26 Januari 2008

RAKER DI DPD RI: Kawasan Laut Termasuk Paru-paru Dunia

Tanggal : 26 Januari 2008
Sumber : http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20080126100326
Oleh : Ruslan Andy Chandra


KabarIndonesia - Gejala pemanasan global dan perubahan iklim yang saling mempengaruhi secara timbal-balik merupakan ancaman strategis, jika tidak terkendali semakin mempercepat pencairan es di kutub dan meningkatkan permukaan air laut secara drastis. Dampaknya, menenggelamkan pulau-pulau kecil dan pesisir, kemudian menimbulkan sedimentasi yang menutup ekosistem pesisir seperti terumbu karang (coral reef), hutan bakau (mangrove), dan padang lamun (sea gress).

Akibat pemananasan global dan perubahan iklim, menurut Menteri Perikanan dan Kelautan Freddy Numberi, Indonesia telah kehilangan 24 pulau. Tapi, Indonesia tidak merasa kehilangan apa-apa karena masih mempunyai 17.000 lebih pulau-pulau. “No body care, semua menganggap biasa-biasa,” jelasnya dalam Rapat Kerja (Raker) Panitia Ad Hoc (PAH) II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Ruang Rapat PAH II DPD Kompleks Parlemen Jakarta, Rabu (23/1), yang dipimpin Ketua PAH II DPD Sarwono Kusumaatmadja. “Masalah ini harus diwaspadai bersama.” lanjut Fredy.

Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, 10 April 2007, akan terjadi kenaikan suhu minimum dan maksimum bumi antara 0,5 hingga 1,5 derajat Celcius, lima tahun mendatang. Fenomena ini jelas mengancam negara-negara kepulauan di Pasifik, yang daratannya rata-rata hanya empat meter di atas permukaan laut (mdpl).

Pemanasan global dan perubahan iklim yang kian tak terkendali hanya akan menenggelamkan negara-negara kepulauan dalam waktu singkat. Mereka yang bergabung dalam Alliance of Small Island States (AOSIS) telah melontarkan Save Our Soul (SOS) berulang kali selama UNFCCC digelar, supaya pertemuan di Bali menghasilkan langkah nyata melindungi negara-negara kepulauan di samudera nan luas itu. Negara-negara kepulauan di Pasifik seperti Marshall Islands, Kiribati, Tuvali, Mikronesia, Palau Elias, dan Vanuatu mengharapkan Indonesia sebagai lead untuk mengangkat isu ini di forum PBB. “Kawasan pulau-pulau mereka juga sangat rentan,” kata Freddy.

DKP mencatat, semula pulau-pulau yang dimiliki Indonesia berjumlah 17.506. Setelah Sipadan dan Ligitan berpindah tangan ke Malaysia, jumlah pulau-pulau berkurang menjadi 17.504 diikuti pemanasan global dan perubahan iklim yang menenggelamkan 24 pulau. Maka, pulau-pulau Indonesia tinggal berjumlah 17.480. Selain pemanasan global dan perubahan iklim, penyebabnya antara lain tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias, eksploitasi berlebihan dan tidak terkendali pasca-otonomi daerah diberlakukan, serta abrasi pantai yang lambat laun mengikis pesisir pulau-pulau kecil.

Tim Nasional telah memverifikasi dan membakukan nama pulau-pulau sampai Juli 2007, yang mencapai 4.981 pulau dari 17.504 pulau di Indonesia. Telah didaftarkan 4.981 pulau saat Konferensi PBB tentang Pembakuan Nama-Nama Rupabumi ke-9 (The 9th United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names/UNCSGN) dan Pertemuan Kelompok Pakar Rupabumi ke-24 (The 24th Session of The United Nations Group of Experts on Geographical Names/UNGEGN) di New York, Amerika Serikat, 21-31 Agustus 2007.

Selama ini, Freddy melanjutkan, hanya kawasan hutan disebut-sebut sebagai paru-paru dunia pemeran utama penyerapan gas karbon dioksida (CO2) selain gas-gas lain seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metan (CH4), dan kloroflourokarbon (CFC) di atmosfir sebagai penyebab efek gas rumah kaca (green house effect). Salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyerap emisi gas rumah kaca itu, karena mengubah CO2 menjadi O2. Sehingga, perusakan hutan berkontribusi terhadap naiknya emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim.

Makanya, pelestarian hutan menjadi tuntunan terdepan para pemerhati lingkungan untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global dan perubahan iklim. “Selama ini, hanya hutan dianggap berkontribusi menyerap CO2,” kata Freddy. Namun sebenarnya bukan hanya hutan yang mampu menyerap CO2. Melalui berbagai organisme laut yang melimpah seperti terumbu karang, hutan bakau, dan padang lamun serta biota kecil seperti plankton atau mikroalga, ekosistem laut ternyata berkemampuan dan menjadi solusi menghadapi fenomena tersebut. Potensi laut menyerap CO2 dapat lebih tinggi dibanding hutan di darat. “Ternyata laut berkontribusi bukan main,” sambungnya.

Freddy memaparkan, laut menyerap CO2 dari atmosfer dalam jumlah yang sangat besar sekitar 245,6 juta ton per tahun atau seperempat CO2 yang dihasilkan pembakaran bahan bakar fosil, kemudian disimpan di laut. Bahkan, laut Indonesia dengan terumbu karang mencapai 75.000 kilometer serta 6,7 juta hektare kawasan konservasi laut berkontribusi menyerap 43,6% karbon dioksida (CO2) dunia. Di beberapa bagian laut, CO2 yang tersimpan hingga berabad-abad berperan sangat besar mengurangi pemanasan global.

Kemampuan laut menyerap CO2 akan berkurang jika ekosistem laut semakin mengalami kerusakan. Indonesia yang memiliki wilayah lautan 70% dari total wilayahnya tentunya memiliki kandungan biomassa yang jauh lebih banyak. Kekayaan ekosistem laut Indonesia berprospek sebagai alternatif menekan pemanasan global dan perubahan iklim di masa mendatang, meskipun sampai sekarang belum mendapatkan perhatian khusus.

Jadi, gejala pemanasan global dan perubahan iklim diperlambat melalui konservasi di bidang kelautan. Selama ini pun, konservasi ditumpukan pada bidang energi dan kehutanan, sementara konservasi bidang kelautan masih terabaikan. Padahal, selama tahun 2007 hingga 2010 tersedia dana global environmental facility US$ 1 miliar, tetapi peruntukannya tidak signifikan dengan konservasi di bidang kelautan.

Bagi Indonesia, program kawasan konservasi laut (marine conservation area) di masa mendatang akan berdampak pada kelestarian ekosistem laut khususnya ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir yang dibentuk tiga ekosistem utama, yaitu ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun merupakan habitat ikan dan sumber kehidupan masyarakat pesisir, serta pelindung pantai sebagai filter alami selain berbagai manfaat lainnya.

Karenanya, Indonesia menargetkan perluasan kawasan konservasi laut dengan menetapkan 20 juta hektar tahun 2020. Indonesia telah mengonservasi kawasan laut seluas 6,7 hektar (ha), kemudian ditingkatkan menjadi 10 juta ha (2010), dan 20 juta ha (2020). Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki kepentingan untuk menyelamatkan sumber daya pesisir itu secara berkelanjutan dari ancaman pemanasan global dan perubahan iklim.

Kawasan konservasi laut adalah wilayah perairan laut termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup tumbuhan dan hewan didalamnya, serta/atau termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial-budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain, baik melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut. Kawasan konservasi laut meliputi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Daerah Perlindungan Laut (DPL)/Daerah Perlindungan Mangrove (DPM), Suaka Perikanan (SP).

Pada konteks pelestarian dimaksud, DKP menargetkan 10% dari ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut tahun 2010. Salah satu program yang mengemban pencapaian dimaksud adalah Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang yang menetapkan marine management area (MMA) dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) di setiap kabupaten/kota.

Ekosistem terumbu karang di wilayah Indonesia saling berhubungan dengan wilayah lainnya juga berhubungan dengan ekosistem terumbu karang di negara lain yang dikenal sebagai interconectivity ecosystem dalam satu ekosistem laut besar (large marine ecosystem). Wilayah terumbu karang di Indonesia mencakupi sebagian kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) yang terbentang dari Malaysia, Philipina, Papua Nugini, Kepulauan Salomon, dan Timor Leste seluas 75 ribu kilometer persegi.

Menurut Freddy, Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mengajukan konsep konservasi terumbu karang sebagai “hutan amazon” bawah laut ke dalam forum Coral Triangle Initiative (CTI) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-15 Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Sydney, Australia, 8-9 September 2007. Salah satu usulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yakni pembentukan Inisiatif Segitiga Terumbu Karang atau Coral Triangle Initiative on Coral Reefs termasuk dalam Deklarasi APEC 2007 oleh Perdana Menteri (PM) Australia John Howard di Bennelobng Lawn, Government House.

Draft rencana aksi CTI disampaikan pula saat Senior Official Meeting (SOM) of Coral Triangle Inisiative (CTI) di Denpasar, Bali, 6-7 Desember 2007. Salah satu Roadmap SOM of CTI adalah merekomendasikan pengesahan rencana aksi itu diikuti pencanangan dimulainya implementasi rencana aksi oleh seluruh negara anggota yang tergabung dalam Coral Triangle/CT-6, antara lain Indonesia, Malaysia, Philipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste ketika World Ocean Conference (WOC) di Manado, Sulawesi Utara, Mei 2009. Mematangkan rencana aksi tersebut, Mei 2008 akan dilaksanakan SOM CTI kedua di Philipina.

Isu penyelamatan terumbu karang melengkapi isu utama Pertemuan Para Pihak (COP/Conference of Parties) 13 dari UNFCCC (United Nations Framework Conventions on Climate Change/Kerangka Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim) di Nusa Dua, Bali, 3-14 Desember 2007, yaitu masalah energi dan konservasi hutan.

Freddy mengatakan, kerjasama enam negara yang tergabung dalam Coral Triangle/CT-6 sangat diapresiasi dunia untuk menyelamatkan bumi. Diharapkan, WOC merekomendasikan rencana aksi CTI menjadi kesepakatan bersama kepala-kepala negara dari enam negara yang tergabung dalam CT-6, ditambah Amerika Serikat (AS) dan Australia yang belakang sangat mendukungnya. Selanjutnya, rencana aksi CTI bisa diadopsi untuk selanjutnya disosialisasikan dalam rangka memobilisasi dana menyelamatkan terumbu karang di kawasan segitiga itu yang memiliki keanekaragaman terbesar dunia.

Menurutnya, langkah CT-6 seharusnya diapresiasi dunia karena yang dilakukan dalam rangka menyelamatkan bumi. Kalau Indonesia bersama negara-negara lain di dunia mengembangkan kerjasama antarkawasan konservasi laut maka bumi akan diselamatkan melalui laut. Indonesia menyerukan negara-negara di dunia membentuk kesepakatan untuk mengambil terobosan baru menyelamatkan kawasan konservasi laut di seluruh belahan dunia. “Kita mendorong agar seluruh dunia mempunyai pemahaman yang sama.”

Dihimbau, setelah negara-negara kepulauan di Pasifik, negara-negara kepulauan di Hindia dan Karibia mengikuti langkah serupa, sehingga seluruh negara-negara kepulauan yang memiliki terumbu karang bersama-sama menyelamatkan bumi secara menyeluruh. “Jadi, akan lahirlah kesepakatan bersama untuk menyelamatkan kawasan laut,” ujar Freddy.

Pasca-WOC, diharapkan terwujud langkah-langkah bersama untuk menyelamatkan kawasan-kawasan lain di dunia. “Pada akhirnya, seluruh dunia berkomitmen bersama menyelamatkan bumi melalui laut,” terangnya.

Meskipun begitu, Freddy mengakui, selama ini perhatian dunia terhadap kawasan laut masih serba kurang sebelum FAO (Food Agriculture Organization) memacu kegiatan perikanan budidaya dengan membentuk branch office Departement of Fisheries and Aquaculture tahun 2007 di Markas FAO, Roma, Italia. Melalui Direktur Jenderal FAO Jacques Diouf, ia mengaku kerap mempertanyakan langkah-langkah badan pangan dunia itu untuk menyelamatkan bumi melalui laut. “Ternyata belum ada inisiatif, kecuali pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Penanganan lain masih parsial,” jelasnya.

Karena itulah, Indonesia berkepentingan untuk mendorong CTI memperoleh bantuan lembaga keuangan dunia seperti World Bank (WB) dan Asian Developement Bank (ADB) dari semula pinjaman atau hibah menjadi bantuan untuk kawasan konservasi laut. Dukungan badan-badan multilateral dan lembaga-lembaga internasional juga diharapkan seperti United Nations Environmental Program (UNEP), UN-Habitat, International Sea Bed Authority (ISBA), Global Forum on Ocean, Coast and Island, Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), International Ocean Institute (IOI), Global Environmental Facility-World Bank, World Wildlife Funds (WWF), The Nature Conservancy (TNC), Conservation International (CI).

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan ini, ke depan seluruh sektor yang berkiprah di wilayah pesisir harus mengadopsi pendekatan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management/ICM) yang memberikan rambu-rambu normatif pemanfaatan sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Kehadiran Undang-Undang Kelautan sebelum tahun 2009 akan memberikan landasan integrated ocean policy yang berfungsi sebagai umbrella bagi ocean affairs serta mengatur tata kelola laut atau ocean governance.

Pengaturan dan kebijakan, baik di bidang kelautan maupun kemaritiman, saat ini masih sektoral yang tersebar antara lain di Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, dan Departemen Perdagangan. Ditambah lagi, otonomi daerah di seluruh tingkat pemerintahan, baik pusat, provinsi, kota maupun kabupaten, berandil dalam pengelolaan kelautan.

Sebagaimana Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang direvisi UU 32/2004, kewenangan pengelolaan terumbu karang telah didesentralisasikan ke pemerintah kabupaten/kota. Terkadang, pemanfaatan sesaat mendorong kerusakan terumbu karang sehingga percepatan degradasinya semakin membesar. Kerusakan terumbu karang telah mengkhawatirkan antara lain disebabkan eksploitasi berlebihan, penambangan pasir, penambangan karang, dan perikanan destruktif (destructive fishing).

Setelah 60 tahun merdeka, Indonesia ternyata belum memiliki integrated ocean policy. “Ironis, sebagai negara kepulauan kita tidak concern membuat integrated ocean policy.” Seharusnya, setelah Deklarasi Juanda tahun 1957 tentang Konsepsi Negara Kepulauan mendorong bangsa Indonesia mengembangkan dan menanamkan kesadaran Wawasan Nusantara diikuti dengan terobosan baru meskipun otonomi daerah telah diberlakukan.

Di sinilah diperlukan integrated ocean policy yang berfungsi sebagai umbrella bagi ocean affairs tanpa mengurangi keberadaan undang-undang sektoral yang tersebar. “Anaknya sudah lahir duluan, ibunya baru lahir belakangan.” Lanjutnya, “Tentu kita kesulitan mencari bentuk yang pas, tetapi melalui kajian akademis akan bisa.”

Begitu pentingnya arti laut bagi kehidupan manusia. Gejala tersebut jangan sampai secara gradual atau drastis sehingga ekosistem laut tidak berkemampuan untuk berevolusi atau menyesuaikan diri dengan perubahan yang baru. Maka, kewajiban manusia untuk menjaganya. Jika terumbu karang, hutan bakau, dan padang lamun telah rusak maka merehabilitasinya memerlukan waktu sangat lama dan biaya tidak sedikit.

Sarwono menyayangkan masih terjadi perbedaan persepsi kewenangan di laut antar departemen/instansi di pusat maupun antara departemen/instansi pusat dengan daerah. Akibatnya, pengawasan kegiatan di laut tidak berjalan semestinya. Padahal, kegiatan di laut tidak hanya di perikanan tetapi juga seperti penyeludupan dan perdagangan manusia serta pembuangan sampah. “Sejauh mana kemajuan integrasi sistem ini,” tanyanya kepada Freddy selaku Ketua Dewan Kelautan Indonesia (DKI), dulunya disebut Dewan Maritim Indonesia (DMI).

Kegiatan tersebut membutuhkan pengawasan melalui sistem Monitoring Control, and Surveillance (MCS) yang didefinisikan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries untuk dilakukan seluruh instansi pemerintah secara bersama-sama. “Dahulu DKP sudah mendahului, tetapi orang (instansi) lain nggak mau.”

Ruang lingkup sistem MCS dapat digambarkan sebagai berikut. Aspek monitoring atau pemantauan mencakup kegiatan dan analisis data untuk menilai kelimpahan (abundance) dan tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan. Aspek control atau pengamatan lapangan dimaksud sebagai mekanisme pengaturan yang antara lain mencakup penyusunan/pemberlakuan peraturan dan perundang-undangan perizinan, pembatasan jumlah dan jenis kapal penangkap dan alat tangkap, zonasi penangkapan musim penangkapan, dan lain-lain. Sedangkan aspek surveillance atau pengawasan diartikan sebagai kegiatan operasional dalam rangka menjamin ditaatinya peraturan- peraturan yang telah ditetapkan dalam pengendalian.

Luther Kombong (anggota DPD asal Kalimantan Timur) mendukung rencana DKP untuk memperluas kawasan konservasi laut. Hanya saja, ia meragukan kesuksesan program tersebut mengingat beberapa bagian kawasan konservasi laut seperti terumbu karang merupakan kewenangan Departemen Kehutanan (Dephut). Beberapa taman wisata laut dan cagar alam laut ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) dan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Sumber : Siaran Pers Bagian Hubungan Antar-Lembaga dan Pemberitaan Sekretariat Jenderal DPD RI.

1 komentar:

Ruslan Andy Chandra mengatakan...

Terima kasih atas berkenannya anda memposting berita dari DPD RI.

Semoga bermanfaat bagi masyarakat Indonesia dan dunia.

Salam hangat,

Ruslan Andy Chandra

081584021244