Tanggal : 18 April 2007
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/iptek/2007/04/18/brk,20070418-98186,id.html
TEMPO Interaktif, Jakarta:
Setelah melaut semalaman, kapal pukat "langgai" yang dikemudikan Kamiso di perairan Jaring Halus, Langkat, tiba-tiba dihadang dua perahu boat. Langit subuh yang mendung dan disertai hujan gerimis membuat nelayan berusia 37 tahun itu tak begitu waspada ketika para perompak menyerang dia dan dua rekannya.
Bersenjatakan tombak ikan hiu, pedang samurai, pentungan, dan senapan angin, para perompak yang berjumlah 10 orang dengan mudah melumpuhkan warga Kampung Kurnia Belawan itu. Sedangkan dua nelayan lain, Ari dan Rizal, berhasil menyelamatkan diri dengan melompat ke laut.
"Kepala saya dibacok dan dilempar ke laut," kata Kamiso. "Kapal kami pun dibawa kabur berikut hasil tangkapan."
Pengalaman Kamiso pada pertengahan tahun lalu itu membuatnya mengalami kerugian Rp 90 juta. Kamiso dan kedua temannya juga terkatung-katung selama satu jam sebelum ditemukan kapal nelayan lain.
Memang bukan rahasia sampai saat ini perompak masih berkeliaran di perairan Indonesia, terutama di Selat Malaka. Angkatan Laut Malaysia, Indonesia, dan Singapura telah bekerja sama menumpas mereka, tapi perompak masih ada saja.
Serangan perompak itu membuat Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono meminta bantuan radar dan kapal patroli cepat dari pemerintah Amerika Serikat pada 2006. Juwono meminta Kepala Staf Angkatan Laut Amerika Serikat Chief Admiral Michael G. Mullen membantu pembangunan Intergrated Maritime Surveillance System. Sistem radar di sepanjang Selat Malaka ini diharapkan bisa mengisi kemampuan TNI Angkatan Laut agar bisa efektif bekerja sama dengan Angkatan Laut Singapura.
Tapi tak lama lagi putra Indonesia bisa membuat sendiri radar pengawas pantai, yang bisa mendeteksi para perompak ataupun kapal nelayan asing ilegal. Sistem radar buatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini juga bisa dipakai untuk mengatur lalu lintas kapal pada saat keluar dan masuk pelabuhan, sehingga mencegah kecelakaan atau tabrakan, terutama pada malam hari atau ombak besar.
Perairan Cilegon yang tak pernah sepi dilintasi kapal-kapal penumpang dan niaga, dari Tanjung Priok menuju Selat Malaka atau sebaliknya, akan menjadi tempat uji coba prototipe radar itu pada 2008. "Pantai Cilegon amat cocok untuk pengetesan karena dilewati banyak kapal, termasuk kapal motor penumpang 'roro' Merak-Bakauheni," kata Mashury, Kepala Bidang Telekomunikasi Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI.
Pembuatan radar maritim ini telah dirintis LIPI bekerja sama dengan International Research Centre for Telecommunications and Radar Technological University Delft, Belanda, sejak 2006. LIPI menangani perangkat keras, Delft membagi teknologi perangkat lunaknya. LIPI berharap radar pengawas pantai, yang semua perangkat kerasnya dibuat sendiri oleh para peneliti lembaga itu, bisa mendeteksi semua kapal yang melintas di perairan Indonesia.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Masbah Siregar mengatakan pembuatan radar pengawas pantai ini adalah suatu bentuk terobosan untuk mengatasi ancaman embargo di kemudian hari. "Kami mencoba bikin radar dengan komponen yang bisa dibeli di pasar bebas," kata Masbah. "Tidak bisa diembargo."
Masbah menuturkan, lembaga itu pernah diminta untuk membantu TNI Angkatan Udara untuk memperbaiki pesawat tempur yang rusak. "Kami bisa membetulkan, tapi komponennya tak bisa dibeli di pasar bebas," katanya.
Pengalaman seperti itu menjadi cambuk bagi Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI untuk merakit radar, yang sistem dan komponennya bisa mandiri. Tak cuma radar pengawas pantai yang bisa dibuat. Sebab, sejak 2005 LIPI juga bekerja sama dengan Delft untuk membuat radar yang bisa digunakan untuk mendeteksi obyek di bawah permukaan tanah.
Selain bebas embargo, radar buatan LIPI juga jauh lebih murah dibanding radar sejenis yang ada di pasaran. "Mungkin cuma sepersepuluhnya," kata Mashury. "Pada saat ini, pemerintah harus mengalokasikan dana miliaran rupiah untuk pembelian radar. Jadi pemerintah bisa lebih berhemat."
Mashury mengaku radar buatan LIPI memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan radar pulsa yang sekarang banyak digunakan di Indonesia. Radar ini sengaja dipilih berjenis frequency-modulated continuous wave (FMCW) karena pembuatan perangkat kerasnya jauh lebih mudah daripada radar pulsa. "Konsumsi daya radar pulsa itu besar sehingga lebih sukar dibuat," kata Mashury. "Komponen radar pulsa juga sulit diperoleh, prosesnya enam bulan, karena harus beli di Amerika Serikat."
Pemancar radar ini juga cukup luas. Meski dayanya kecil, radar ini bisa mendeteksi kapal-kapal sampai beberapa kilometer di luar horizon. "Nanti bisa diset, apakah kita ingin jangkauan luas untuk kapal besar atau yang memiliki resolusi tinggi sampai ke kapal-kapal kecil," ucap Mashury.
Antena radar, yang dibuat dari jenis microstrip patch array dengan sistem modul, ini menghasilkan desain antena yang ringan sehingga mengurangi biaya pembuatan menara antena. Beban di atas yang ringan membuat ukuran menara antena tak terlalu besar. Implementasi antena modular microstrip patch array pada radar FMCW ini, menurut Mashury, belum ditemukan di literatur sehingga memiliki nilai keterbaruan. "Antena sistem modul ini bisa diperbanyak sesuai dengan kebutuhan," katanya. "Makin banyak makin kuat dan semakin jauh jangkauannya."
Tahun ini, proses perancangan dan realisasi antena, pemancar, serta pengolahan citra radar dijadwalkan telah selesai dan dilanjutkan dengan proses kalibrasi. Integrasi sistem radar dan pengetesan akan dilakukan pertengahan 2008.
Semula, Mashury ingin mencobanya di Pantai Bangka Belitung yang rawan perompak. Namun, akhirnya Pantai Cilegon dipilih sebagai lokasi pengetesan karena letaknya relatif dekat dengan kantor Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi di Bandung. Apalagi ombak di pantai itu tak terlampau ganas sehingga aman untuk radar baru ini. "Karena lokasi yang kami sewa dari Indonesian Power di PLTU Suralaya hanya 2 sampai 3 meter dari bibir pantai," kata Mashury.
LIPI berencana membangun stasiun permanen di pantai itu. Nantinya radar itu bisa mengamati perairan di Laut Jawa sampai ke Pulau Sumatera.
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/iptek/2007/04/18/brk,20070418-98186,id.html
TEMPO Interaktif, Jakarta:
Setelah melaut semalaman, kapal pukat "langgai" yang dikemudikan Kamiso di perairan Jaring Halus, Langkat, tiba-tiba dihadang dua perahu boat. Langit subuh yang mendung dan disertai hujan gerimis membuat nelayan berusia 37 tahun itu tak begitu waspada ketika para perompak menyerang dia dan dua rekannya.
Bersenjatakan tombak ikan hiu, pedang samurai, pentungan, dan senapan angin, para perompak yang berjumlah 10 orang dengan mudah melumpuhkan warga Kampung Kurnia Belawan itu. Sedangkan dua nelayan lain, Ari dan Rizal, berhasil menyelamatkan diri dengan melompat ke laut.
"Kepala saya dibacok dan dilempar ke laut," kata Kamiso. "Kapal kami pun dibawa kabur berikut hasil tangkapan."
Pengalaman Kamiso pada pertengahan tahun lalu itu membuatnya mengalami kerugian Rp 90 juta. Kamiso dan kedua temannya juga terkatung-katung selama satu jam sebelum ditemukan kapal nelayan lain.
Memang bukan rahasia sampai saat ini perompak masih berkeliaran di perairan Indonesia, terutama di Selat Malaka. Angkatan Laut Malaysia, Indonesia, dan Singapura telah bekerja sama menumpas mereka, tapi perompak masih ada saja.
Serangan perompak itu membuat Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono meminta bantuan radar dan kapal patroli cepat dari pemerintah Amerika Serikat pada 2006. Juwono meminta Kepala Staf Angkatan Laut Amerika Serikat Chief Admiral Michael G. Mullen membantu pembangunan Intergrated Maritime Surveillance System. Sistem radar di sepanjang Selat Malaka ini diharapkan bisa mengisi kemampuan TNI Angkatan Laut agar bisa efektif bekerja sama dengan Angkatan Laut Singapura.
Tapi tak lama lagi putra Indonesia bisa membuat sendiri radar pengawas pantai, yang bisa mendeteksi para perompak ataupun kapal nelayan asing ilegal. Sistem radar buatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini juga bisa dipakai untuk mengatur lalu lintas kapal pada saat keluar dan masuk pelabuhan, sehingga mencegah kecelakaan atau tabrakan, terutama pada malam hari atau ombak besar.
Perairan Cilegon yang tak pernah sepi dilintasi kapal-kapal penumpang dan niaga, dari Tanjung Priok menuju Selat Malaka atau sebaliknya, akan menjadi tempat uji coba prototipe radar itu pada 2008. "Pantai Cilegon amat cocok untuk pengetesan karena dilewati banyak kapal, termasuk kapal motor penumpang 'roro' Merak-Bakauheni," kata Mashury, Kepala Bidang Telekomunikasi Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI.
Pembuatan radar maritim ini telah dirintis LIPI bekerja sama dengan International Research Centre for Telecommunications and Radar Technological University Delft, Belanda, sejak 2006. LIPI menangani perangkat keras, Delft membagi teknologi perangkat lunaknya. LIPI berharap radar pengawas pantai, yang semua perangkat kerasnya dibuat sendiri oleh para peneliti lembaga itu, bisa mendeteksi semua kapal yang melintas di perairan Indonesia.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Masbah Siregar mengatakan pembuatan radar pengawas pantai ini adalah suatu bentuk terobosan untuk mengatasi ancaman embargo di kemudian hari. "Kami mencoba bikin radar dengan komponen yang bisa dibeli di pasar bebas," kata Masbah. "Tidak bisa diembargo."
Masbah menuturkan, lembaga itu pernah diminta untuk membantu TNI Angkatan Udara untuk memperbaiki pesawat tempur yang rusak. "Kami bisa membetulkan, tapi komponennya tak bisa dibeli di pasar bebas," katanya.
Pengalaman seperti itu menjadi cambuk bagi Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI untuk merakit radar, yang sistem dan komponennya bisa mandiri. Tak cuma radar pengawas pantai yang bisa dibuat. Sebab, sejak 2005 LIPI juga bekerja sama dengan Delft untuk membuat radar yang bisa digunakan untuk mendeteksi obyek di bawah permukaan tanah.
Selain bebas embargo, radar buatan LIPI juga jauh lebih murah dibanding radar sejenis yang ada di pasaran. "Mungkin cuma sepersepuluhnya," kata Mashury. "Pada saat ini, pemerintah harus mengalokasikan dana miliaran rupiah untuk pembelian radar. Jadi pemerintah bisa lebih berhemat."
Mashury mengaku radar buatan LIPI memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan radar pulsa yang sekarang banyak digunakan di Indonesia. Radar ini sengaja dipilih berjenis frequency-modulated continuous wave (FMCW) karena pembuatan perangkat kerasnya jauh lebih mudah daripada radar pulsa. "Konsumsi daya radar pulsa itu besar sehingga lebih sukar dibuat," kata Mashury. "Komponen radar pulsa juga sulit diperoleh, prosesnya enam bulan, karena harus beli di Amerika Serikat."
Pemancar radar ini juga cukup luas. Meski dayanya kecil, radar ini bisa mendeteksi kapal-kapal sampai beberapa kilometer di luar horizon. "Nanti bisa diset, apakah kita ingin jangkauan luas untuk kapal besar atau yang memiliki resolusi tinggi sampai ke kapal-kapal kecil," ucap Mashury.
Antena radar, yang dibuat dari jenis microstrip patch array dengan sistem modul, ini menghasilkan desain antena yang ringan sehingga mengurangi biaya pembuatan menara antena. Beban di atas yang ringan membuat ukuran menara antena tak terlalu besar. Implementasi antena modular microstrip patch array pada radar FMCW ini, menurut Mashury, belum ditemukan di literatur sehingga memiliki nilai keterbaruan. "Antena sistem modul ini bisa diperbanyak sesuai dengan kebutuhan," katanya. "Makin banyak makin kuat dan semakin jauh jangkauannya."
Tahun ini, proses perancangan dan realisasi antena, pemancar, serta pengolahan citra radar dijadwalkan telah selesai dan dilanjutkan dengan proses kalibrasi. Integrasi sistem radar dan pengetesan akan dilakukan pertengahan 2008.
Semula, Mashury ingin mencobanya di Pantai Bangka Belitung yang rawan perompak. Namun, akhirnya Pantai Cilegon dipilih sebagai lokasi pengetesan karena letaknya relatif dekat dengan kantor Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi di Bandung. Apalagi ombak di pantai itu tak terlampau ganas sehingga aman untuk radar baru ini. "Karena lokasi yang kami sewa dari Indonesian Power di PLTU Suralaya hanya 2 sampai 3 meter dari bibir pantai," kata Mashury.
LIPI berencana membangun stasiun permanen di pantai itu. Nantinya radar itu bisa mengamati perairan di Laut Jawa sampai ke Pulau Sumatera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar