Tanggal : 4 April 2007
sumber : http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=34480
WILAYAH pesisir Sulawesi Selatan memiliki potensi lahan budi daya laut sebesar 600.500 Ha dan potensi lahan tambak seluas 150.000 Ha (Dahuri 2004). Potensi perikanan tangkap Sulawesi Selatan sebesar 620.480 ton/tahun, dengan rincian ; Selat Makassar dengan potensi 307.380 ton/tahun, Laut Flores dengan potensi 168.780 ton/tahun, dan Teluk Bone dengan potensi sebesar 144.320 ton/tahun.
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki areal hutan mangrove seluas 22.353 Ha yang terdiri dari hutan mangrove primer seluas 1.410 Ha dan hutan mangrove sekunder 20.943 Ha, dengan 19 spesies mangrove. Pada wilayah yang berbatasan dengan laut,hutan mangrove didominasi oleh Avicennia dan Sonneratia. Dibelakang zona tersebut ditemui Bruguiera dan Rhizophora, sedang pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daratan ditemukan pandan, ficus, nypa dan biota lain yang menjadi ciri peralihan antara wilayah laut dan daratan.
Habitat mangrove di huni jenis-jenis ikan pemakan detritus dan juga di huni oleh kerang-kerangan, udang, kepiting, beberapa jenis burung, tikus, babi dan kelelawar. Wilayah pantai timur Sulawesi Selatan setiap tahun menjadi area yang paling banyak didatangi oleh burung-burung migratory, terutama yang berasal dari Australia dan New Zealand.
Padang lamun sebagai ekosistem pesisir juga dijumpai pada perairan pantai yang dangkal diantara terumbu karang dan pantai. Di Sulawesi Selatan terdapat/dikenal 7 ginera, yaitu ; Enhalus, Thalassia, Halophila, Halodule, Cymodocea, Syngodium dan Thallassodendrum. Selain berfungsi sebagai penyerap sedimen, padang lamun juga berfungsi sebagai regulator nutrien di perairan pantai sehingga berperan menjadi tempat berkumpulnya organisme renik plankton yang mengundang ikan-ikan untuk meletakkan telurnya hingga menetas. Selain itu, organisme seperti dugong (duyung), moluska dan teripang juga merupakan biota-biota yang sering dijumpai berasosiasi dengan padang lamun.
Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang penting, selain karena peran perlindungan pantai juga menjadi tempat hidup berbagai biota asosiatif seperti rumput laut (algae), cacing laut, molusca, ular laut, bulu babi, teripang, bintang laut dan tidak kurang dari 200 jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Menurut sumber Dokumen Persiapan COREMAP Phase II tahun 2003 bahwa luas total hamparan terumbu karang yang terdapat pada kawasan kepulauan Spermonde dan Taka Bonerate diperkirakan sekitar 600 km2.
Dari sumber lain (Sufri Laude dalam Seminar Maritim Indonesia 1996 mengutip dari sumber penelitian LIPI 1995), Taka Bonerate memiliki atol 2.200 km2 yang merupakan terbesar ke tiga di dunia. Taka Bonerate sebagai Taman Nasional Laut memiliki luas 530.758 Ha (menurut data kehutanan 530.765 Ha dimasukkan sebagai kawasan perairan). Dalam kawasan Taka Bonerate terdapat 167 jenis karang pada terumbu karang, sedikitnya 200 jenis atol, 121 jenis gastropoda, 78 jenis bivalvia dan 1 jenis Scaphoda telah ditemukan. Jenis-jenis komersial penting termasuk Triton, Trochus (lola), kerang hijau, cumi-cumi, gurita dan sponges (kerang lunak). Penyu ditemukan 4 jenis yaitu penyu hijau (Chelonia mydos) dan penyu sisik (Ecetmochelys imbricata) yang populasinya cukup banyak dan dieksploitasi oleh penduduk dan masyarakat dari luar kawasan.
Kapoposang merupakan sebuah pulau yang menjadi bagian dari gugusan pulau-pulau Sangkarang (Spermonde), yang berfungsi sebagai Taman Wisata Laut (dalam peta padu serasi Sulawesi Selatan sebagai kawasan perairan dengan luas 50.000 Ha). Pulau ini memiliki potensi ekologis yang bernilai ekonomis, seperti terumbu karang serta keanekaragaman hayati biota laut. Pulau ini juga memiliki variasi jenis pohon yang jumlahnya melebihi pulau-pulau lain yang termasuk dalam gugusan pulau-pulau Sangkarang (Spermonde).
Potensi terumbu karang selain sebagai penyedia sumber daya perikanan, hamparan terumbu karang juga sebagai potensi penyedia jasa lingkungan seperti objek wisata, sumber bahan baku obat-obatan (Sponge dan Algae) dan lain-lain.
Selain itu pada beberapa wilayah pesisir juga terindikasi mengandung sumber daya minyak, gas bumi dan mineral.
Kondisi Sumberdaya Pesisir dan Laut Sulsel
Sumber daya pesisir dan laut Sulawesi Selatan walaupun potensinya dapat dikatakan besar, namun kondisinya sudah berada pada ambang batas penipisan sumber daya dan ekosistem yang mengkhawatirkan.
Luas hutan mangrove/bakau yang tersisa saat ini 22.353 Ha atau hanya 19,85% dari luas hutan mangrove 112-577 Ha pada tahun 80 – an. Kerusakan yang sama terus berlangsung pada ekosistem padang lamun dan terumbu karang yang tersisa dalam kondisi baik hanya ± 20% dari total terumbu karang Sulawesi Selatan. Demikian pula kondisi terumbu karang Taman Nasional Laut Taka Bonerate yang berdasarkan hasil penelitian LIPI 1995 menemukan kondisi karang yang sangat baik tersisa 6,45%, kondisi baik 22,35%, kondisi kritis 28,39% dan kondisi rusak berat 42,95%. Kondisi terumbu karang tersebut banyak disebabkan eksploitasi sumber daya hayati laut dengan cara-cara destruktif yang tidak ramah lingkungan.
Tingkat pencemaran terhadap lingkungan pesisir dan laut semakin meningkat sejalan dengan makin berkembangnya mobilitas transportasi laut di selat Makassar dan kegiatan-kegiatan industri yang semakin pesat serta limbah domestik (rumah tangga). Pencemaran lain yang terjadi dan tidak pernah diperhitungkan/diperhatikan di Sulawesi Selatan khususnya adalah pencemaran dari limbah yang dihasilkan oleh limbah dari aktifitas budidaya laut (tambak) terhadap ekosistem perairan.
Menurut Dedy Yaniharto (Direktorat Pengkajian Ilmu Kelautan Deputi Bidang Pengkajian Ilmu Dasar dan Terapan BPP Teknologi), aktifitas budidaya secara berlebihan akan menimbulkan dampak negatif dari limbah yang dihasilkan terhadap keseimbangan ekosistem perairan laut dan pantai secara menyeluruh. Diantara 3 (tiga) komoditas laut yang banyak dibudi dayakan seperti rumput laut (sea weeds), kerang (mussel dan oyster) dan ikan (fish culture/farming), maka budi daya kerang dan budi daya ikan penyumbang limbah terbesar yang umumnya berupa unsur fospor (P) dan Nitrogen (N), kedua senyawa ini akan menyuburkan / memperkaya (enrichment) perairan dan meningkatkan biomas pada semua tingkat trofik. Peningkatan biomas perairan mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut terutama pada malam hari. Masalah kualitas air ini diperburuk pula oleh perubahan-perubahan fisik, kimiawi dan biologis yang sejalan dengan peningkatan biomas perairan.
Fenomena lain yang memperlihatkan kondisi pesisir dan laut di Sulawesi Selatan adalah telah banyaknya terjadi pengikisan/abrasi pantai pada beberapa Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Hal ini disebabkan kondisi ekosistem Mangrove, padang lamun, Terumbu karang dan Biota laut lainnya di Sulawesi Selatan yang mulai terdegradasi dan lambat laun akan habis. Untuk itu Potensi Sumberdaya Pesisir dan laut Sulsel perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaannya, khususnya eksploitasi sumber daya hayati laut dengan cara-cara yang destruktif yang tidak ramah lingkungan perlu segera ditindaki secara tegas dan menciptakan kondisi pesisir dan laut di Sulawesi Selatan yang kondusif dan ramah lingkungan serta berbasis masyarakat yang diharapkan nantinya dapat menjaga dan melestarikan Sumberdaya pesisir dan lautnya, sehingga harapan kedepan pengelolaan Wilayah pesisir dan laut diSulsel mampu sejajar dengan Negara-negara Asean lainnya yang sudah lebih maju.
sumber : http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=34480
WILAYAH pesisir Sulawesi Selatan memiliki potensi lahan budi daya laut sebesar 600.500 Ha dan potensi lahan tambak seluas 150.000 Ha (Dahuri 2004). Potensi perikanan tangkap Sulawesi Selatan sebesar 620.480 ton/tahun, dengan rincian ; Selat Makassar dengan potensi 307.380 ton/tahun, Laut Flores dengan potensi 168.780 ton/tahun, dan Teluk Bone dengan potensi sebesar 144.320 ton/tahun.
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki areal hutan mangrove seluas 22.353 Ha yang terdiri dari hutan mangrove primer seluas 1.410 Ha dan hutan mangrove sekunder 20.943 Ha, dengan 19 spesies mangrove. Pada wilayah yang berbatasan dengan laut,hutan mangrove didominasi oleh Avicennia dan Sonneratia. Dibelakang zona tersebut ditemui Bruguiera dan Rhizophora, sedang pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daratan ditemukan pandan, ficus, nypa dan biota lain yang menjadi ciri peralihan antara wilayah laut dan daratan.
Habitat mangrove di huni jenis-jenis ikan pemakan detritus dan juga di huni oleh kerang-kerangan, udang, kepiting, beberapa jenis burung, tikus, babi dan kelelawar. Wilayah pantai timur Sulawesi Selatan setiap tahun menjadi area yang paling banyak didatangi oleh burung-burung migratory, terutama yang berasal dari Australia dan New Zealand.
Padang lamun sebagai ekosistem pesisir juga dijumpai pada perairan pantai yang dangkal diantara terumbu karang dan pantai. Di Sulawesi Selatan terdapat/dikenal 7 ginera, yaitu ; Enhalus, Thalassia, Halophila, Halodule, Cymodocea, Syngodium dan Thallassodendrum. Selain berfungsi sebagai penyerap sedimen, padang lamun juga berfungsi sebagai regulator nutrien di perairan pantai sehingga berperan menjadi tempat berkumpulnya organisme renik plankton yang mengundang ikan-ikan untuk meletakkan telurnya hingga menetas. Selain itu, organisme seperti dugong (duyung), moluska dan teripang juga merupakan biota-biota yang sering dijumpai berasosiasi dengan padang lamun.
Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang penting, selain karena peran perlindungan pantai juga menjadi tempat hidup berbagai biota asosiatif seperti rumput laut (algae), cacing laut, molusca, ular laut, bulu babi, teripang, bintang laut dan tidak kurang dari 200 jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Menurut sumber Dokumen Persiapan COREMAP Phase II tahun 2003 bahwa luas total hamparan terumbu karang yang terdapat pada kawasan kepulauan Spermonde dan Taka Bonerate diperkirakan sekitar 600 km2.
Dari sumber lain (Sufri Laude dalam Seminar Maritim Indonesia 1996 mengutip dari sumber penelitian LIPI 1995), Taka Bonerate memiliki atol 2.200 km2 yang merupakan terbesar ke tiga di dunia. Taka Bonerate sebagai Taman Nasional Laut memiliki luas 530.758 Ha (menurut data kehutanan 530.765 Ha dimasukkan sebagai kawasan perairan). Dalam kawasan Taka Bonerate terdapat 167 jenis karang pada terumbu karang, sedikitnya 200 jenis atol, 121 jenis gastropoda, 78 jenis bivalvia dan 1 jenis Scaphoda telah ditemukan. Jenis-jenis komersial penting termasuk Triton, Trochus (lola), kerang hijau, cumi-cumi, gurita dan sponges (kerang lunak). Penyu ditemukan 4 jenis yaitu penyu hijau (Chelonia mydos) dan penyu sisik (Ecetmochelys imbricata) yang populasinya cukup banyak dan dieksploitasi oleh penduduk dan masyarakat dari luar kawasan.
Kapoposang merupakan sebuah pulau yang menjadi bagian dari gugusan pulau-pulau Sangkarang (Spermonde), yang berfungsi sebagai Taman Wisata Laut (dalam peta padu serasi Sulawesi Selatan sebagai kawasan perairan dengan luas 50.000 Ha). Pulau ini memiliki potensi ekologis yang bernilai ekonomis, seperti terumbu karang serta keanekaragaman hayati biota laut. Pulau ini juga memiliki variasi jenis pohon yang jumlahnya melebihi pulau-pulau lain yang termasuk dalam gugusan pulau-pulau Sangkarang (Spermonde).
Potensi terumbu karang selain sebagai penyedia sumber daya perikanan, hamparan terumbu karang juga sebagai potensi penyedia jasa lingkungan seperti objek wisata, sumber bahan baku obat-obatan (Sponge dan Algae) dan lain-lain.
Selain itu pada beberapa wilayah pesisir juga terindikasi mengandung sumber daya minyak, gas bumi dan mineral.
Kondisi Sumberdaya Pesisir dan Laut Sulsel
Sumber daya pesisir dan laut Sulawesi Selatan walaupun potensinya dapat dikatakan besar, namun kondisinya sudah berada pada ambang batas penipisan sumber daya dan ekosistem yang mengkhawatirkan.
Luas hutan mangrove/bakau yang tersisa saat ini 22.353 Ha atau hanya 19,85% dari luas hutan mangrove 112-577 Ha pada tahun 80 – an. Kerusakan yang sama terus berlangsung pada ekosistem padang lamun dan terumbu karang yang tersisa dalam kondisi baik hanya ± 20% dari total terumbu karang Sulawesi Selatan. Demikian pula kondisi terumbu karang Taman Nasional Laut Taka Bonerate yang berdasarkan hasil penelitian LIPI 1995 menemukan kondisi karang yang sangat baik tersisa 6,45%, kondisi baik 22,35%, kondisi kritis 28,39% dan kondisi rusak berat 42,95%. Kondisi terumbu karang tersebut banyak disebabkan eksploitasi sumber daya hayati laut dengan cara-cara destruktif yang tidak ramah lingkungan.
Tingkat pencemaran terhadap lingkungan pesisir dan laut semakin meningkat sejalan dengan makin berkembangnya mobilitas transportasi laut di selat Makassar dan kegiatan-kegiatan industri yang semakin pesat serta limbah domestik (rumah tangga). Pencemaran lain yang terjadi dan tidak pernah diperhitungkan/diperhatikan di Sulawesi Selatan khususnya adalah pencemaran dari limbah yang dihasilkan oleh limbah dari aktifitas budidaya laut (tambak) terhadap ekosistem perairan.
Menurut Dedy Yaniharto (Direktorat Pengkajian Ilmu Kelautan Deputi Bidang Pengkajian Ilmu Dasar dan Terapan BPP Teknologi), aktifitas budidaya secara berlebihan akan menimbulkan dampak negatif dari limbah yang dihasilkan terhadap keseimbangan ekosistem perairan laut dan pantai secara menyeluruh. Diantara 3 (tiga) komoditas laut yang banyak dibudi dayakan seperti rumput laut (sea weeds), kerang (mussel dan oyster) dan ikan (fish culture/farming), maka budi daya kerang dan budi daya ikan penyumbang limbah terbesar yang umumnya berupa unsur fospor (P) dan Nitrogen (N), kedua senyawa ini akan menyuburkan / memperkaya (enrichment) perairan dan meningkatkan biomas pada semua tingkat trofik. Peningkatan biomas perairan mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut terutama pada malam hari. Masalah kualitas air ini diperburuk pula oleh perubahan-perubahan fisik, kimiawi dan biologis yang sejalan dengan peningkatan biomas perairan.
Fenomena lain yang memperlihatkan kondisi pesisir dan laut di Sulawesi Selatan adalah telah banyaknya terjadi pengikisan/abrasi pantai pada beberapa Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Hal ini disebabkan kondisi ekosistem Mangrove, padang lamun, Terumbu karang dan Biota laut lainnya di Sulawesi Selatan yang mulai terdegradasi dan lambat laun akan habis. Untuk itu Potensi Sumberdaya Pesisir dan laut Sulsel perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaannya, khususnya eksploitasi sumber daya hayati laut dengan cara-cara yang destruktif yang tidak ramah lingkungan perlu segera ditindaki secara tegas dan menciptakan kondisi pesisir dan laut di Sulawesi Selatan yang kondusif dan ramah lingkungan serta berbasis masyarakat yang diharapkan nantinya dapat menjaga dan melestarikan Sumberdaya pesisir dan lautnya, sehingga harapan kedepan pengelolaan Wilayah pesisir dan laut diSulsel mampu sejajar dengan Negara-negara Asean lainnya yang sudah lebih maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar