Tanggal : 28 Nopember 2007
Sumber : http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/11/23/o3.htm
Oleh : Ir. IGA Ari Agung, S.Ag., M.Kes.
BENCANA tsunami yang menyapu sebagian besar kawasan Aceh dan Sumatera Utara, dan baru-baru ini di Bali dicengangkan dengan terjangan angin puting beliung, membuat banyak kalangan mulai memikirkan perlunya tata ruang untuk perlindungan di tepi-tepi pantai agar ketika bencana datang tidak banyak menelan korban.
Di Bali konsep tata ruang terkenal dengan istilah Tri Hita Karana, istilah ini sekarang sudah go international. Tetapi kita di Bali tampaknya masih kurang perhatian dengan konsep keharmonisan/kesejahteraan alam ini.
Meminimalkan dampak dari bencana yang akan terjadi, diperlukan suatu program untuk mengurangi pengaruh suatu bencana terhadap masyarakat atau komunitas, perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan, penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan database, pamantauan dan penelitian dan pengembangan.
Meski wilayah Indonesia merupakan negara rawan bencana alam, namun kesadaran masyarakat akan hal ini masih rendah. Di mata seorang ahli geologi, Indonesia ibaratnya adalah sebuah yang mengapung (floating mass) di kerak bumi, dikepung oleh lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Selain itu, Indonesia juga kaya dengan gunung berapi, di mana tercatat 240 gunung berapi yang 70 di antaranya masih aktif.
Badan Meteorologi dan Geofisika menunjukkan bahwa ancaman tsunami ada di kepulauan sepanjang Indonesia dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa hingga Nusa Tenggara lalu ke Banda dan Pasifik. Mahalnya biaya perlindungan tidak menyurutkan para ilmuwan untuk melakukan penelitian dan riset, karena Indonesia memiliki potensi alam yang bisa bermanfaat untuk mengurangi akibat bencana.
Di pesisir timur Lampung, misalnya, kawasan pantai sepanjang 270 km merupakan habitat asli bakau yang mampu menjadi pemecah gelombang dan pelindung pantai. Selain itu kawasan rawa-rawa air tawar juga memiliki fungsi sebagai pengendali banjir. Habitat hutan mangrove yang ditumbuhi bakau (Rhizophora mucronata), api-api (Avicennia alba dan avicennia marina), dan nipah (Nypa fructicans), mampu melindungi pemukiman dari bencana angin dan banjir. Hutan mangrove memiliki fungsi sebagai pemecah gelombang atau air pasang, yang akan menerjang pemukiman wilayah pesisir. Jika ketebalan hutan mangrove sampai satu kilometer lebih, keganasan arus gelombang pasang dapat diredam dan dampaknya dapat dikurangi. Kondisi tersebut akan lebih baik lagi jika hutan mangrove itu didukung dengan habitat terumbu karang yang baik. Empasan gelombang pasang akan lebih tertahan lagi, karena fungsi terumbu karang dan mangrove adalah menahan dan memecah laju gelombang. Selain itu, hutan mangrove juga mampu melindungi pantai dari proses abrasi.
Hutan mangrove merupakan benteng alam terhadap gelombang pasang yang kerap menerjang daerah pantai di Indonesia termasuk pantai-pantai di Bali. Hutan mangrove juga merupakan paru-paru bagi wilayah Badung Selatan yang kebanyakan lahannya berupa lahan tandus dan lahan berbeton. Penurunan luas hutan ini tentu juga tidak sesuai dengan upaya dunia dalam mencegah dampak buruk global warming yang mengancam kehidupan umat manusia. Belum lagi polusi yang ditimbulkannya saat bandara semakin luas, sedangkan filter semakin berkurang. Polusi udara dan polusi suara adalah pencemaran lingkungan yang berdampak buruk bagi alam Bali yang menjadi andalan pariwisatanya dan tentunya bagi masyarakat Bali.
Fakta-fakta menarik didapatkan di daerah korban tsunami Aceh bahwa gelombang tsunami semakin jauh masuk ke daratan jika pantai bertipe teluk dan datar. Hal ini mengisyaratkan perlunya tata ruang untuk wilayah pesisir sehingga berguna dalam penyelamatan jiwa manusia dan perencanaan pembangunan wilayah pesisir. Sehingga pengembangan bandara atau pembangunan lainnya sejauh-jauhnya harus menghindari kesan yang menunjuk pemaksaan maupun pemerkosaan alam yang dilakukan secara sengaja. Pemerintah beserta pihak-pihak terkait perlu mengkaji kembali rencana perluasan landasan pacu Bandara Internasional Ngurah Rai. Harus diupayakan dulu solusi terbaik terhadap masalah lingkungan hidup sebelum melaksanakan perluasan bandara. Misalnya menggalakkan reboisasi lahan tandus dan perluasan lahan hutan mangrove di sekitar batas perluasan bandara. Penulis, dosen MIPA Unhi
1 komentar:
kini semua itu tergantung dengan pemerintah dan masyarakat dunia .harus ada kerja sama antara kedua belah pihak dalam menanggulangi global warming yang semakin besar dampaknya. termasuk para ilmuwan yang dapat menciptakan suatu inovasi baru yg dapat membantu dunia dalam menyelamatkan bumi ini.
Posting Komentar