03 Oktober 2007

Tenggelamnya Pantai Ujong Blang

Tanggal : 3 Oktober 2007

Sumber : http://harian-aceh.com/index.php?option=com_content&task=view&id=621


Pantai Ujong Blang yang merupakan satu-satunya lokasi wisata di Kota Lhokseumawe, kini telah amblas dijilat ombak pasang purnama. Penduduk setempat menuding pembangunan jetty (tanggul pengaman pantai kompleks kilang Arun) sebagai salah satu penyebab abrasi pantai Ujong Blang. Peneliti abrasi pantai itu juga menyatakan hal sama.



MINGGU, 6 Agustus 2006. Hari masih belum terang ketika Siti Sarah mulai membuka warungnya di pantai Ujong Blang, Lhokseumawe. Dia bergegas mengeluarkan meja-meja dan puluhan kursi. Seperti hari-hari minggu lainnya, perempuan 49 tahun itu memang selalu datang lebih awal di tempat wisata itu untuk membuka warung. Para pelancong biasanya sering datang sebelum matahari muncul. Siti Sarah tak mau kehilangan kesempatan.


Namun pada Ahad itu, perasaan Siti tak menentu. Sambil menata isi warung, ia sesekali melihat pantai. Melihat pada ombak besar yang bergulung-gulung dari perairan Selat Malaka. Pemandangan tersebut sebenarnya sudah terbiasa bagi Siti yang telah puluhan tahun membuka usaha di pantai itu. Tapi pagi itu Siti merasa ada yang berbeda. Ombak pasang kali ini dilihatnya lebih besar dan terus membesar hingga pada suatu kesempatan ujung ombak mulai menyentuh warungnya.


Belum sadar dengan apa yang terjadi, ombak telah menyeret warungnya. Tiang-tiang kayu untuk menyangga atap rumbia pondoknya dengan cepat rubuh. Pondok-pondok lain bernasib sama dengan pondok Siti. Jalan utama ke pantai ikut amblas. Beberapa rumah penduduk yang berdekatan dengan pantai ikut dijilat air laut pada hari Minggu itu. Ketika matahari mulai terang, belum ada tanda-tanda ombak pasang akan surut.


Kejadian itu tak hanya berlangsung pagi itu. Malam harinya ombak Selat Malaka kembali menghajar kawasan pantai wisata itu. Penduduk tak berani pulang ke rumah mereka dan memilih tinggal di tenda darurat milik Tim Relawan PMI Kota Lhokseumawe dan Radio Antar Penduduk Indonesia. Ada 18 kepala keluarga yang menginap di tenda. Mereka dibantu oleh Pramuka.


Tiga hari berturut-turut, ombak pasang menghajar pantai Ujong Blang. Selama itu, sudah 18 rumah penduduk dan 22 unit warung seperti yang dimiliki Siti Sarah hancur diterjang air laut.


**


SELASA 10 Juli 2007, 07.15 WIB. Rumah Siti Sarah amblas ke laut. Siti bersama anaknya, Dedi Saputra, 27, dan menantu Nurbaiti Safitri, 26, istri Dedi, tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa menatap pemandangan tersebut dari jarak lima meter.


Empat jam yang lalu, mereka bertiga dibantu dua bocah tanggung, anak dari pasangan Dedi dan Nurbaiti, telah bersusah-payah mengeluarkan semua inventaris dan peralatan isi rumah. Barang-barang tersebut ditumpuk sembarangan di sebrang jalan depan rumah mereka.


Beberapa material rumah seperti daun pintu, jendela dan dinding bagian depan, juga berhasil diselamatkan. “Sebenarnya, kami ingin menyelamatkan semua material konstruksi rumah,” kata Dedi, “tapi, ombak besar itu lebih cepat dari upaya kami melepas satu per satu bahan material rumah.”


Dedi menyapu keringat dingin yang membasahi dahinya. Nurbaiti sibuk memilah-milah barang dan peralatan inventaris di tumpukan yang menggunung di bibir jalan masuk ke lokasi itu. Siti Sarah terkulai lemah. Dalam gerak lambat, kepalanya menggeleng ke kiri dan ke kanan. “Hana lee rumoh lon (hilang sudah rumah ku),” ucap Siti dengan suara lebih kepada dirinya sendiri.


Dua perempuan paruh baya mendekat. Yang satu memeluk Siti. Satunya lagi membelai punggung Siti. Kedua perempuan itu merupakan tetangga Siti. Mereka masih bernasib baik. Rumah mereka tidak roboh—meski ikut terkena jilatan ombak pasang purnama.


Puluhan dan bahkan ratusan rumah warga lainnya di bibir pantai itu sudah dikosongkan. Beberapa di antaranya, mulai dibongkar oleh pemiliknya. Terutama rumah-rumah yang sudah terapung di atas air laut. Semuanya mulai berjaga-jaga. Paling tidak bisa menyelamatkan diri bila ombak besar itu makin melambungkan daya terjangnya.


Warga sertempat khawatir dengan kejadian sepuluh hari yang lalu (30 Juni 2006). Saat itu, ombak pasang purnama juga memporak-porandakan pesisir pantai itu. Delapan rumah tetangga Siti ambruk dalam hitungan menit. Kedelapan rumah itu ialah milik Zakaria, Armiah, Tasmil (Unyil), Zulkifli, Budiman, Nek Banda, Suardi, dan Nuraida.


Hingga kini, korban abrasi itu masih mengungsi di sebuah area kebun kelapa di kawasan pantai Ujong Blang. Walikota Lhokseumawe Munir Usman yang berkunjung ke lokasi abrasi pantai 3 Juli 2007, minta para korban untuk mengungsi ke barak hunian sementara di Desa Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti. Di situ ada delapan barak kosong di antara barak yang masih ditempati para korban tsunami asal Desa Pusong Lama dan Pusong Baru, Lhokseumawe.


Namun delapan keluarga korban abrasi pantai Ujong Blang itu menolak mengungsi ke barak pengungsian di Mon Geudong. “Kami takut, kalau mengungsi ke sana nanti tidak jelas siapa yang akan membantu rumah,” kata Suardi, salah satu korban. Ia berharap Pemko Lhokseumawe membantu rumah untuk mereka yang telah kehilangan tempat tinggal.


Pejabat pada Bagian Sosial Sekretariat Kota Lhokseumawe, Syarifuddin mengatakan, pascaabrasi pemda telah menyalurkan sejumlah bantuan masa panik kepada para korban, baik yang rumahnya hancur total, rusak berat, dan rusak ringan.


“Kepada para korban, telah dibantu uang tunai untuk biaya menyewa rumah atau tempat tinggal yang layak di lokasi lain,” kata Syarifuddin, pertengahan September 2007-10-01.


Adapun bantuan uang tunai tersebut, masing-masing Rp3 juta untuk warga yang rumahnya rusak total, Rp2 juta kepada warga yang rumahnya rusak berat, dan Rp1 juta untuk warga yang rumahnya rusak ringan akibat disapu ombak pasang purnama pada Sabtu 30 Juni dan Selasa 10 Juli 2007.


Warga Hagu Tengah yang menjadi korban abrasi Pantai Ujong Blang kian bertambah menyusul abrasi pantai yang terus meluas. Semua korban hanya 22 keluarga. Rinciannya, sembilan rumah rusak total, enam rusak berat, dan tujuh rusak ringan


*****


PANTAI Ujong Blang terbentang di empat desa yaitu Desa Ujong Blang, Ulee Jalan, Hagu Barat Laut, dan Desa Hagu Tengah. Bagi penduduk empat desa itu, ombak pasang yang bergulung-gulung dari Selat Malaka setiap kali purnama sebenarnya bukan hal yang aneh. Namun mulai terasa menjadi masalah sejak ada tanggul pengaman komplek kilang Arun (jetty).


“Dampak dari tanggul yang dibangun oleh PT. Arun, itu terjadi gerusan atau abrasi di sekitarnya,” kata Ishaq Rizal, master (S2) ilmu lingkungan lulusan UGM yang pernah meneliti kerusakan pantai Ujong Blang, dalam perbincangan dengan penulis di Lhokseumawe, Kamis 30 Juli 2007


“Selain menyebabkan abrasi pantai, terjadi peningkatan sedimen di Muara Krueng Mamplam,” ujar Ishaq yang merupakan putra asli Lhokseumawe.


Hasil penelitian Ishaq, dalam kurun waktu 10 tahun (1990 – 2.000), sepanjang 150 meter hamparan pantai Ujong Blang amblas menjadi laut.


Semasa kecil, Ishaq sering bermain ke lokasi pantai Ujong Blang. Kala itu, pantai di bibir Selat Malaka tergolong amat indah. Berbeda jauh dengan pemandangan saat ini.


“Dulu, sekira akhir tahun 1970-an, ada mangrov. Hutan pantai masih ada,” tutur Ishaq, “kegunaan dari hutan pantai ialah sebagai tanggul alam yang bisa menahan abrasi.”


Berangkat dari hasil risetnya, Ishaq Rizal berkesimpulan bahwa abrasi pantai Ujong Blang berawal dari hilangnya kawasan lindung akibat kehadiran industri dan rumah penduduk di daerah sempadan pantai itu.


“Kehadiran industri dan rumah penduduk turut memberi andil dalam kelestarian lingkungan. Sebab merusak ekosistem yang ada. Kendati sebelumnya sudah dilakukan analisis dampak lingkungan, tetapi tetap tidak menjamin keruakan tidak muncul di masa datang,” papar dosen Politeknik Negeri Lhokseumawe itu


Kondisi tersebut diperparah dengan pola arah gelombang yang terjadi di sekitar pantai—mulai dari barat laut. Arah gelombang tidak tegak lurus. “Dengan pola arah seperti itu, potensi terjadinya pengikisan pantai oleh air laut cukup tinggi,” kata Ishaq.


Penjalasan hampir sama disampaikan Faisal, ahli lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan (LHKP) Aceh Utara. “Abrasi di Muara Krung Mamplan hingga di sepanjang garis pantai Ujong Blang berawal dari tindakan PT Arun mengalihkan dermaganya,” kata Kasi Wasdal pada dinas itu saat ditemui Jum’at 10 Agustus 2007.


Muara Krueng Mamplam dibangun oleh PT. Arun. Sebelumnya, di lokasi itu hanya ada sebuah sungai mati. “Sebelum kehadiran kilang Arun, jarak antara pemukiman penduduk dengan sungai mati itu kurang lebih 80 meter,” kata Kepala Desa Ujong Blang, Teungku Basyir, 51, “jarak sungai dengan garis pantai sekira 150 meter yang merupakan hamparan kebun kelapa.”


Kini, tidak ada lagi kebun kelapa. Pantai sudah dangkal. Di lokasi itu telah dibangun tanggul pengaman pantai sejak abrasi merambah garis pantai yang membentang di lintasan desa-desa lainnya


Selain kebun kepala yang menjadi tanggul alam untuk melindungi pantai, di lokasi itu—sebelum kehadiran kilang Arun—juga terdapat dua lapangan bola kaki.


“Sejak dibangunnya jetty untuk kilang Arun, hingga kini sudah 250 meter lebih kawasan lindung pantai yang amblas menjadi laut,” kata Basyir.


Dulu, nelayan bisa menempatkan pukat darat di sepanjang garis pantai. Sekarang tidak bisa lagi karena lokasi itu sudah sangat dangkal.


Sedikitnya terdapat 15 rumah nelayan digusur oleh PT. Arun ketika membangun kilangnya di bibir sungai mati di ujung desa itu. “Saya terpaksa membangun rumah di lokasi lain dengan jarak yang berjauhan dengan komplek kilang Arun,” ujar Hasbi, 85, warga Desa Ujong Blang lainnya saat ditemui terpisah.


Sebelum kehadiran kilang Arun, lokasi pantai Ujong Blang masih rata hingga melewati batas tanggul pengaman kilang Arun. “Saat itu, kita masih bisa berjalan di garis pantai hingga ke Blang Lancang (sekira 2 kilometer arah barat kilang Arun),” ujar Hasbi, “dulu kaum ibu-ibu pengrajin tiram berjejer hingga ke Blang Lancang. Pemandangan pantai ketika itu amat indah.”


Semua itu tinggal kenangan. “Begitu kilang Arun dibangun, dampaknya amat besar. Hasil laut yang biasanya melimpah akhirnya berkurang seiring terjadi abrasi pantai setelah pihak Arun membangun tanggul pengaman komplek kilang itu,” papar Hasbi lagi.


Abrasi pantai pun terjadi. Selain membangun jetty untuk mengamankan komplek kilangnya, PT. Arun juga membangun tanggul batu pemecah ombak di garis pantai mulai dari bibir Muara Krueng Mamplam. Namun hanya sepanjang kurang lebih 500 meter, atau sebatas melindungi rumah-rumah penduduk di Dusun Krueng Mamplam, Desa Ujong Blang. Padahal, Desa Ujong Blang terdiri dari empat dusun yaitu Krueng Mamplam, Sanggamara, Mesjid, dan Dusun Tanah Lapang.


“Keempat dusun tersebut dilintasi oleh garis pantai,” kata Teungku Basyir Husaini (52), Kepala Desa Ujong Blang, saat ditemui penulis, Sabtu 4 Agustus 2007.


Ketika di lokasi pantai yang membentang Dusun Krueng Mamplam telah ada tanggul batu pemecah ombak, giliran garis pantai di Dusun Sanggamara yang terkena abrasi.


Lambat laun abrasi meluas hingga ke Desa Ulee Jalan dan Hagu Barat Laut. Nelayan menjerit. Mereka tidak hanya kehilangan rumah, tetapi juga kehilangan sarana pendukung untuk mata pencaharian yaitu kapal atau boat akibat diterjang ombak pasang purnama setinggi enam meter.


Pemko dan DPRK Lhokseumawe akhirnya bangun dari “tidur panjang”. Kebetulan ada BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) Aceh–Nias yang lagi “banyak uang” untuk membangun kembali Aceh pascatsunami.


Bermodalkan alasan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK) yang minim, Pemko Lhokseumawe yang direkomendasikan oleh DPRK setempat mengajukan permohonan kepada Pemerintah Aceh dan BRR agar membangunan tanggul batu pemecah ombak di sepanjang garis pantai Ujong Blang yang terkena abrasi.


Permohonan diterima. Akhir tahun 2006, BRR merealisasikan tanggul batu pemecah ombak sepanjang 600 meter, atau membentang hingga ke garis pantai di Desa Hagu Barat Laut. Tinggi tanggul 3 meter dari permukaan laut.


Pembuatan tanggul pemecah ombak itu pun akhirnya ibarat simalakama. Kendati tujuannya bisa dikatakan bagus, tapi bisa menimbulkan masalah baru. Setelah dibangun di satu desa, giliran desa yang berdekatan menjadi sasaran ombak besar akibat tanggul yang dibangun di desa tetangganya.


Benar saja. Pada 30 Juni 2007, delapan rumah warga Desa Hagu Tengah yang berbatasan dengan Hagu Barat Laut, amblas dijilat ombak pasang purnama. Tujuh hari kemudian, giliran satu rumah warga lainnya poran-poranda. Ini terjadi disaat BRR sedang membangun tanggul pemecah ombak sepanjang 300 meter untuk melindungi garis pantai itu.


Ombak lebih cepat dari tanggul. Bisa dibayangkan, andai untuk kawasan pantai di Desa Hagu Tengah sudah dibangun tanggul, desa yang berdekatan seperti Desa Hagu Selatan bisa jadi juga akan menuntut pembangunan tanggul yang sama. Besar kemungkinan ini akan berlanjut hingga ke garis pantai di Desa Kampung Jawa dan Desa Pusong yang merupakan kawasan pusat kota Lhokseumawe.


“Jika pembangunan tanggul hanya sampai ke Desa Hagu Tengah, resiko yang akan ditimbulkan nantinya ribuan masyarakat di Desa Hagu Selatan akan menjadi korban yang sama,” kata Ketua DPRK Lhokseumawe TA. Khalid, di sela meninjau lokasi abrasi pantai Ujong Blang di Desa Hagu Tengah. Khalid minta BRR membangun tanggul pemecah ombak sampai ke garis pantai di Desa Hagu Selatan.


Di kawasan barat komplek kilang Arun, hingga kini masih ada kawasan lindung. Di lokasi itu ada pantai Rancong, juga tempat rekreasi—meski gaung keindahannya tidak sama dengan pantai Ujong Blang.


Tidak jauh dari pantai Rancong terdapat sebuah pulau kecil yang disebut Pulau Semadu. Di lokasi ini, kebun kepala tumbuh subur. Tidak ada abrasi pantai. Tidak ada korban.


Begitu pula komplek kilang Arun. Lokasinya ibarat sebuah pulau kecil. Tumbuhan dan semak-belukar menutupi pagar komplek kilang. Arun menancapkan mata bornya ke perut bumi. Pelan tapi pasti, pantai Ujong Blang telah tenggelam. Amblas ke laut.(ha03)


Solusi dari Pakar Lingkungan


SOLUSI terhadap abrasi pantai Ujong Blang tidak cukup dengan hanya membangun tanggul di sepanjang garis pantai. Pembangunan tanggul harus dibarengi dengan pembangunan breack water (pemecah ombak). Ini untuk mencegah meluasnya abrasi pantai ketika ombak pasang purnama menggulung bibir Selat Malaka itu.


“Tanggul harus tetap dilanjutkan sampai selesai. Akan tetapi itu saja tidak cukup, breack water juga dibutuhkan,” kata Ishaq Rizal.


Selain tanggul dan breack water, di atas bangunan tanggul harus dikembangkan hutan pantai, yakni penanaman pohon manggrov atau bakau.


“Setelah itu dikembangkan, harus dihindari aktivitas yang tinggi di lokasi pantai, paling tidak dalam jarak 50 meter sebagai kawasan sempadan pantai,” ujarnya


Bila di lokasi pantai masih ada aktivitas, maka di samping ancaman abrasi akan ada bahaya lain yaitu infusi air laut. “Air laut masuk ke daratan melalui pori-pori tanah, karena tanah dan pasir tidak ada yang mengikat,” papar Isha


“Ke depan, harus diwaspadai dampak dari pemanasan global. Kita khawatir air laut akan tetap naik,” tambahnya. Solusi untuk itu, selain pembangunan tanggul harus ada breack water, hutan pantai, dan hindari aktivitas yang tinggi di atas pantai.


Ketua Panitia Khusus VII DPR Aceh, Syafruddin Budiman minta Pemko Lhokseumawe segera merelokasi penduduk yang bermukim di pesisir pantai Ujong Blang ke kawasan yang jauh dari bibir Selat Malaka itu. “Tanggul yang dibangun BRR tidak menjamin pemukiman penduduk setempat dari ombak pasang purnama. Sebab, tanggul yang dibangun hanya setinggi tiga meter, sementara ombak pasang purnama mencapai enam meter,” kata dia saat Pansus itu meninjau lokasi abrasi pertengahan Agustus 2007.


Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe Safwan mengatakan, saat ini pemda tengah mencari lokasi yang tepat untuk relokasi penduduk pesisir itu. “Rencana itu memang sudah ada. Tapi, di mana lokasinya sampai saat ini sedang dicari yang tepat,” ujarnya di sela menemani kunjungan Pansus DPR Aceh itu.(ha03)


Kekhawatiran Ancaman Pemanasan Global



KOTA Lhokseumawe sesuai namanya adalah kota teluk: palung laut (lhok) dan seumawe (berputar-putar) atau disebut mata air pada laut. Artinya, secara harfiah, Lhokseumawe sudah merupakan daerah yang dalam dan daerah palung laut. Kota ini merupakan sebuah pulau kecil dengan luas sekitar 11,24 km2. Dihuni sekitar 69.763 jiwa yang tersebar dalam 18 desa/kelurahan. Sebelah Utara, Timur dan Barat dibatasi oleh Laut Selat Malaka, dan sebelah Selatan dipisahkan oleh Sungai Cunda.


Dalam kaitan fenomena-fenomena alam yang kita rasakan dewasa ini, tampaknya harus menjadi warning kepada kita terutama pemerintah untuk memikirkan bagaimana caranya dalam mengahadapi bencana tersebut akibat dari pemanasan global ke depan,” kata Teuku Nazaruddin, mahasiswa program doktoral (S3) Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) USU Medan, saat ditemui pada satu kesempatan, akhir Juli 2007


Nazaruddin mengatakan, fenomena alam seperti terjadinya abrasi pantai Ujong Blang akibat hantaman ombak laut dan semakin banyaknya air laut masuk ke saluran terminal dalam kota pada saat pasang purnama, adalah fakta yang tidak boleh dianggap enteng.


Hasil survey yang dilakukan oleh Konsultan CV. Civil Engineering Consultant pada tahun 1998 yang datanya diambil dari Bappeda Aceh Utara, diketahui bahwa elevasi bagian dalam daratan Kota Lhokseumawe relatif lebih rendah dari bagian luar (pantai). Contohnya, elevasi daratan Desa Ujong Blang +2,243 dan Desa Teumpok Teungoh + 1,671 di atas permukaan air laut pada saat surut (0,000). Ini menunjukkan bahwa Desa Teumpok Teungoh lebih rendah dari Desa Ujong Blang 57 cm. Hasil survey yang dilakukan oleh Konsultan Belanda Sea Defence Consultants tahun 2006 diketahui bahwa tinggi rata-rata air pasang laut sekitar 190 cm terhadap permukaan air laut surut dan ada sekitar 200 hektar daratan Kota Lhokseumawe yang berada di bawah permukaan air laut pada saat rata-rata pasang.


Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa bila pantai dan Desa Ujong Blang terkikis semua oleh air laut, maka Desa Teumpok Teungoh akan banjir pada saat air laut pasang. Hal ini karena pada saat air laut pasang setinggi +190 cm, tinggi daratan desa tersebut hanya +167,10 cm.


“Dengan semakin besarnya dampak pemanansan global ke depan, maka tinggi muka air laut semakin lama semakin tinggi, sehingga di masa yang akan datang daratan Kota Lhokseumawe semakin terancam tenggelam, karena masuknya air laut,” kata Risyawan Bintara, ahli tata ruang kota, saat ditemui awal Agustus 2007.


Untuk mengantisipasi terjadinya banjir air laut dan tenggelamnya Kota Lhokseumawe, Risyawan menyarankan kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe perlu segera dibuat tanggul permanen secara menyeluruh sekeliling pantai Pulau Kota Lhokseumawe setinggi 200 cm. Atau disarankan seluruh elevasi daratan Kota Lhokseumawe ditinggikan sekitar 200 cm, atau tinggi penimbunan untuk lantai dasar setiap bangunan dan jalan raya ditinggikan lebih kurang 200 cm. Dengan cara ini, lambat laut daratan Kota Lhokseumawe akan ditinggikan secara swadaya masyarakat.


Risyawan juga menyarankan pengembangan Kota Lhokseumawe diarahkan ke luar Kecamatan Banda Sakti, yaitu ke arah selatan dari jalan Banda Aceh- Medan, ke Wilayah Kecamatan Muara Dua dan Blang Manga


“Jika terus terjadi abrasi pantai maka permukaan air laut semakin naik, dan Kota Lhokseumawe terancam banjir air laut, bahkan tenggelam. Bila proses dan dampak pemanasan global tidak diantisipasi sedini mungkin, tinggal tunggu waktu, bencana akan tiba,” katanya.(ha03)


PT Arun Hanya “Tutup Mata”



Benarkah abrasi pantai Ujong Blang akibat pembangunan jetty (tanggul pengaman) kilang Arun? Roby Sulaiman hanya tersenyum. Humas PT. Arun itu tak menjawab. Untuk beberapa saat, ia tampak berpikir keras. “Kalau bisa daftar pertanyaannya Anda kirim ke email saya, nanti saya pelajari dan saya koordinasi dengan orang teknis untuk menjawabnya,” ujar Roby saat ditemui 10 Agustus 2007 di Lhokseumawe.


Roby berjanji akan berupaya menanggapi secepat mungkin pertanyaan-pertanyaan terkait abrasi pantai Ujong Blang yang salah satu penyebabnya diduga akibat pembangunan jetty kilang Arun. Sepekan setelah daftar pertanyaan penulis kirimkan ke email Roby Sulaiman, tak ada tanggapan apapun.


Memasuki pertengahan pekan kedua setelah pengiriman daftar pertanyaan, penulis menghubungi telpon genggam Humas PT. Arun itu. “Ya… daftar pertanyaan udah aku terima. Aku lagi sibuk terus ni, nantilah ya,” Roby tidak bisa memastikan kapan memberikan tanggapan atas daftar pertanyaan itu.


Hari-hari berikutnya, tak mudah untuk menemui Roby Sulaiman. Meskipun handphone-nya selalu aktif, namun ia kerap tak mengangkat ketika dihubungi. Hingga tulisan ini penulis kirimkan ke redaksi Harian Aceh, Senin 1 Oktober 2007 untuk dipublikasikan, Humas PT. Arun itu belum juga mau mengangkat telepon genggamnya.


Ia gagal menunaikan janjinya: menanggapi sorotan terhadap perusahaan “penyedot gas” di Arun Lhokseumawe itu berkaitan abrasi pantai Ujong Blang yang terancam tinggal nama.


“Untuk menghindari pengikisan di sepanjang pantai dekat lokasi kilang LNG Arun, perusahaan membangun sarana break water (shore protection) mencegah terjadinya abrasi pantai karena hantaman ombak,” kata mantan Publik Relation PT Arun, Irwandar, kepada penulis pada satu kesempatan awal tahun 2006 lalu.


kehadiran kilang Arun berawal dari ditemukannya sebuah ladang gas alam di desa Arun – sekitar 30 kilometer arah timur kota Lhokseumawe oleh Mobil Oil Indonesia Inc pada tahun 1971.


PT Arun sebagai sebuah perusahaan joint venture yang sahamnya masing-masing dikuasai oleh Pemerintah Indonesia (Pertamina) sebesar 55 persen, Mobil Oil Indonesia Inc 30 persen dan Japan Indonesia LNG Company (JILCO) 15 persen.


PT Arun bertanggung jawab terhadap pengelolaan dan pengoperasian kilang LNG di Blang Lancang, sekitar 9 kilometer arah barat Lhokseumawe dan sekitar 32 kilometer dari ladang sumber gas di Lhoksukon.


Kilang LNG ini efektif mulai berproduksi pada tahun 1977-1978 menghasilkan gas alam cair (LNG) dan minyak kondensat yang diolah khusus sebagai komoditas ekspor, ke Jepang dan Korea Selatan.(ha03)

Tidak ada komentar: