Tanggal : 18 Februari 2008
Sumber : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=324012&kat_id=23
Surabaya-RoL-- Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) M Syamsul Maarif menyatakan penjualan pasir telah menyebabkan banyak pulau yang hilang.
"Penjualan pasir membuat batas wilayah Indonesia semakin bergeser dan berkurang," katanya dalam seminar nasional 'Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil' di Rektorat ITS Surabaya, Senin.
Di hadapan peserta seminar dalam rangkaian "Ocean Week - 3" itu, ia mengatakan pengelolaan sumber daya pulau kecil seharusnya bersifat normatif economic, bukan positif economic atau animal economic seperti saat ini.
"Saat ini, kita sering menemui praktik penjualan pasir di beberapa pulau kecil yang akhirnya membuat pulau-pulau kecil kita hilang dan tentunya membuat batas kita menjadi bergeser," katanya.
Dalam seminar yang juga menghadirkan pembicara pakar kelautan Dr Daniel M Rosyid dari Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS dan Kepala Jawatan Hidro Oceanografi TNI-AL Laksma TNI Williem Rampangilei itu, ia menyebutkan jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.480 pulau.
"Tapi, 9.634 pulau diantaranya belum bernama, kemudian 92 pulau merupakan pulau terluar dan hanya 4.890 pulau dari 13 provinsi yang telah terdaftar namanya pada kelompok ahli nama tempat badan dunia (UNGEGN) di markas besar PBB di New York," katanya.
Padahal, katanya, pulau-pulau itu memiliki aset yang besar seperti konservasi, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan.
"Pemanfaatan itu terhambat karena sulit dan mahalnya penyediaan prasarana dan sarana publik, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat setempat, kurangnya minat dunia usaha untuk berinvestasi, dan kecilnya skala ekonomi dalam hal aktivitas produksi, transportasi, konsumsi dan administrasi," katanya.
Oleh karena itu, ia berharap ITS mempunyai banyak peran dalam pengelolaan sumber daya nonhayati, karena ITS memiliki penelitian-penelitian mengenai model-model kapal yang cocok dengan karakteristik pulau-pulau kecil di Indonesia.
Hal senada juga diakui Pembantu Dekan IV FTK ITS, Haryo Dwita Armono. "Kontribusi ITS dalam pengembangan pesisir dan pulau-pulau kecil masih sebatas riset dan belum pada pengaplikasian," katanya.
Ia menyebutkan beberapa riset yang telah dilakukan antara lain konversi energi untuk pesisir dan pulau kecil, serta konversi energi arus dan gelombang.
"Kami mengalami kendala pengaplikasian akibat kurangnya dana dan adanya Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003 yang merugikan bagi peneliti dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS)," katanya.
Pendapat berbeda dilontarkan Daniel M Rosyid. " Pendekatan kesejahteraan jauh lebih penting daripada pendekatan kedaulatan, karena itu perlu ada perencanaan dan strategi yang matang dalam pengembangan pulau-pulau kecil, khususnya dari segi wisata," katanya.
Menurut Daniel yang juga pakar pendidikan di Jatim itu,
pengembangan pulau kecil sebagai wisata bahari menjadikan perencanaan transportasi laut menjadi penting, karena pulau-pulau kecil membutuhkan transport yang nyaman dan aman.
"Teknologi yang ada sekarang tidak cocok dengan pengembangan wisata bahari, apalagi musim gelombang tinggi dan angin kencang di perairan. Jika sarana transportasi aman dan nyaman, maka aset-aset 'intangible' (tak terlihat) dapat termanfaatkan," katanya.
Ia menambahkan Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dengan negara kepulauan lainnya, karena Indonesia selama ini selalu menonjolkan kekayaan alam tapi tidak membangun aset "intangible." antara/abi
Sumber : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=324012&kat_id=23
Surabaya-RoL-- Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) M Syamsul Maarif menyatakan penjualan pasir telah menyebabkan banyak pulau yang hilang.
"Penjualan pasir membuat batas wilayah Indonesia semakin bergeser dan berkurang," katanya dalam seminar nasional 'Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil' di Rektorat ITS Surabaya, Senin.
Di hadapan peserta seminar dalam rangkaian "Ocean Week - 3" itu, ia mengatakan pengelolaan sumber daya pulau kecil seharusnya bersifat normatif economic, bukan positif economic atau animal economic seperti saat ini.
"Saat ini, kita sering menemui praktik penjualan pasir di beberapa pulau kecil yang akhirnya membuat pulau-pulau kecil kita hilang dan tentunya membuat batas kita menjadi bergeser," katanya.
Dalam seminar yang juga menghadirkan pembicara pakar kelautan Dr Daniel M Rosyid dari Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS dan Kepala Jawatan Hidro Oceanografi TNI-AL Laksma TNI Williem Rampangilei itu, ia menyebutkan jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.480 pulau.
"Tapi, 9.634 pulau diantaranya belum bernama, kemudian 92 pulau merupakan pulau terluar dan hanya 4.890 pulau dari 13 provinsi yang telah terdaftar namanya pada kelompok ahli nama tempat badan dunia (UNGEGN) di markas besar PBB di New York," katanya.
Padahal, katanya, pulau-pulau itu memiliki aset yang besar seperti konservasi, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan.
"Pemanfaatan itu terhambat karena sulit dan mahalnya penyediaan prasarana dan sarana publik, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat setempat, kurangnya minat dunia usaha untuk berinvestasi, dan kecilnya skala ekonomi dalam hal aktivitas produksi, transportasi, konsumsi dan administrasi," katanya.
Oleh karena itu, ia berharap ITS mempunyai banyak peran dalam pengelolaan sumber daya nonhayati, karena ITS memiliki penelitian-penelitian mengenai model-model kapal yang cocok dengan karakteristik pulau-pulau kecil di Indonesia.
Hal senada juga diakui Pembantu Dekan IV FTK ITS, Haryo Dwita Armono. "Kontribusi ITS dalam pengembangan pesisir dan pulau-pulau kecil masih sebatas riset dan belum pada pengaplikasian," katanya.
Ia menyebutkan beberapa riset yang telah dilakukan antara lain konversi energi untuk pesisir dan pulau kecil, serta konversi energi arus dan gelombang.
"Kami mengalami kendala pengaplikasian akibat kurangnya dana dan adanya Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003 yang merugikan bagi peneliti dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS)," katanya.
Pendapat berbeda dilontarkan Daniel M Rosyid. " Pendekatan kesejahteraan jauh lebih penting daripada pendekatan kedaulatan, karena itu perlu ada perencanaan dan strategi yang matang dalam pengembangan pulau-pulau kecil, khususnya dari segi wisata," katanya.
Menurut Daniel yang juga pakar pendidikan di Jatim itu,
pengembangan pulau kecil sebagai wisata bahari menjadikan perencanaan transportasi laut menjadi penting, karena pulau-pulau kecil membutuhkan transport yang nyaman dan aman.
"Teknologi yang ada sekarang tidak cocok dengan pengembangan wisata bahari, apalagi musim gelombang tinggi dan angin kencang di perairan. Jika sarana transportasi aman dan nyaman, maka aset-aset 'intangible' (tak terlihat) dapat termanfaatkan," katanya.
Ia menambahkan Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dengan negara kepulauan lainnya, karena Indonesia selama ini selalu menonjolkan kekayaan alam tapi tidak membangun aset "intangible." antara/abi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar