17 April 2007

Ancaman Perubahan Iklim Itu Nyata

Tanggal : 17 April 2007
Sumber : http://www.pelangi.or.id/media.php?mid=174


Suara Pembaruan - Isu dampak perubahan iklim (climate change) akhir-akhir ini terus bermunculan di berbagai media massa dan menjadi pembicaraan serius di masyarakat khususnya para pemerhati lingkungan. Bencana kekeringan, banjir, kelaparan, tanah longsor, dan mewabahnya penyakit yang terjadi di beberapa belahan dunia tak terkecuali di Indonesia menjadi tanda-tanda awal perubahan iklim yang harus segera diwaspadai.

Dampak perubahan iklim sudah mengglobal. Dalam buku berjudul Dunia Makin Panas yang diterbitkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup bekerja sama dengan lembaga donor asal Jepang, JICA, dan Yayasan Pelangi Indonesia, disebutkan bahwa secara global ada empat dampak perubahan iklim yakni, pertama mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan. Menurut penelitian, es yang menyelimuti bumi telah berkurang 10 persen sejak tahun 1960 sementara ketebalan es di kutub utara berkurang 42 persen dalam 40 tahun terakhir.

Diperkirakan sejumlah gletser di beberapa pengunungan terkenal antara lain Himalaya, Alpen, dan Kilimanjaro hilang 50-90 persen. Dampak kedua, yakni terjadinya pergeseran musim di mana para ilmuwan memperkirakan bahwa kekeringan akan melanda benua Afrika, Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia rentan terhadap badai dan angin puting beliung, dan tanah longsor.

Ketiga peningkatan permukaan air laut. Badan dunia untuk perubahan iklim (IPCC) menyebutkan dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan muka air laut setinggi 10-25 cm dan tahun 2100 mendatang akan terjadi peningkatan muka air laut 15-95 cm. Kenaikan muka air laut ini telah menyebabkan sebagian daratan di bumi hilang seperti hilangnya 1 persen daratan Mesir, Belanda 6 persen, Bangladesh 17,5 persen. Selain itu dampak keempat adalah dampak-dampak susulan lainnya seperti potensi gagal panen, krisis air bersih, penyebaran penyakit tropis serta punahnya jutaan spesies flora dan fauna.


Kerugian Indonesia

Di Indonesia sendiri dampak perubahan iklim sudah sangat nyata dan bila tidak diantisipasi mulai sekarang, kerugiannya bakal sangat besar. Wakil Ketua Komisi VII DPR, Sonny Keraf, pun segera angkat bicara.

"Dampak perubahan iklim secara global sudah sangat nyata sehingga pemerintah harus melakukan upaya-upaya yang strategis baik ke luar maupun ke dalam negeri guna perbaikan kondisi iklim," ujarnya di Jakarta, Sabtu (14/4).

Perubahan iklim itu memang mulai terasa. Pertama, naiknya suhu udara sebesar 0,3 derajat celcius sejak tahun 1990 dan naik lagi ke angka tertinggi tahun 1998 yaitu di atas 1 derajat Celcius di atas suhu rata-rata tahun 1961-1990.

Kerugian kedua yakni naiknya permukaan air laut. IPCC mencatat telah terjadi kenaikan muka air laut 1-2 meter dalam 100 tahun terakhir dan tahun 2030 permukaan air laut akan bertambah 8-29 cm dari saat ini.

Akibat dari hal itu bisa sungguh fatal di mana diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau, mundurnya garis pantai yang mengakibatkan luas wilayah Indonesia akan berkurang. Kenaikan muka air laut tidak hanya mengancam pesisir pantai tetapi juga di kawasan perkotaan.

Diperkirakan, jika tidak ada tindakan nyata maka tahun 2070, 50 persen dari 2,3 juta penduduk Jakarta Utara tidak lagi memiliki air minum akibat memburuknya kualitas air tanah karena instrusi air laut.

Dalam buku itu juga disebutkan bahwa daerah pesisir yang rawan akan dampak kenaikan muka air laut antara lain, Pantai Utara Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya), Pantai timur Sumatera, Pantai selatan, timur, dan barat Kalimantan, Pantai barat Sulawesi, dan daerah rawa di Papua yang terletak di pantai barat dan selatan.

Kerugian selanjutnya menimpa sektor perikanan dimana kenaikan suhu air laut mengakibatkan alga yang merupakan sumber makanan terumbu karang akan mati dan juga terjadinya migrasi ikan ke daerah yang lebih dingin sehingga Indonesia akan kehilangan beberapa jenis ikan.

Di sektor kehutanan, potensi kebakaran hutan semakin besar Karena meningkatnya suhu udara. Sektor pertanian juga tidak ketinggalan terkena dampak. Perubahan iklim telah mengakibatkan menurunnya produksi hasil-hasil pertanian seperti besar, kacang-kacangan, jagung, dan banyaknya sawah yang tidak berproduksi (puso).

Dari sisi kesehatan, data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1997 menyebutkan tingginya angka kematian yang disebabkan malaria sebesar 1-3 juta per tahun di mana 80 persen di antaranya adalah balita dan anak-anak.

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Tori Kuswardono, menyebutkan banjir besar yang melanda Jakarta awal tahun ini juga merupakan dampak perubahan iklim. Menurut Tori, Jakarta dan daerah lainnya di Indonesia diperkirakan akan terus mengalami rangkaian bencana karena secara pertahanan lingkungan sudah sangat lemah.

"Jangankan ada serangan perubahan iklim dari luar, ekosistem di Indonesia sudah rusak. Ibaratnya, orang sudah sakit flu terkena hujan lagi, jadi tambah payah," katanya.

Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH), Rachmat Witoelar bahkan mengatakan, jika persoalan perubahan iklim ini tidak diselesaikan maka dampak paling ekstrim yang bakal terjadi adalah kepunahan manusia.

Sayangnya sinyalemen yang dilontarkan Menneg LH itu belumlah menjadi hal yang prioritas utama untuk diselesaikan. Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Yayasan Pelangi Indonesia, Nugroho Nurdikiawan mengungkapkan, meskipun dampak perubahan iklim sudah nyata di depan mata, sampai saat ini pemerintah masih belum memiliki peta kerentanan dampak perubahan iklim.

"Pemetaan itu belum ada padahal data itu penting sekali untuk menjadi dasar pembangunan infrastruktur ke depan," katanya.

Usaha Dunia

Kecemasan akan dampak perubahan iklim membuat keperdulian masyarakat internasional akan isu lingkungan global tumbuh yang pada akhirnya menyebabkan isu perubahan iklim menjadi salah satu isu penting dalam agenda politik internasional.

Pada pertengahan tahun 1980-an, berbagai pertemuan awal atau konferensi antar pemerintah mulai diselenggarakan untuk membicarakan masalah perubahan iklim.

Setelah melalui sejumlah pembicaraan maka tahun 1989 dibentuklah badan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) oleh UNEP (United Nations Environment Programme) dan WMO (World Meteorological Organization). IPCC merupakan sebuah lembaga yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia yang bertugas untuk meneliti fenomena perubahan iklim secara ilmiah serta kemungkinan solusinya.

Tidak kurang dari setahun, IPCC lalu mengeluarkan hasil penelitiannya yang pertama, yakni First Assessment Report di mana dalam laporan tersebut dipastikan bahwa perubahan iklim merupakan sebuah ancaman bagi kehidupan seluruh umat manusia.

Pada Desember 1990, PBB secara resmi membentuk sebuah badan antar pemerintah, yaitu Intergovernmental Negotiating Comittee (INC) untuk melakukan negosiasi ke arah konvensi perubahan iklim. Badan ini selanjutnya menyepakati secara konsensus sebuah Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change - UNFCCC).

Tonggak awal perlawanan terhadap perubahan iklim terjadi dalam bulan Juni 1992 yaitu KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, dimana pada kesempatan ini Konvensi Perubahan Iklim mulai ditandatangani.

Konvensi Perubahan Iklim pada akhirnya dinyatakan telah berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994 setelah diratifikasi oleh 50 negara. Tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat aman, sehingga tidak membahayakan sistem iklim global.

Setelah Konvensi Perubahan Iklim diratifikasi, negara-negara peratifikasi atau para pihak, melakukan pertemuan tahunan yang dikenal dengan Pertemuan Para

Conference of the Parties (COP). Conference of the Parties pertama kali diselenggarakan pada tanggal 28 Maret - 7 April 1995 di Berlin, Jerman. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

Tonggak sejarah kembali bergulir pada pertemuan COP3 tahun 1997 yang menghasilkan sebuah komitmen yang terkenal dengan sebutan Protokol Kyoto. Salah satu inti dari protokol itu yakni mewajibkan seluruh negara Annex I (negara-negara industri maju) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) rata-rata sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2012.

Protokol Kyoto itu sendiri bertujuan untuk mengurangi secara keseluruhan emisi 6 jenis GRK, yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfurheksafluorida (SF6).

Tidak ada komentar: