24 Oktober 2007

Ironi Persoalan Air Bersih

Tanggal : 24 Oktober 2007
Sumber : http://202.155.15.208/koran_detail.asp?id=311211&kat_id=13



Sebanyak 13 sungai tercemar bakteri E-coli, termasuk 70 persen air tanahnya.

Indonesia memiliki enam persen potensi air dunia atau 21 persen potensi air di Asia Pasifik. Tapi ironisnya, setiap tahun Indonesia mengalami krisis air bersih secara kualitas maupun kuantitas. Sumber air alam semakin menyusut dan air bersih olahan semakin mahal. Sebanyak 13 sungai yang melewati ibukota Indonesia bahkan tercemar bakteri E-coli, termasuk 70 persen air tanahnya.


Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat akses pelayanan air bersih baru mencapai 39 persen penduduk perkotaan. Di perkotaan yang padat penduduk, dengan rumah-rumah penduduk yang berdekatan, menyebabkan pembuangan kotoran manusia, sampah, dan air limbah rumah tangga mencemari sumber air tanah sehingga tidak layak sebagai air bersih untuk minum dan memasak maupun mencuci bahan makanan.


Bagi masyarakat miskin perkotaan yang tidak mampu berlangganan air bersih dan PAM atau tidak mampu membeli air mineral dalam botol atau isi ulang, berpotensi menderita penyakit 'water borne disease'. Seperti halnya penyakit diare dan penyakit-penyakit lainnya akibat terpolusinya air dengan kumam dan bahan-bahan toksik berbahaya yang dikonsumsi.


Mengutip data Bank Dunia pada 2006, dari 230 juta penduduk Indonesia, terdapat 108 juta penduduk atau sekitar 47 persen yang memiliki akses terhadap air bersih yang aman untuk dikonsumsi. Sementara itu, jumlah penduduk yang memiliki akses jamban yang tidak mencemari sumber air di sekitarnya diperkirakan baru mencapai sekitar 100 juta penduduk. ''Ini berarti sebagian penduduk Indonesia hidup dalam lingkungan yang tak sehat. Jelas dengan kondisi sanitasi yang masih seperti itu penyakit akan mudah menimpa masyarakat,'' ujar Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Umar Anggara Jenie, belum lama ini.


Menurut Umar, bila ditinjau dari Millenium Development Goals (MDGs), maka sumberdaya air daratan atau air tawar selayaknya mendapat perhatian utama, karena menyangkut sisi kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. ''Apalagi jika menyangkut kebutuhan rumah tangga, penyediaan pangan atau pertanian, penyediaan energi, serta kerawanan bencana alam seperti banjir, kekeringan, longsor, dan sebagainya,'' jelasnya.


Tak hanya itu, kata Umar, air dapat menyebabkan penyebaran penyakit pada pengguna air permukaan. Sumber daya air daratan mencakup air meteorik atau hujan, air permukaan, dan air tanah. ''Fungsi kemajemukan air, termasuk persaingan pemanfaatan sumber daya air daratan umumnya menghendaki penyelesaian lintas sektor, lintas disiplin ilmiah, dan bersifat holistik,'' tegasnya.


Lebih jauh Umar menyatakan, masalah air merupakan common denominator bidang bahasan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) IX, 20 hingga 22 November 2007 mendatang. Diharapkan kongres itu secara ilmiah membahas masalah pengelolaan sumberdaya air daratan. Yaitu, kelebihan air atau banjir, kekurangan air atau kekeringan, penurunan kualitas atau pencemaran, dan persaingan pemanfaatan air, serta prediksi dan strategi pemenuhan air bersih di masa depan dalam kaitan dengan pencapaian sasaran MDGs tahun 2015.


Secara garis besar, Umar mengungkapkan, masalah banjir dan kekeringan menyangkut faktor iklim dengan curah hujan yang sangat berbeda antara musim hujan dan musim kering. Selain itu, faktor hidro-orografi lereng hidrolik yang relatif besar, daerah aliran sungai, terlebih daerah serapan hulu yang umumnya relatif kecil, serta tataguna dan tutupan lahan. ''Hal-hal tersebut menyebabkan residence time air di daratan pendek sebelum bermuara ke laut. Sedangkan masalah pencemaran air dan persaingan pemanfaatan air adalah akibat ulah manusia,'' jelasnya.


Beberapa ahli sebelumnya menyatakan, perubahan jangka panjang yang disebabkan oleh perubahan iklim adalah terjadinya perubahan cuaca dan peningkatan suhu global dengan efek berupa kenaikan muka air laut. Kecenderungan yang didapat dari time series beberapa dekade terakhir mengenai temperatur rata-rata harian, kurangnya keberaturan musim, perubahan pola intensitas hujan atau durasi hujan, dapat dianggap sebagai indikator adanya perubahan iklim global.


Bila kecenderungan tersebut terus berlangsung, beberapa model meramalkan terjadinya perubahan mendasar dalam sistem dan tatanan air daratan. Seperti, perubahan pola aliran sungai dari berkelok (meander) menjadi pola aliran menganyam (braided).


Di sisi lain, Umar menyatakan, kenaikan permukaan air laut, selain menyebabkan hilangnya lahan sepanjang pantai akibat abrasi dan perendaman, juga akan berdampak pada makin masuknya air asin ke arah darat pada muara sungai. Ini akan mengurangi ketersediaan air tawar dari sungai di wilayah pesisir.


Selain itu, akan terjadi intrusi air asin ke dalam sistem air tanah yang berdampak pada berkurangnya air tawar untuk keperluan rumah tangga di wilayah pesisir. Padahal, 80 hingga 90 persen keperluan rumah tangga penduduk pedesaan tergantung air tanah. ''Selain itu, dapat meningkatkan kerusakan struktur bangunan dan infrastruktur akibat peristiwa korosi karena pengaruh air asin,'' jelasnya.


Perubahan dalam sistem air tanah diperkirakan juga akan memiliki dampak yang besar terhadap pola pertanian. ''Dengan demikian, perubahan iklim akan menjadi permasalahan di masa depan,'' ingat Umar.


Mengantisipasi adanya permasalahan tersebut, kata Umar, pengelolaan sumber daya air perlu ditopang antara lain oleh penyusunan basis data yang up to date, detail serta representatif secara geografi, dan dasar ilmiah yang kokoh mengenai siklus air beserta komponen penyusunnya. ''Juga, pengembangan teknologi konservasi dan pemanfaatan air, pengembangan kaidah baru pengelolaan sumberdaya air yang holistik, dan peningkatan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap sumberdaya air yang keberadaannya makin langka,'' tegasnya.


Ikhtisar:

  • BPS menunjukkan bahwa tingkat akses pelayanan air bersih baru mencapai 39 persen penduduk perkotaan.
  • Mereka yang tidak dapat mengakses air bersih berpotensi menderita penyakit 'water borne disease'.
  • Kenaikan permukaan air laut menyebabkan makin masuknya air asin ke arah darat pada muara sungai. Ini akan mengurangi ketersediaan air tawar.

Tidak ada komentar: