Sumber : http://www.trobos.com/show_article.php?rid=4&aid=752
Selama 100 tahun terakhir, paras muka air laut naik 1 meter, suhu permukaan bumi naik 1 derajat C.
Dunia kian dipadati manusia. Lebih dari enam-setengah milyar jiwa. Perjuangan memenuhi kebutuhan hidup menjadi kian ganas. Industri wahana modernisasi kian meluas dan kian rakus. Maka polusi pun kian kejam, khususnya ketika CO2 mengangkasa lalu merangsang tumbuhnya kubah maharaksasa efek rumahkaca, hingga pemanasan global (global warming) pun kian mengikislelehkan es kedua kutub bumi. Maka menjadi tak aneh ketika ribuan pakar dunia mengabarkan betapa cepatnya “parasmuka air laut” (SLR = Sea Level Rise) naik.
Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP) Prof Indroyono Soesilo kepada TROBOS mengatakan, setiap kenaikan temperatur bumi 1 derajat C, maka SLR, permukaan air laut naik 1 meter. Kapan itu terjadi? “Faktanya, selama 100 tahun terakhir, paras muka air laut telah naik 1 meter. Ini berarti suhu permukaan bumi telah naik 1 derajat C. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir akan tergsur.
Menanggapi naiknya parasmuka air laut ini, Meneg Lingkungan Hidup – Rahmat Witoelar, beberapa waktu lalu mengatakan, jika kondisi itu terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin pada tahun 2030an sekitar 2.000 pulau milik Indonesia tenggelam. Angka 2.000 tersebut memang masih menjadi bahan perdebatan seru kalangan pakar, termasuk oleh Dr Soebandono Diposaptono, Kasubdit Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan Ditjen P3K-DKP. Berdasarkan perhitungan Soebandono, dengan asumsi rata-rata kelandaian pantai di Indonesia sebesar 2%, maka setiap kenaikan permukaan air laut sebesar 1 m akan mengakibatkan tergenangnya wilayah pesisir pantai sepanjang 50 m ke arah daratan. “Jika total garis pantai yang dimiliki Indonesia sepanjang 81.000 km, maka dalam waktu 100 tahun ke depan wilayah yang akan tergenang bisa mencapai 405.000 ha, atau 4.050 ha/tahun,” ujar Soebandono sambil menunjukkan angka-angka hasil perhitungannya.
Apapun hasil akhirnya, kedua analisa di atas itu patut diwaspadai. Jika benar terjadi, tentu dampaknya niscaya menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Pasalnya, letak sebagian besar kota-kota yang menjadi pusat industri, justru berada di sepanjang pesisir. Bukan hanya itu, wilayah pesisir ini juga umumnya menampung 60% dari total penduduk yang ada di Indonesia. Dari sini bisa dibayangkan, berapa besar kerugian yang akan ditimbulkan akibat tenggelamnya seluruh infrastruktur yang ada di sepanjang pesisir tersebut. “Sayang, belum ada penelitian yang menghitung berapa jumlah kerugian tersebut,” keluh Soebandono.
Hutan mangrove punah
Naiknya suhu SLR juga berdampak pada kerusakan terumbu karang. Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson, Soebandono mengatakan, dampak dari peningkatan suhu SLR yang terjadi pada akhir-akhir ini telah mengakibatkan 30% terumbu karang yang ada di wilayah Indonesia mengalami bleaching (pemutihan). Jika luas total terumbu karang yang ada di Indonesia 51.020 km2, terumbu karang yang mengalami bleaching akibat dari pemanasan global ini sedikitnya telah mencapai 15.306 km2.
Masih berdasarkan penelitian Wilkinson lebih lanjut Soebandono menjabarkan, luasan 1 km2 terumbu karang dapat menghasilkan produk perikanan senilai US$ 15.000/tahun. Lebih dari itu dapat menghemat biaya perlindungan pantai dari abrasi US$ 193.000 dan mempunyai potensi pariwisata bernilai antara 3.000 sampai 500.000 dolar AS. “Bisa kita bayangkan, berapa besar kerugian yang bakal kita tanggung akibat rusaknya terumbu karang ini,” ujar Soebandono.
Tidak hanya merusak ekosistem terumbu karang, efek pemanasan global juga mengancam keberadaan ekosistem hutan bakau (mangrove) yang tumbuh di daerah pesisir. Serangkaian riset mengatakan, apabila laju perubahan SLR mencapai 100 cm per 100 tahun, maka hal itu akan menyebabkan terjadinya pergeseran hutan mangrove ke arah hulu. Dampaknya, 57% kawasan hutan mangrove yang ada di dunia terancam punah.
Secara teoritis Soebandono kembali menjelaskan, kenaikan SLR akan menggenangi sebagian wilayah pesisir, sehingga menyebabkan air laut ini terus merangsek ke arah daratan. Dengan kata lain, intrusi air laut makin jauh ke arah hulu sungai. Akibatnya, salinitas air di wilayah pesisir yang biasanya payau akan bertambah. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada ekosistem hutan mangrove, dengan terus melakukan migrasi ke arah hulu. Masalah baru segera muncul jika tempat migrasi hutan mangrove ini sudah mencapai ke lokasi permukiman penduduk, sehingga tidak mempunyai ruang lagi untuk melakukan migrasi. “Sebagai akibatnya, mangrove akan mengalami kepunahan” keluh Soebandono. Hilangnya hutan mangrove ini dinilai oleh Soebandono akan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Mengingat fungsi hutan mangrove sebagai tempat pemijahan bagi udang dan beberapa jenis ikan. Selain fungsinya sebagai pelindung pantai dari abrasi.
Panen Ikan, Saat El nino dan La nina
Efek lain dari proses pemanasan global ini dituturkan Indroyono. Disamping mengakibatkan naiknya SLR, efek pemanasan global juga mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. “Orang menyebutnya dengan El Nino (kemarau panjang) dan La Nina (kemarau basah),” kata Indro. Terjadinya El Nino dan La Nina ini sebagai akibat dari adanya interaksi antara atmosfer dan lautan. Biasanya jika terjadi El Nino, Indonesia akan mengalami kemarau panjang, sedangkan di wilayah lain (belahan bumi lainnya) justru terjadi badai.
Tetapi sebaliknya keunikan justru terjadi di dunia perikanan. El Nino dan La Nina dinilai sebagai pembawa berkah bagi para nelayan. “Jika terjadi El Nino atau La Nina, nelayan justru panen ikan,” imbuh Indro. “Jika terjadi El Nino, maka ikan akan melimpah di wilayah pantai selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan pantai barat Sumatera. Sedangkan jika terjadi La Nina, keberadaan ikan akan berpindah ke wilayah laut utara Papua, Maluku dan laut Sulawesi. Jadi, nelayan bisa memprediksi, jika selama beberapa bulan ke depan terjadi El Nino, mereka sudah tahu ke mana harus mencari ikan.
“Teoritis,” ujar Ario Damar dari PKSPL-IPB di kesempatan yang berbeda, “pemanasan global juga memberikan peluang pada perubahan arus air laut. Konsekuensinya, kondisi ini juga akan mengubah fishing ground (daerah penangkapan ikan). Ini terjadi karena arus air laut merupakan sarana pengangkut bahan makanan untuk ikan. Selain itu Ario juga menyebutkan, efek negatif dari pemanasan global yang terjadi pada dunia perikanan tangkap, adalah semakin tingginya gelombang air laut. Faktanya, gelombang besar memang sering terjadi pada akhir-akhir ini. Akibatnya, nelayan yang memiliki kapal kecil jadi takut untuk melaut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar