijadikan sebagai objek-objek wisata. Hal ini mengakibatkan banyak orang datang ke kawasan industri pariwisata untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya untuk menggapai masa depan yang lebih menjanjikan. Pertambahan jumlah penduduk inilah yang mengakibatkan makin kerasnya tekanan fisik maupun non fisik di kawasan pesisir.


Tekanan fisik yang terjadi adalah pengalihan fungsi lahan untuk kepentingan pemukiman bagi masyarakat lokal dan para penduduk pendatang. Selain itu, terjadi pula penggalian sumber mata air yang menggunakan sumur bor yang mengakibatkan makin bertambahnya lubang-lubang pada perut bumi ini. Tekanan non fisik yang terjadi adalah persaingan dalam bidang pendidikan dan pekerjaan antara penduduk asli dengan pendatang. Fakta yang terjadi di lapangan, sebagian besar penduduk lokal di kawasan pesisir pantai terhimpit oleh masyarakat pendatang karena mereka kurang siap dalam berkompetisi untuk mencari pekerjaan di industri pariwisata yang ada di sekitarnya.


Lemahnya kompetensi (skill, knowledge dan attitude) masyarakat lokal dimanfaatkan oleh para penanam modal yang tertarik untuk berinvestasi dalam bidang industri pariwisata. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa investor adalah pahlawan pembangunan. Tetapi, jika ditelusuri lebih jauh maka investor sama dengan pisau, bisa dijadikan sebagai senjata untuk mengamankan dan melindungi diri tetapi bisa juga dipakai untuk membunuh diri sendiri. Kasus Loloan Yeh Poh yang terjadi di kawasan pesisir di salah satu wilayah Kabupaten Badung pada tahun 2007 merupakan bukti nyata yang mengisyaratkan bahwa investor tidak selalu memihak kepada masyarakat yang bermukim di kawasan pesisir. Secara nyata tempat tersebut dijadikan sebagai tempat untuk kepentingan upacara bagi pemeluk agama Hindu yaitu melasti namun dengan seribu cara investor mampu mengalihfungsikan lahan tersebut untuk kepentingan bisnis investor tersebut. Konflik sosial dan budaya pun terjadi, bahkan lingkungan menjadi rusak.


Faktor-faktor lain yang turut berkontribusi terhadap tertekannya daerah pesisir adalah kebijakan pemerintah dan persaingan antara industri pariwisata dan perikanan. Kebijakan pemerintah yang lebih cenderung mendukung perkembangan industri pariwisata dari pada perikanan dan kelautan telah mengakibatkan kerdilnya pertumbuhan perekonomian masyarakat yang bergelut sebagai nelayan atau pelaut. Konskuensi lain dari model penerapan kebijakan pemerintah ini adalah makin sedikit jumlah orang yang mau meneruskan profesi nenek moyangnya sebagai pelaut karena dianggap sudah tidak menjanjikan kehidupan dan masa depan yang cerah.


Kaji lebih Jauh


Tingginya tekanan terhadap kawasan pesisir yang terjadi sekarang ini perlu dikaji lebih jauh untuk mengidentifikasi kerusakan-kerusakan yang telah, sedang, dan akan terjadi yang selanjutnya dibuat dalam suatu bentuk profil kawasan pesisir. Peran serta masyarakat dalam pelestarian alam dan lingkungan di sekitar pesisir masih lemah dan sangat perlu ditingkatkan sehingga bisa turut serta dalam mewujudkan visi dan misi yang tertuang dalam profil penegembangan kawasan pesisir dengan baik.


Penerapan dan penegakan hukum terutama dalam pengeluaran izin pembangunan industri termasuk industri pariwisata harus ditingkatkan. Selain itu perlu adanya pengadopsian konsep pengembangan suatu kawasan pesisir di suatu daerah atau negara yang telah berhasil melestarikan alam kawasan pesisir serta mempererat koordinasi antar lembaga pemerintah seperti amdal, Dinas Pariwisata, Dinas Perikanan dan Kelautan, stakeholder pariwisata (industri pariwisata, LSM, masyarakat lokal, wisatawan, dan akademisi) agar bisa bersinergi dalam upaya melestarikan dan menyelamatkan kawasan pesisir di Bali.


26 Februari 2008

Tumpahan Minyak Kapal Kharisma Terus Melebar


Sumber : http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=153354


SURABAYA--MEDIA: Tumpahan minyak akibat terbaliknya kapal Kharisma di Dermaga Mirah, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, terus melebar hingga radius 100 meter dari lokasi terbaliknya kapal tersebut.


Saat ini, pencemaran sudah mendekati dermaga tempat berlabuhnya kapal tug boat dan PT DOK Surabaya. Beberapa nakhoda tug boat yang berada di sekitar Dermaga Mirah menyatakan air laut di sekitar dermaga khususnya di lokasi berlabuhnya kapal tug boat dan PT DOK Surabaya terlihat hitam.


Sebelum kapal Kharisma terbalik kondisi air laut di sekitar Dermaga normal tidak terlihat gumpalan minyak hitam. Kalau saja ada hanya sedikit sekali jumlahnya.


"Tapi sekarang airnya terlihat hitam kelam. Bahkan sampai masuk ke dek-dek kapal. Padahal kalau hari biasa tidak seperti ini," kata nakhoda tug boat Sinar Mas M Onta kepada Media Indonesia, Selasa (25/12).


Kondisi ini membuat para awak kapal tidak bisa lagi mengonsumsi air laut yang biasanya dipergunakan untuk membersihkan kapal. Kini awak kapal terpaksa membeli air bersih yang dijual di sekitar dermaga untuk membersihkan kapal. "Bagaimana mengambil air laut, kondisinya hitam kelam," ujarnya.


Sementara itu, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL) dan Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kota Surabaya, mengambil sampel air laut yang tercemar minyak akibat terbaliknya kapal Kharisma.


Empat petugas BTKL menyusuri tumpahan minyak hingga radius 400 meter dari titik lokasi terbaliknya kapal di kawasan Dermaga Mirah.


Kepala Seksi Lingkungan Fisik dan Kimia BBTKL, Arif Bintoro mengatakan selain menyusuri meluasnya tumpahan minyak ke laut, pihaknya juga mengambil sampel air laut yang tercemar dan tidak tercemar di 4 lokasi yakni di Dermaga Mirah, Berlian, Jamrud dan di titik dekat lokasi terbaliknya kapal.


"Sampel air yang tercemar atau tidak akan kami uji lab dan analisa secara kimia. Apakah sampel tersebut dapat menyebabkan kerusakan ekosistem biota laut atau tidak," ujarnya. (FL/OL-06)


25 Februari 2008

Gempa Berkekuatan 7,2 SR Berpusat di Muko-Muko Bengkulu

Tanggal : 25 Februari 2008
Sumber : http://www.riau.go.id/index.php?module=articles&func=display&aid=7218&ptid=1


PEKANBARU (Riau Online): Gempa yang sempat menggoncang kota Pekanbaru Senin (25/2) sekitar pukul 15.40 Wib tadi ternyata berpusat di Muko-Muko, Bengkulu. Kekuatan gempa tersebut cukup dahsyat mencapai 7,2 Skala Richter (SR).

Dari data yang diperoleh RiauInfo di Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menyebutkan gempa tersebut berpsat di koordinat 2.66 LS-99.63 BT pada kedalaman 10 km.

Dengan tingkat kedalaman hanya 10 km itu, gempa bisa berpotensi tsunami. Karena itu saat ini masyarakat Bengkulu dilanda kepanikan. Beberapa warga berusaha berlari menuju tempat yang lebih tinggi.

OPERASI SIAGA TEMPUR LAUT DIMULAI

Tanggal : 25 Februari 2008
Sumber : http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=54267


Metrotvnews.com, Jakarta: TNI Angkatan Laut Komando Armada Barat mulai, Senin (25/2), menggelar Operasi Siaga Tempur Laut. Operasi untuk menumpas pembajakan, perompakan, penyelundupan, dan pelanggaran wilayah seperti illegal fishing, illegal logging serta traficking.


Operasi Siaga Tempur Laut akan berjalan dua tahap selama 180 hari ke depan. Tahap pertama digelar selama 3 bulan. Sementara tahap kedua akan berlangsung Mei mendatang. Keseluruhan operasi dipimpin Komandan Gugus Tempur Laut Koarmabar Laksamana Pertama TNI Slamet Yulistiono.


Operasi ditunjang dengan kekuatan tiga kapal perang pemukul: KRI Oswald Siahaan 356, KRI Pattimura 371, dan KRI Pati Unus 384. Seluruh kapal dilengkapi senjata tempur handal setelah menjalani repowering peningkatan daya jelajah.


Kekuatan masih dilengkapi satu kapal jenis landing ship tank KRI Teluk Cirebon 543. Satu helikopter Bolkow BO 105 Onboard juga nongkrong di KRI Oswald Siahaan. Sedangkan pasukan yang terlibat satu satuan setingkat kompi pasukan Marinir, dua tim Komando Pasukan Katak, satu tim Dinas Penyelamatan Bawah Air serta sejumlah pendukung lain.

22 Februari 2008

Dua Kali Gempa Terjadi Sepanjang Jumat Pagi

Tanggal : 22 Februari 2008
sumber : http://www.kapanlagi.com/h/0000214521.html


Kapanlagi.com - Gempa berkekuatan sedang telah terjadi dua kali di wilayah Indonesia sepanjang Jumat pagi, yakni di perairan yang berdekatan dengan daratan Papua dan wilayah laut Bengkulu.

Gempa berkekuatan 5,7 skala Richter (SR) dilaporkan BMG terjadi pada pukul 04.41 WIB di perairan Papua, dengan pusat gempa berjarak 163 Km barat laut Jayapura, Papua.


Gempa yang tidak berpotensi menimbulkan tsunami itu terjadi pada kedalaman 10 Km dengan lokasi 1.85 LS- 139.41 BT.


BMG juga melaporkan terjadinya gempa berkekuatan 5,8 SR di wilayah laut Bengkulu pada Jumat, pukul 06.55 WIB.


Kedalaman gempa itu adalah 27 km dengan lokasi 2.67 LS- 93.37 BT, serta tidak berpotensi menimbulkan tsunami.


Pusat gempa itu adalah 194 Km barat daya Mukomuko (Bengkulu), 198 Km barat daya Painan (Sumbar) dan 235 Km barat daya Sungauipenuh (Jambi), demikian laporan BMG yang dipantau di Bandar lampung.

IAGI: Tata Ruang Wilayah Pesisir Teluk dan Pantai Perlu Dibenahi

Tanggal : Jumat, 22 Februari 2008
Sumber : http://www.bppt.go.id/


Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) mendesak Pemerintah segera membenahi tata ruang wilayah pesisir teluk dan pantai Indonesia. IAGI menilai Pemerintah belum mempertimbangkan pontensi bencana alam dalam perencanaannya. Agar tidak terlalu banyak korban yang ditimbulkan akibat bencana alam seperti badai Tsunami di Aceh, IAGI mendesak sesegera mungkin Pemerintah Pusat mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerah yang akrab dengan memperhitungkan faktor bencana alam. "Tingginya korban Gempa dan Tsunami yang terjadi karena tidak adanya kepedulian akan konsep tata ruang dan teluk," ungkap Andang Bahtiar, Ketua Umum IAGI dalam makalahnya di Jakarta, Rabu (29/12). Jika seandainya informasi kepada Pemda dan kondisi infrastruktur daerah sudah akrab dengan bencana, dipastikan pontensi kerusakan dan korban ancaman Tsunami dapat diperkecil.

Andang juga menilai pemetaan bathymetric wilayah sangat diperlukan dan pemasangan alat pantau uji alun panjang harus dilakukan secara terintegrasi. menurut Andang, Seharusnya pemerintah mengeluarkan building code dan peraturan keselamatan bangunan berdasarkan zonasi kegempaan. Sementara itu Dany Hilman, Pakar Gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengungkapkan untuk mengantisipasi kejadian serupa (Aceh, Red), harus ada kemauan pemerintah untuk mengalokasikan biaya dalam pelaksanaan program mitigasi pemantauan, sistem peringatan dini dan sosialisasi. Secara teknis, jelasnya, gempa dan Tsunami seperti di pantai barat Aceh sulit diramalkan, berbeda dengan gunung meletus, longsoran,tanah dan banjir. Sehingga, dalam pembangunan infrastruktur khususnya pantai dan teluk dalam 100 tahun kedepan harus diantisipasi adanya unsur bencana tersebut.

Dany juga mengatakan kondisi geologis Indonesia sangat kompleks dan hampir semua daerah rawan gempa, kecuali Kalimantan. Dikatakannya, Indonesia dikelilingi daerah patahan lempengan benua. Lempengan tesebut melingkar wilayah Barat Sumatera, Jawa, Bali Timor, Sulawesi serta Irian Jaya. Untuk itu daerah yang berada di pesisir pantai rawan akan terjadinya gempa. Meski tingkat kerawanan gempa berbeda, Dany mengatakan dari aspek resiko material, hampir semuanya sama. Meski wilayah Sumatera potensinya besar dibanding dengan Jawa, namun bila dihitung dari aspek infrastruktur yang dibangun, pulau Jawa lebih beresiko. Antisipasi Tsunami Wahyu Sutrisno, pakar Geofisik dari ITB mengatakan, sedikitnya ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai antisipasi dan deteksi Tsunami.

Pertama adanya dukungan alat seismograf yang baik. Kedua, perlunya dukungan sebuah lembaga khusus yang dapat secara darurat menangani bencana alam khususnya di pantai. Dan, Ketiga, perlu dukungan sistem komunikasi yang canggih, seperti penggunaan serat optic dalam sambungan telepon. "Terjadinya hantaman Tsunami masih ada selang waktu paling lama waktu 27 menit. Dan waktu 15 menit, cukup untuk pemberitahuan diseluruh pantai," jelas Wahyu. Menurutnya, kejadian gempa patahan lempengan benua terjadi dengan cara rambatan. Merambat dari segmen ke segmen, dan mengarah pergerakannya ke selatan menuju ke India. Paling realitis, ujarnya, pemerintah harus menetapkan letak pontesi gempa di suatu wilayah dan perlu diukur sejauh mana tingkat goncangannya. Untuk itu, sangat berguna dalam pengembangan infrastruktur daerah. "Kalau ada pontensi gempa yang sangat sering, semestinya demi keselamatan tidak diperkenankan adanya pemukiman di lokasi. Atau juga, model rumahnya harus diperhatikan. Ini yang belum disadari oleh wilayah pantai dan teluk di Indonesia," tambah Wahyu. (har) Sumber: Invertor Daily 30/12/04 *rc

20 Februari 2008

Puluhan Ribu Warga Simeulue Panik Akibat Gempa

Tanggal : 20 Februari 2008
Sumber: http://www.antara.co.id/arc/2008/2/20/puluhan-ribu-warga-simeulue-panik-akibat-gempa/


Banda Aceh (ANTARA News) - Puluhan ribu warga dari berbagai kecamatan di Kabupaten Simeulue, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) panik dan bersiap untuk naik ke gunung, setelah gempa berkekuatan 6,6 pada Skala Richter (SR) menguncang wilayah itu, pukul 15.08 WIB, Rabu.

Kepala Distrik Badan Rahabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, Iqbal Abbas, yang dihubungi ANTARA dari Banda Aceh, menjelaskan masyarakat pesisir berkumpul di lapangan dengan membawa harta bendanya bersiap naik ke gunung karena khawatir tsunami.

"Masyarakat berbondong-bondong berkumpul di lapangan terbuka saat gempa dan mereka bersiap-siap naik ke gunung karena khawatir terjadi tsunami akibat gempa yang tergolong kuat melanda daerah kami," katanya.

Ia menjelaskan, teras kantor desa Nitem, Kecamatan Simeulue Barat jatuh ke lantai akibat gempa tersebut. Sejauh ini belum diketahui adanya kerusakan bangunan, baik gedung maupun rumah penduduk yang hancur atau rusak akibat gempa, tambahnya.

Iqbal menjelaskan, sejauh ini jaringan telekomunikasi ke kota Sinabang, ibukota Kabupaten Simeuleu tidak bisa terakses. Jaringan telepon sejauh ini belum bisa terakses ke Sinabang, sehingga belum bisa mengetahui kondisi disana akibat gempa, ujar dia.

Kabupaten kepulauan Simeulue, sekitar 100 mil dari daratan Aceh (Aceh Barat), merupakan salah satu daerah jalur gempa dan gejala alam tersebut sering melanda wilayah itu.

Sementara dari Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, dilaporkan ribuan warga yang berdekatan dengan pantai juga panik akibat gempa yang melanda wilayah tersebut. Masyarakat di wilayah tersebut khawatir terjadi tsunami seperti yang pernah melanda wilayah tersebut pada 26 Desember 2004.

Jalan-jalan raya di Meulaboh, terutama dari arah pesisir laut sempat macet sekitar satu jam dan banyak terjadi kecelakaan lalulintas, kata seorang penduduk Meulaboh.

Dilaporkan sejumlah lembaga pendidikan di wilayah mempercepat masa belajar karena kuatir gempa susulan.

Puluhan ribu warga dari Desa Kuta Padang, Ujung Kalak, Suak Ribee dan Rundeng, berlariang ke Desa Lapang yang posisinya di atas bukit.

Hingga berita ini disiarkan, masyarakat di kabupaten kelahiran Pahlawan nasional itu masih bertahan di luar rumah karena kuatir gempa susulan.

Baru Empat Kota Pesisir Susun Rencana Mitigasi Bencana

Sumber: Republika Online 17-12-07Jakarta-RoL --

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengungkapkan hingga saat ini baru empat kota pesisir di tanah air yang siap menyusun rencana mitigasi bencana.Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) DKP, Syamsul Maarif di Jakarta, Senin (17/12) mengatakan, ke empat kota pesisir tersebut yakni Kota Padang, Denpasar, Kabupaten Serang dan Lombok Tengah."Secara nasional lokasi-lokasi tersebut akan menjadi model pengurangan risiko bencana di kota pantai," katanya dalam International Workshop on Coastal Disaster Mitigation.Rencana aksi mitigasi bencana di empat kota tersebut, menurut dia, disesuaikan dengan karakteristik wilayah pesisir masing-masing yang mana Kota Padang merupakan pusat administrasi pemerintahan dan perekonomian wilayah.

Sedangkan Kota Denpasar merupakan pusat kegiatan pariwisata, Kabupaten Serang sebagai kawasan industri, dan Kabupaten Lombok untuk kawasan budidaya perikanan laut.Menurut Syamsul, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia selain menyimpan potensi kekayaan alam juga memiliki potensi bahaya alam yang besar yang berasal dari gempa, tsunami, erosi, banjir, gelombang pasang dan kenaikan muka air laut.Selain itu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mendapatkan dampak yang sangat signifikan dari perubahan iklim global dimana kejadian ekstrim seperti banjir, gelombang pasang dan badai merupakan potensi bencana akibat perubahan iklim yang merupakan ancaman.

Syamsul mengatakan, kondisi kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut tidak hanya berupa ancaman bencana alam namun juga dari faktor sosial ekonomi masyarakatnya.Saat ini, tambahnya, di seluruh tanah air terdapat sekitar 8.000 desa pesisir dengan jumlah populasi lebih kurang 16,4 juta jiwa yang rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan serta tingkat pendidikan yang rendah.Sedangkan 12 pulau dari 92 pulau kecil terluar yang sangat strategis secara geopolitik juga rentan terhadap kenaikan paras muka air laut. antara is

18 Februari 2008

Pemerintah Jual Murah Hutan Lindung - LSM

Tanggal : 18 Februari 2008
Sumber: http://www.antara.co.id/arc/2008/2/18/pemerintah-jual-murah-hutan-lindung--lsm/


Jakarta (ANTARA News) - Kalangan LSM menilai pemerinah menjual murah hutan lindung untuk kegiatan pertambangan, dengan hanya mengenakan pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp3 juta per hektare per tahun.

"Itu harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Hanya Rp120 hingga Rp300 per meter. PNBP itu lebih murah dari harga sepotong pisang goreng yang dijual pedagang keliling" ujar Rully Syumanda, pengkampanye hutan WALHI, dalam siaran pers yang dikeluarkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di Jakarta, Senin.

Lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 2 tahun 2008, para pemodal diberi kemewahan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan dan usaha lain, hanya dengan membayar Rp300 setiap meternya. PP ini menghapus fungsi lindung kawasan hutan menjadi fungsi ekonomi sesaat, katanya.

Menurut dia, perusahaan asing sekelas Freeport, INCO, Rio Tinto, Newmont, Newcrest, dan Pelsart jelas diuntungkan PP ini, seperti juga perusahaan nasional macam Bakrie, Medco, Antam dan lainnya.

Saat ini, lebih 158 perusahaan pertambangan memiliki ijin di di kawasan lindung meliputi luasan sekitar 11,4 juta hektare. PP ini memungkinkan perusahaan tambang merubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan membayar Rp1,8 juta hingga Rp3 juta per hektare.

Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air dan jalan tol. Harganya turun menjadi Rp1,2 juta hingga Rp1,5 juta.

Yang menyesakkan, PP ini keluar di tengah ketidakbecusan pemerintah mengurus hutan. Laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 saja mencapai 2,76 juta ha.

Juga di saat musim bencana banjir dan longsor yang terus menyerang berbagai wilayah sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya 392 bencana banjir dan longsor terjadi di pelosok negeri. Ribuan orang meninggal, ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi, tambah Edi Sutrisno dari Sawit Watch.

"PP ini menghina akal sehat dan akan bersangkutan serius dengan segala inisiatif kerjasama internasional dan perubahan iklim terkait sektor kehutanan, yang sedang menjadi perhatian dunia. PP ini harus segera di cabut," tuntut Siti Maemunah, koordinator nasional Jatam.

Penjualan Pasir Sebabkan Batas Wilayah RI Bergeser

Tanggal : 18 Februari 2008
Sumber : http://www.suarasurabaya.net/v05/kelanakota/?id=ff8bc57bff7c88c1fcb998572a3328f0200849486

suarasurabaya.net| Maraknya praktik penjualan pasir di beberapa pulau kecil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia membuat batas wilayah Indonesia juga semakin banyak yang bergeser dan berkurang.


Hal tersebut diungkapkan oleh M. SYAMSUL MAARIF, Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan dalam seminar nasional Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Senin (18/02), di Rektorat ITS Surabaya


Seminar yang merupakan rangkaian dari Ocean Week 3 ini juga menghadirkan pembicara DANIEL MOHAMMAD ROSYID pakar kelautan dari Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS dan Laksma TNI WILLIEM RAMPANGILEI Kepala Jawatan Hidro Oceanografi TNI AL.


SYAMSUL MAARIF dalam siaran pers yang diterima suarasurabaya.net mengatakan pengelolaan sumber daya pulau kecil seharusnya bersifat normatif economic, bukan positive economic atau animal economic seperti yang terjadi sekarang ini.


”Saat ini sering kita temui adanya praktik penjualan pasir di beberapa pulau kecil yang akhirnya membuat pulau-pulau kecil kita hilang dan tentunya membuat batas kita (Indonesia-red) jadi bergeser,” ujar pria yang biasa disapa MAARIF ini.


Padahal, menurutnya, menjual aset negara seperti itu sama saja dengan menjual kedaulatan negara sendiri.


“Pulau-pulau kecil adalah aset istimewa bagi negara, oleh karena itu harus dikembangkan secara optimal dan dijaga keberadaannya,” tegasnya.


Dipaparkannya bahwa jumlah pulau yang ada di Indonesia saat ini sebanyak 17.480 pulau, di mana 9.634 pulau belum bernama, 92 merupakan pulau terluar dan hanya 4.890 pulau dari 13 provinsi yang telah terdaftar namanya di UNGEGN, salah satu badan PBB.


“Padahal pulau-pulau ini memiliki aset yang besar seperti konservasi, budidaya laut, pariwisata usaha perikanan dan kelautan,” ujarnya.


Pemanfaatan ini, lanjutnya, terhambat karena sulit dan mahalnya penyediaan prasarana dan sarana publik, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat setempat, kurangnya minat dunia usaha untuk berinvestasi dan kecilnya skala ekonomi dalam hal aktivitas produksi, transportasi, konsumsi dan administrasi.

16 Februari 2008

Aturan Penjualan Pulau Akan Diterbitkan

Tanggal : 16 Februari 2008
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/16/eko04.html

Jakarta-Penjualan pulau tidak bisa lagi sembarangan. Departemen Kelautan dan Perikanan dan Badan Pertanahan Nasional tengah menyusun ketentuan penjualan pulau. Dia menegaskan pulau tidak boleh dikuasi secara eksklusif oleh asing.

“Penjualan pulau tidak boleh hanya dilihat sebagai seperti sebidang tanah tapi sebagai suatu kesatuan dengan perairan di sekitarnya. Kalau bukan karena keindahan laut di sekitar pulau tidak akan laku,” tegas Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil DKP Alex S W Retraubun, Jumat (15/2).

Alex menyatakan menjual pulau tidak sama dengan menjual sebidang tanah seperti yang terjadi selama ini. Harus ada kebijakan publik yang mengatur penjualan pulau beserta perairan di sekitarnya. “Kebijakan ini yang akan segera dikeluarkan secepatnya sehingga isu penjualan pulau tidak ditanggapi negatif. Aturan yang akan dikeluarkan menyangkut rezim tanah di pulau-pulau kecil,” kata Alex.

Menurutnya, penjualan pulau ke depan tidak boleh dalam penguasaan asing secara eksklusif. Pulau harus terbuka bagi akses publik. Proporsi ini akan diatur berdasarkan karakteristik pulau tersebut. Formulasi kebijakan masih dalam pembahasan. “Akan juga diatur bagaimana investasi yang masuk,” tegas Retarubun.

Untuk menjaga keberadaan pulau-pulau di wilayah Indonesia, DKP telah mendaftarkan 4.981 pulau ke PBB dari 17.504 pulau yang ada. Dari jumlah tersebut sekitar 60 persen lagi belum punya nama.

Kerja sama dengan BPN juga dilakukan untuk menyusun turunan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terkait Hak Pengusahaan Perairan dan Pesisir (HP3). DKP mengalokasikan dana Rp 594 miliar untuk kegiatan pengembangan Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) untuk 2008.(naomi siagian).

14 Februari 2008

Pulau Rote Dilanda Bencana Berkelanjutan


Tanggal : 14 Februari 2008
Sumber : http://www.kapanlagi.com/h/0000213366.html


Kapanlagi.com
- Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak Januari hingga kini terus dilanda bencana alam berkelanjutan yang mengakibatkan rumah penduduk porak-poranda, ruas jalan dan jembatan terancam putus serta infrastruktur lainnya terganggu.

"Bencana alam yang melanda pulau paling selatan Indonesia itu berupa banjir akibat luapan air sungai dan guyuran hujan deras, tanah longsor, gelombang pasang dan angin puting beliung," kata Kepala Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) NTT, Ir Edy Aloysius, MT, di Kupang, Kamis.


Aloysius yang didampingi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai (PBPS), Alfred Lukas, ATP, mengatakan, bencana alam yang melanda Pulau Rote itu sudah terdata pada Posko Penanganan Bencana Dinas Kimpraswil NTT berdasarkan laporan dari petugas lapangan di lokasi bencana.


Bencana alam itu melanda tiga kecamatan di Kabupaten Rote Ndao yakni Kecamatan Pantai Baru, Rote Barat Daya dan Rote Barat Laut.


Kejadian pertama di bulan Januari 2008 berupa banjir dan tanah longsor di Pantai Baru yang mengakibatkan lebih dari 30 unit rumah rusak parah dan ruas jalan serta jembatan di wilayah itu nyaris putus total.


"Sekitar 100 hektare sawah pada areal irigasi Edalode tergenang, bahkan saluran irigasi Edalode sepanjang 300 meter itu terganggu," ujarnya.


Ia mengatakan bencana tanah longsor kembali terjadi pada akhir Januari lalu yang mengakibatkan ruas jalan jurusan Ba`a-Busalangga di Desa Temak, Kecamatan Rote Barat Daya, terancam putus.


Awal Pebruari lalu, terjadi gelombang pasang disertai angin kencang yang mengakibatkan tembok penahan pasir di kawasan pesisir dan dermaga kapal di Rote Barat Daya, rusak parah.


"Peristiwa terakhir tanggal 13 Pebruari kemarin yakni tanah longsor di Oelua, Kecamatan Rote Barat Laut, yang mengakibatkan spil way bagian kiri Bendung Lekobatu terancam putus total," ujar Aloysius.

11 Februari 2008

75 Persen Hutan Pessel Kritis, Nasrul Abit : Percepat Upaya Rehabilitasi Hutan

Tanggal : 11 Februari 2008
Sumber : http://www.padangekspres.co.id/content/view/1957/1/

Painan, Padek--
Berpijak Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-V/2005, Tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksana Penyelenggaraan Kegiatan GN-RHL tahun 2005. Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan berencana merealisasikannya secara totalitas, terlebih di tahun ini dan masa mendatang. Diketahui upaya Rehabilitasi hutan dan lahan sangat strategis bagi kepentingan nasional. Untuk itu perlu dilakukan percepatan pelaksanaan kegiatan dan diarahkan sebagai gerakan berskala nasional yang dikerjakan secara terencana, terpadu dan menyeluruh, dengan melibatkan stakeholder yang ada, baik dari pihak pemerintah, swasta dan masyarakat luas. Bagi Kabupaten Pesisir Selatan, pelaksanaan kegiatan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) telah dimulai sejak aturan itu diterbitkan 2005 lalu. Sedangkan tahap pelaksanaannya, program GN-RHL lebih diutamakan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas II atau DAS Anai dan sekitarnya. ”Tujuan dari penyelenggaraan kegiatan GN-RHL ini adalah untuk mempercepat upaya rehabilitasi hutan dan lahan pada DAS prioritas yang diarahkan untuk penanggulangan bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan secara terpadu dengan peran serta semua pihak melalui mobilisasi sumber daya,” ungkap Bupati Pesisir Selatan, H Nasrul Abit kepada Padang Ekspres di Painan kemarin.

Sedangkan tanaman yang ditanam di lahan itu berupa jenis kayu-kayuan sebanyak 70 persen dan tanaman pohon serba guna atau Multiple Purpose Tree Species (MPTS) sebanyak 30 persen. Untuk masa yang akan datang direncanakan pada semua Kecamatan dalam Kabupaten ini. Kegiatan rehabilatasi hutan dan lahan tersebut merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat, kata Nasrul Abit, sehingga diharapkan setelah kegiatan dilaksanakan semua pihak akan memelihara kegiatan itu. ”Menyangkut tujuan dan sasaran akhir dari kegiatan dapat dicapai dan perlu dicamkan pada anak-anaknya sebuah motto Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup yaitu Kecil Menanam Dewasa Memanen bisa diraih,” imbuh Nasrul Abit lagi.


Disebutkan, secara indikatif di Kabupaten Pesisir Selatan menurut hasil analisis data digital lahan kritis sampai tahun 2006, diperkirakan luas lahan yang mempunyai potensi kritis seluas 270.819,8 hektar. Sedangkan lahan kritis sampai sangat kritis seluas 56 ribu hektar, selebihnya terdapat hutan agak kritis. Artinya 75 persen dari luas wilayah Kabupaten Pesisir Selatan dalam kondisi kritis. ”Kerusakan hutan dan lahan tersebut telah mengakibatkan bencana alam berupa banjir, tanah longsor dan kekeringan. Masih segar dalam ingatan bersama, banjir bandang melanda Kabupaten ini, ratusan rumah masyarakat dan infrastruktur lainnya hancur akibat bencana itu, sehingga yang sangat merugi adalah masyarakat itu sendiri, bahkan tidak kalah kerugian yang ditanggung Pemerintah,” tukasnya Nasrul mengakhiri.

08 Februari 2008

BBM Kapal Pendopo Cemari Laut

Tanggal : 8 Februari 2008
Sumber : http://202.155.15.208/koran_detail.asp?id=322450&kat_id=61

INDRAMAYU -- Perairan Indramayu, Jawa Barat, dalam bahaya pencemaran lingkungan. Ceceran bahan bakar minyak (BBM) akibat amukan api pada Kapal Tanker Motor (KMT) Pendopo milik PT Pertamina, menggenangi permukaan air laut hingga radius satu kilometer.


''Tumpahan minyak itu bukan berasal dari muatan kargo, tapi dari BBM kapal (MFO/marine fuel oil) di bagian buritan yang mengalami kebocoran. Kami menanganinya dengan memasang water oil boom (untuk melokalisasi tumpahan minyak) dan penggunaan dispersant (bahan pemecah minyak),'' ungkap General Manager PR PT Pertamina, Ifki Sukarya, saat dihubungi Republika, Selasa (5/2).


Kondisi kapal masih terbakar di bagian buritan karena bocornya tanki BBM tersebut. ''Kita berusaha sekuat mungking mencegah rambatan api ke bagian kargo yang bermuatan naphtha (bahan bakar minyak setengah jadi, red),'' kata Ifki.


Kepala Bagian Perlindungan Lingkungan Kesehatan Keselamatan Kerja (LK-3) PT Pertamina Unit Pengolahan (UP) VI Balongan, Suhendar Wijaya, mengaku sudah mengirim peralatan berupa navy boom untuk melokalisir tumpahan minyak sepanjang 600 meter dan oil cramer yang bisa menetralkan minyak. ''Semua peralatan itu sudah kita fungsikan,'' katanya.


Kapal MT Pendopo yang dinakhodai Yance Palele, merupakan kapal tenker terbesar milik Pertamina. Terbakar dan meledak pada Ahad (27/1) sekitar pukul 19.15 WIB.


Kapal naas itu sedang melakukan bongkar muat naphtha sebanyak 16.200 kiloliter di Single Buoy Morring (SBM) 35.000 yang terletak 12 mil laut dari Pelabuhan Khusus Balongan, Indramayu, ke kilang UP VI Balongan. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, tapi 20 anak buah kapal (ABK), termasuk loading master (LM) yang bertugas mengatur muatan, mengalami shock dan luka bakar.


Sampai kemarin, sejumlah petugas dari LK-3 Pertamina UP VI Balongan, masih berusaha memadamkan kobaran api. ''Untuk saat ini hanya empat tugboat (kapal derek) yang memadamkan kobaran api di KMT Pendopo dengan water cooling,'' kata Ifki.


Pemindahan kapal


Sementara Komandan Pangkalan TNI angkatan Laut (Lanal) Cirebon, Letkol Laut (P) Denih Hendrata, yang memimpin operasi pemadaman kepada wartawan, mengatakan, pada Senin (4/1) upaya pemadaman dihentikan sementara dan hanya dilakukan pemantauan KMT Pendopo dari kejauhan. ''Semua pihak telah bekerja keras agar kobaran api segera dapat dipadamkan. Mereka yang terlibat dalam pemadaman itu merupakan ahli pemadaman minyak Pertamina,'' ujar Denih.

Mengenai langkah menggeser KMT Pendopo menjauhi lokasi pompa pengisian minyak mentah di SBM 35.000 dari pelabuhan khusus Balongan, menurut dia, adalah untuk menyelamatkan aset lain yang lebih penting. Sebab, bila api menjalar ke pipa penyaluran minyak dan kilang Balongan, maka kerugian yang timbul bisa lebih besar lagi.


Namun Kapolres Indramayu AKBP Syamsudin Djanieb menyesalkan terjadinya pemindahan posisi kapal ke daerah pantai Karangsong atau sekitar 7 mil dari posisi semula itu. Pasalnya, akan menyulitkan posisi polisi untuk melakukan penyelidikan lebih jauh atau penyebab terbakarnya KMP Pendopo.