Tanggal : 11 February 2005
Sumber : http://www.korantempo.com/news/2005/2/11/Nusa/41.html
BANTEN -- Kerusakan terumbu karang akibat pencemaran limbah industri di perairan Teluk Banten semakin parah. Tanpa penanganan segera, bukan tidak mungkin terumbu karang yang luasnya lebih dari 150 hektare terancam musnah. "Ini akan berpengaruh langsung pada minimnya persediaan ikan di perairan," kata Kepala Bina Usaha Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten Fatomi di Banten kemarin.
Fatomi mengaku semakin sering menerima pengaduan dari nelayan di pesisir Teluk Banten. Mereka, kata dia, tak lagi mudah mendapat ikan. "Para nelayan terpaksa harus mencari ikan ke tengah laut," katanya.
Menurut dia, kerusakan terumbu karang di perairan Banten itu akibat tingginya tingkat pencemaran pantai berkenaan dengan pembuangan limbah industri ke laut. Limbah industri yang dibuang dalam bentuk cair ini, kata dia, secara kimiawi bisa merusak struktur terumbu karang.
Kerusakan terumbu karang, kata dia, tak hanya terjadi di perairan Teluk Banten, tetapi hampir di semua wilayah pantai Banten, seperti Anyer, Carita, hingga kawasan Ujung Kulon. "Kerusakan paling parah memang terjadi di Teluk Banten karena terlalu tingginya akumulasi pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah industri," ujarnya.
Berkaitan dengan tingginya pencemaran Teluk Banten itu, secara terpisah Kepala Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan (Bapedalda) Provinsi Banten Harmin Lantjumin mengatakan bahwa sekitar 15 ribu industri atau 50 persen dari jumlah industri besar dan sedang di daerah ini belum mengelola instalasi pengolahan limbah cair (IPAL) secara optimal. Akibatnya, kata dia, industri masih menghasilkan limbah yang berpotensi mencemarkan lingkungan. "Mereka masih membuang limbah yang tergolong beracun," ujarnya.
Sesungguhnya, kata Harmin, banyak perusahaan sudah memiliki IPAL, tapi tidak difungsikan. Pihak Bapedalda Banten, kata dia, telah mendesak industri agar memfungsikan IPAL. "Bagi yang belum memiliki, telah diminta memenuhi kewajiban ini sesuai dengan tuntutan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup," katanya.
Berdasarkan data yang diterima dari Bapedalda Banten, kata Harmin, di provinsi ini terdapat 192 ribu meter kubik limbah cair per tahun. Sebesar 40 persen limbah cair berasal dari industri pabrikan. Sisanya berasal dari limbah rumah tangga, termasuk industri pariwisata. "Limbah-limbah itu hampir semua dibuang ke laut," ucapnya.
IPAL, menurut Harmin, sesungguhnya merupakan kewajiban mutlak yang harus dipenuhi pengusaha karena dalam Pasal 20 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup secara jelas dikatakan, semua kegiatan usaha dilarang membuang limbah ke media lingkungan tanpa melakukan pengolahan. faidil akbar
Sumber : http://www.korantempo.com/news/2005/2/11/Nusa/41.html
BANTEN -- Kerusakan terumbu karang akibat pencemaran limbah industri di perairan Teluk Banten semakin parah. Tanpa penanganan segera, bukan tidak mungkin terumbu karang yang luasnya lebih dari 150 hektare terancam musnah. "Ini akan berpengaruh langsung pada minimnya persediaan ikan di perairan," kata Kepala Bina Usaha Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten Fatomi di Banten kemarin.
Fatomi mengaku semakin sering menerima pengaduan dari nelayan di pesisir Teluk Banten. Mereka, kata dia, tak lagi mudah mendapat ikan. "Para nelayan terpaksa harus mencari ikan ke tengah laut," katanya.
Menurut dia, kerusakan terumbu karang di perairan Banten itu akibat tingginya tingkat pencemaran pantai berkenaan dengan pembuangan limbah industri ke laut. Limbah industri yang dibuang dalam bentuk cair ini, kata dia, secara kimiawi bisa merusak struktur terumbu karang.
Kerusakan terumbu karang, kata dia, tak hanya terjadi di perairan Teluk Banten, tetapi hampir di semua wilayah pantai Banten, seperti Anyer, Carita, hingga kawasan Ujung Kulon. "Kerusakan paling parah memang terjadi di Teluk Banten karena terlalu tingginya akumulasi pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah industri," ujarnya.
Berkaitan dengan tingginya pencemaran Teluk Banten itu, secara terpisah Kepala Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan (Bapedalda) Provinsi Banten Harmin Lantjumin mengatakan bahwa sekitar 15 ribu industri atau 50 persen dari jumlah industri besar dan sedang di daerah ini belum mengelola instalasi pengolahan limbah cair (IPAL) secara optimal. Akibatnya, kata dia, industri masih menghasilkan limbah yang berpotensi mencemarkan lingkungan. "Mereka masih membuang limbah yang tergolong beracun," ujarnya.
Sesungguhnya, kata Harmin, banyak perusahaan sudah memiliki IPAL, tapi tidak difungsikan. Pihak Bapedalda Banten, kata dia, telah mendesak industri agar memfungsikan IPAL. "Bagi yang belum memiliki, telah diminta memenuhi kewajiban ini sesuai dengan tuntutan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup," katanya.
Berdasarkan data yang diterima dari Bapedalda Banten, kata Harmin, di provinsi ini terdapat 192 ribu meter kubik limbah cair per tahun. Sebesar 40 persen limbah cair berasal dari industri pabrikan. Sisanya berasal dari limbah rumah tangga, termasuk industri pariwisata. "Limbah-limbah itu hampir semua dibuang ke laut," ucapnya.
IPAL, menurut Harmin, sesungguhnya merupakan kewajiban mutlak yang harus dipenuhi pengusaha karena dalam Pasal 20 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup secara jelas dikatakan, semua kegiatan usaha dilarang membuang limbah ke media lingkungan tanpa melakukan pengolahan. faidil akbar