Tanggal : 5 Januari 2008
Sumber : http://www.tribun-timur.com/view.php?id=59866&jenis=Opini
Oleh : Saida, Staf pengajar Jurusan Budidaya Pertanian UMI dan Mahasiswa S3 Program PLS IPB-Bogor
Perubahan iklim merupakan topik yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Begitu pentingnya pemanasan global ini, para pakar dan pemimpin beberapa negara di dunia Desember 2007 lalu hadir dalam Conference of Parties (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Ke-13 di Bali.
Perubahan iklim mendapat perhatian besar karena mempunyai pengaruh pada sistem hidrologi di bumi, yang pada gilirannya berdampak pada struktur dan fungsi ekosistem alami dan kehidupan manusia.
Pemanasan Global
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur bumi yang berlangsung secara global dari tahun ke tahun.
Pemanasan global ini terjadi karena efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O), dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.
Berbagai literatur menjelaskan tentang adanya kenaikan temperatur global, termasuk Indonesia, yang terjadi pada kisaran 1,5-40 derajat C pada akhir abad 21.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan biogeofisik seperti pelelehan gunung es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan curah hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya beberapa spesies flora dan fauna tertentu, serta terjadi migrasi fauna dan hama.
Dampak yang mudah terlihat adalah frekuensi dan skala banjir serta musim kering yang panjang, yang terjadi di banyak bagian dunia.
Beberapa tahun terakhir ini, terjadi perubahan iklim dan telah dirasakan berdampaknya pada pertanian, ketahanan pangan, kesehatan manusia, dan permukiman, termasuk sumber daya air dan keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman Hayati
International Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi jika tidak ada upaya yang dilakukan secara global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, maka pada tahun 2100 suhu bumi akan meningkat hingga 5,8 derajat C. Dipastikan, sebagian besar ekosistem tidak mampu beradaptasi jika terjadi kenaikan suhu bumi secara global lebih dari dua derajat C dari kondisi yang biasa dialami, maka akan terjadi kepunahan banyak spesies.
Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman di antara mahluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya.
Mencakup keanekaragaman di dalam spesies dan ekosistem (UU No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan united nations convention on biological diversity).
Keanekaragaman hayati terdiri atas tanaman dan binatang yang memberi dasar bagi kehidupan. Beberapa di antaranya digunakan langsung oleh manusia untuk makanan, obat-obatan, pakaian, dan perumahan. Yang lain bermanfaat secara tidak langsung, misalnya binatang kecil dan bakteri di lapisan tanah membuat tanah subur.
Berdasarkan laporan IPCC, April 2007, bahwa kerentanan dan adaptasi akibat perubahan iklim telah menyebabkan sekitar 30 persen tumbuhan dan hewan akan meningkat risiko kepunahannya jika kenaikan temperatur global rata-rata di atas 1,5-2,5 derajat C.
Dampak perubahan iklim sudah terjadi, sekarang dan akan makin menjadi parah di masa yang akan datang. Mulai dari kebakaran hutan, pemutihan karang, gagal panen, dan punahnya beberapa spesies.
Tahun 2007 lalu menjadi tonggak peringatan bagi pemerintahan di seluruh dunia untuk membuat strategi baru untuk adaptasi atas dampak besar yang lain seperti badai, kekeringan, banjir dan naiknya permukaan air laut.
Setiap individu harus beradaptasi pada perubahan yang terjadi, sementara habitatnya akan terdegradasi dan yang tidak dapat beradaptasi akan punah.
Spesies yang tinggal di kutub, seperti penguin, anjing laut, dan beruang kutub, juga akan mengalami kepunahan, akibat mencairnya sejumlah gunung es di kutub.
Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim terhadap spesies sebagai komponen keanekaragaman hayati adalah berupa perubahan dalam kisaran penyebaran, meningkatnya tingkat kelangkaan, perubahan waktu reproduksi, dan perubahan dalam lamanya suatu musim tanam.
Jika dari sekarang tidak dilakukan upaya pencegahan, maka pada tahun 2100, dua pertiga dari species yang ada di bumi akan hilang.
Dengan memperhatikan kontribusi yang cukup besar dari perubahan iklim terhadap hilangnya keanekaragaman hayati, bahasan tentang tantangan pada keanekaragaman hayati akibat dari perubahan iklim menjadi sasaran ke tujuh dalam target keanekaragaman hayati 2010 yang dicanangkan konvensi keanekaragaman hayati untuk mengurangi laju kemerosotannya.
Indonesia sebagai salah satu negara equator, kepulauan, dan hutan tropis basah terbesar ketiga di dunia, dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, dan digolongkan sebagai megadiversity country.
Kupu-kupu saja terdiri atas 121 spesies dan menempati peringkat pertama di dunia. Sebanyak 12 persen dari mamalia dimiliki Indonesia. Ini merupakan peringkat kedua setelah Brazil. Sebanyak 17 persen dari jumlah burung di dunia ada di Indonesia. Untuk kekayaan reptilia dan primata masing-masing menempati peringkat keempat dan peringkat keenam.
Semua kekayaan tersebut berada dalam kawasan Indonesia yang hanya 1,5 persen dari luas dunia. Jika tantangan pada keanekaragaman hayati akibat perubahan iklim tidak diantisipasi dengan upaya-upaya yang memadai, keanekaragaman hayati Indonesia tersebut akan merosot atau bahkan punah dengan cepat.
Terumbu Karang
Pemanasan global juga membawa ancaman terhadap terumbu karang Indonesia, yang merupakan jantung kawasan segitiga karang dunia (heart of global coral triangle). Terumbu karang dunia dalam kondisi yang memprihatinkan.
Terumbu karang sangat sensitif terhadap panas. Kenaikan satu derajat C pada temperatur laut dapat mengakibatkan stres dan pemutihan (bleaching) terumbu karang yang akhirnya akan mati.
Pemutihan terumbu karang paling parah terjadi pada 1998. Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, dan Kepulauan Salomon, merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, khususnya terumbu karang.
Di Kepulauan Seribu, sekitar 95 persen terumbu karang yang berada hingga kedalaman 25 meter mengalami kematian akibat pemutihan karang (Reefs at Risk in Southeast Asia, WRI, 2002).
Pemanasan global dapat menyebabkan kepunahan dari sebagian besar ekosistem dunia yang amat berharga. Bahkan kehidupan liar yang ada di tempat-tempat konservasipun tidak bisa menghindari ancaman besar ini.
Beruang kutub semakin kehilangan habitatnya. Di Antartika, di mana suhu rata-rata telah meningkat sekita 4,5 derajat F dalam 50 tahun terakhir, gumpalan es sebesar pulau Rhode seberat 500 miliar ton terpisah dari es Larsen-B dan jatuh ke laut.
Laporan penelitian World Wildlife Fund (WWF), habitats at risk: Global warming and species loss in terrestrial ecosystems, ditemukan bahwa dengan beberapa asumsi mengenai pemanasan global di masa depan dan dampaknya terhadap beberapa tipe vegetasi utama, kepunahan spesies akan terjadi di kebanyakan ekoregion di bumi.
Laporan tersebut meneliti dampak perubahan iklim pada ekosistem teresterial yang diidentifikasikan WWF pada 200 tempat di mana terdapat keanekaragaman hayati bumi yang paling unik dan kaya.
Apabila tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer dalam 100 tahun mendatang meningkat dua kali lipat, maka lebih dari 80 persen dari ekoregion yang diteliti akan punah.
Sumber : http://www.tribun-timur.com/view.php?id=59866&jenis=Opini
Oleh : Saida, Staf pengajar Jurusan Budidaya Pertanian UMI dan Mahasiswa S3 Program PLS IPB-Bogor
Perubahan iklim merupakan topik yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Begitu pentingnya pemanasan global ini, para pakar dan pemimpin beberapa negara di dunia Desember 2007 lalu hadir dalam Conference of Parties (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Ke-13 di Bali.
Perubahan iklim mendapat perhatian besar karena mempunyai pengaruh pada sistem hidrologi di bumi, yang pada gilirannya berdampak pada struktur dan fungsi ekosistem alami dan kehidupan manusia.
Pemanasan Global
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur bumi yang berlangsung secara global dari tahun ke tahun.
Pemanasan global ini terjadi karena efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O), dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.
Berbagai literatur menjelaskan tentang adanya kenaikan temperatur global, termasuk Indonesia, yang terjadi pada kisaran 1,5-40 derajat C pada akhir abad 21.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan biogeofisik seperti pelelehan gunung es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan curah hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya beberapa spesies flora dan fauna tertentu, serta terjadi migrasi fauna dan hama.
Dampak yang mudah terlihat adalah frekuensi dan skala banjir serta musim kering yang panjang, yang terjadi di banyak bagian dunia.
Beberapa tahun terakhir ini, terjadi perubahan iklim dan telah dirasakan berdampaknya pada pertanian, ketahanan pangan, kesehatan manusia, dan permukiman, termasuk sumber daya air dan keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman Hayati
International Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi jika tidak ada upaya yang dilakukan secara global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, maka pada tahun 2100 suhu bumi akan meningkat hingga 5,8 derajat C. Dipastikan, sebagian besar ekosistem tidak mampu beradaptasi jika terjadi kenaikan suhu bumi secara global lebih dari dua derajat C dari kondisi yang biasa dialami, maka akan terjadi kepunahan banyak spesies.
Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman di antara mahluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya.
Mencakup keanekaragaman di dalam spesies dan ekosistem (UU No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan united nations convention on biological diversity).
Keanekaragaman hayati terdiri atas tanaman dan binatang yang memberi dasar bagi kehidupan. Beberapa di antaranya digunakan langsung oleh manusia untuk makanan, obat-obatan, pakaian, dan perumahan. Yang lain bermanfaat secara tidak langsung, misalnya binatang kecil dan bakteri di lapisan tanah membuat tanah subur.
Berdasarkan laporan IPCC, April 2007, bahwa kerentanan dan adaptasi akibat perubahan iklim telah menyebabkan sekitar 30 persen tumbuhan dan hewan akan meningkat risiko kepunahannya jika kenaikan temperatur global rata-rata di atas 1,5-2,5 derajat C.
Dampak perubahan iklim sudah terjadi, sekarang dan akan makin menjadi parah di masa yang akan datang. Mulai dari kebakaran hutan, pemutihan karang, gagal panen, dan punahnya beberapa spesies.
Tahun 2007 lalu menjadi tonggak peringatan bagi pemerintahan di seluruh dunia untuk membuat strategi baru untuk adaptasi atas dampak besar yang lain seperti badai, kekeringan, banjir dan naiknya permukaan air laut.
Setiap individu harus beradaptasi pada perubahan yang terjadi, sementara habitatnya akan terdegradasi dan yang tidak dapat beradaptasi akan punah.
Spesies yang tinggal di kutub, seperti penguin, anjing laut, dan beruang kutub, juga akan mengalami kepunahan, akibat mencairnya sejumlah gunung es di kutub.
Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim terhadap spesies sebagai komponen keanekaragaman hayati adalah berupa perubahan dalam kisaran penyebaran, meningkatnya tingkat kelangkaan, perubahan waktu reproduksi, dan perubahan dalam lamanya suatu musim tanam.
Jika dari sekarang tidak dilakukan upaya pencegahan, maka pada tahun 2100, dua pertiga dari species yang ada di bumi akan hilang.
Dengan memperhatikan kontribusi yang cukup besar dari perubahan iklim terhadap hilangnya keanekaragaman hayati, bahasan tentang tantangan pada keanekaragaman hayati akibat dari perubahan iklim menjadi sasaran ke tujuh dalam target keanekaragaman hayati 2010 yang dicanangkan konvensi keanekaragaman hayati untuk mengurangi laju kemerosotannya.
Indonesia sebagai salah satu negara equator, kepulauan, dan hutan tropis basah terbesar ketiga di dunia, dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, dan digolongkan sebagai megadiversity country.
Kupu-kupu saja terdiri atas 121 spesies dan menempati peringkat pertama di dunia. Sebanyak 12 persen dari mamalia dimiliki Indonesia. Ini merupakan peringkat kedua setelah Brazil. Sebanyak 17 persen dari jumlah burung di dunia ada di Indonesia. Untuk kekayaan reptilia dan primata masing-masing menempati peringkat keempat dan peringkat keenam.
Semua kekayaan tersebut berada dalam kawasan Indonesia yang hanya 1,5 persen dari luas dunia. Jika tantangan pada keanekaragaman hayati akibat perubahan iklim tidak diantisipasi dengan upaya-upaya yang memadai, keanekaragaman hayati Indonesia tersebut akan merosot atau bahkan punah dengan cepat.
Terumbu Karang
Pemanasan global juga membawa ancaman terhadap terumbu karang Indonesia, yang merupakan jantung kawasan segitiga karang dunia (heart of global coral triangle). Terumbu karang dunia dalam kondisi yang memprihatinkan.
Terumbu karang sangat sensitif terhadap panas. Kenaikan satu derajat C pada temperatur laut dapat mengakibatkan stres dan pemutihan (bleaching) terumbu karang yang akhirnya akan mati.
Pemutihan terumbu karang paling parah terjadi pada 1998. Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, dan Kepulauan Salomon, merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, khususnya terumbu karang.
Di Kepulauan Seribu, sekitar 95 persen terumbu karang yang berada hingga kedalaman 25 meter mengalami kematian akibat pemutihan karang (Reefs at Risk in Southeast Asia, WRI, 2002).
Pemanasan global dapat menyebabkan kepunahan dari sebagian besar ekosistem dunia yang amat berharga. Bahkan kehidupan liar yang ada di tempat-tempat konservasipun tidak bisa menghindari ancaman besar ini.
Beruang kutub semakin kehilangan habitatnya. Di Antartika, di mana suhu rata-rata telah meningkat sekita 4,5 derajat F dalam 50 tahun terakhir, gumpalan es sebesar pulau Rhode seberat 500 miliar ton terpisah dari es Larsen-B dan jatuh ke laut.
Laporan penelitian World Wildlife Fund (WWF), habitats at risk: Global warming and species loss in terrestrial ecosystems, ditemukan bahwa dengan beberapa asumsi mengenai pemanasan global di masa depan dan dampaknya terhadap beberapa tipe vegetasi utama, kepunahan spesies akan terjadi di kebanyakan ekoregion di bumi.
Laporan tersebut meneliti dampak perubahan iklim pada ekosistem teresterial yang diidentifikasikan WWF pada 200 tempat di mana terdapat keanekaragaman hayati bumi yang paling unik dan kaya.
Apabila tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer dalam 100 tahun mendatang meningkat dua kali lipat, maka lebih dari 80 persen dari ekoregion yang diteliti akan punah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar