Tanggal : 18 Februari 2008
Sumber : http://www.suarasurabaya.net/v05/kelanakota/?id=ff8bc57bff7c88c1fcb998572a3328f0200849486
suarasurabaya.net| Maraknya praktik penjualan pasir di beberapa pulau kecil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia membuat batas wilayah Indonesia juga semakin banyak yang bergeser dan berkurang.
Hal tersebut diungkapkan oleh M. SYAMSUL MAARIF, Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan dalam seminar nasional Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Senin (18/02), di Rektorat ITS Surabaya
Seminar yang merupakan rangkaian dari Ocean Week 3 ini juga menghadirkan pembicara DANIEL MOHAMMAD ROSYID pakar kelautan dari Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS dan Laksma TNI WILLIEM RAMPANGILEI Kepala Jawatan Hidro Oceanografi TNI AL.
SYAMSUL MAARIF dalam siaran pers yang diterima suarasurabaya.net mengatakan pengelolaan sumber daya pulau kecil seharusnya bersifat normatif economic, bukan positive economic atau animal economic seperti yang terjadi sekarang ini.
”Saat ini sering kita temui adanya praktik penjualan pasir di beberapa pulau kecil yang akhirnya membuat pulau-pulau kecil kita hilang dan tentunya membuat batas kita (Indonesia-red) jadi bergeser,” ujar pria yang biasa disapa MAARIF ini.
Padahal, menurutnya, menjual aset negara seperti itu sama saja dengan menjual kedaulatan negara sendiri.
“Pulau-pulau kecil adalah aset istimewa bagi negara, oleh karena itu harus dikembangkan secara optimal dan dijaga keberadaannya,” tegasnya.
Dipaparkannya bahwa jumlah pulau yang ada di Indonesia saat ini sebanyak 17.480 pulau, di mana 9.634 pulau belum bernama, 92 merupakan pulau terluar dan hanya 4.890 pulau dari 13 provinsi yang telah terdaftar namanya di UNGEGN, salah satu badan PBB.
“Padahal pulau-pulau ini memiliki aset yang besar seperti konservasi, budidaya laut, pariwisata usaha perikanan dan kelautan,” ujarnya.
Pemanfaatan ini, lanjutnya, terhambat karena sulit dan mahalnya penyediaan prasarana dan sarana publik, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat setempat, kurangnya minat dunia usaha untuk berinvestasi dan kecilnya skala ekonomi dalam hal aktivitas produksi, transportasi, konsumsi dan administrasi.
Sumber : http://www.suarasurabaya.net/v05/kelanakota/?id=ff8bc57bff7c88c1fcb998572a3328f0200849486
suarasurabaya.net| Maraknya praktik penjualan pasir di beberapa pulau kecil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia membuat batas wilayah Indonesia juga semakin banyak yang bergeser dan berkurang.
Hal tersebut diungkapkan oleh M. SYAMSUL MAARIF, Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan dalam seminar nasional Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Senin (18/02), di Rektorat ITS Surabaya
Seminar yang merupakan rangkaian dari Ocean Week 3 ini juga menghadirkan pembicara DANIEL MOHAMMAD ROSYID pakar kelautan dari Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS dan Laksma TNI WILLIEM RAMPANGILEI Kepala Jawatan Hidro Oceanografi TNI AL.
SYAMSUL MAARIF dalam siaran pers yang diterima suarasurabaya.net mengatakan pengelolaan sumber daya pulau kecil seharusnya bersifat normatif economic, bukan positive economic atau animal economic seperti yang terjadi sekarang ini.
”Saat ini sering kita temui adanya praktik penjualan pasir di beberapa pulau kecil yang akhirnya membuat pulau-pulau kecil kita hilang dan tentunya membuat batas kita (Indonesia-red) jadi bergeser,” ujar pria yang biasa disapa MAARIF ini.
Padahal, menurutnya, menjual aset negara seperti itu sama saja dengan menjual kedaulatan negara sendiri.
“Pulau-pulau kecil adalah aset istimewa bagi negara, oleh karena itu harus dikembangkan secara optimal dan dijaga keberadaannya,” tegasnya.
Dipaparkannya bahwa jumlah pulau yang ada di Indonesia saat ini sebanyak 17.480 pulau, di mana 9.634 pulau belum bernama, 92 merupakan pulau terluar dan hanya 4.890 pulau dari 13 provinsi yang telah terdaftar namanya di UNGEGN, salah satu badan PBB.
“Padahal pulau-pulau ini memiliki aset yang besar seperti konservasi, budidaya laut, pariwisata usaha perikanan dan kelautan,” ujarnya.
Pemanfaatan ini, lanjutnya, terhambat karena sulit dan mahalnya penyediaan prasarana dan sarana publik, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat setempat, kurangnya minat dunia usaha untuk berinvestasi dan kecilnya skala ekonomi dalam hal aktivitas produksi, transportasi, konsumsi dan administrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar