Tanggal : 2 Agustus 2007
Sumber : http://www.posmetrobatam.com/index.php?Itemid=46&id=1949&option=com_content&task=view
Oleh : Novianto
Tanpa sertifikat, hanya berdasar surat dari kelurahan atau kecamatan, jual beli pulau-pulau kecil di sekawasan Pulau Batam marak dipraktikkan. Tak ada kontrol. Beberapa pulau pun jatuh ke tangan pemilik asing, yang menurut perundang-undangan tidak dibenarkan menguasai tanah di wilayah Indonesia.
Surat elektronik itu berlampiran empat foto. Pengirimnya menyebutkan bahwa itu adalah contoh pemandangan di Pulau Kasu. Luasnya 60 hektare. Pulau itu hendak dijual dengan harga Rp6-7 miliar. Si pengirim penawaran itu minta tolong dicarikan pembeli. Menurut si penerima tawaran itu - ia seorang pengelola perusahaan milik seorang menteri di Jakarta - si pengirim surat elektronik mengaku berasal dari Batam, dan kini menetap di Jakarta.
Benarkah yang ditawarkan itu Pulau Kasu? Berbekal empat foto itu Posmetro memulai penelusuran, Selasa (24/7) lalu. Penulusuran pertama ditujukan ke Kantor Dinas Pertanahan Kota Batam. Ini dinas yang berani. Meski kewenangan mengelolan pertanahan dimungkinkan oleh undang-undang, tak banyak daerah yang membentuknya. Selain Batam, Kota Padang juga membentuknya. Kewenangan dinas ini banyak yang tumpang tindih dengan Badan Pertanahan Nasional. Dinas ini di Batam dibentuk tahun 2002.
“DPRD sempat menolak pembentukannya, karena ada "pesan sponsor" dari pusat. Tahun 2003 baru dinas ini berfungsi,” kata Kepada Dinas Pertanahan Kota Batam Drs H Buralimar yang sebelumnya menjabat Sekretaris Dewan DPRD Batam.
Dari data digital di kantor Dinas Pertanahan Kota Batam, diperkirakan pulau yang ditawarkan itu adalah Pulau Pecung, Pulau Kalong, Pulau Lumba atau Tanjung Ladan, bukan Pulau Kasu. Soalnya, luas Pulau Kasu adalah 301 hektare, jauh dari luas yang disebutkan dalam surat elektronik yang beredar di Jakarta itu.
Tiga pulau yang diduga itu luasnya sekitar 60 hektare. Pulau Pecung 62 hektare, Pulau Kalong 63 hektare, Pulau Lumba 66 hektare dan Pulau Tanjungladan 69 hektare. “Kalau pun itu Pulau Kasu, mungkin tak seluruhnya, hanya kebun yang seluas itu. Mungkin,” kata Buralimar yang baru empat bulan menjabat kepala di Dinas Pertanahan itu.
Buralimar yang pernah menjabat sekretaris camat (sekcam) di Belakangpadang - kecamatan yang melingkupi Pulau Kasu dan pulau-pulau kecil lainnya - mengenal baik kawasan itu. Ia juga tahu praktik penjualan pulau-pulau telah lama berlaku. “Dasarnya alas hak atau surat keterangan tanah yang dikeluarkan lurah. Kadang juga surat tanah dari zaman Belanda dulu,” katanya. Tanah yang diperjualbelikan itu, kata Buralimar, kecil kemungkinannya bersertifikat.
Pembeli tanah atau pulau-pulau itu kebanyakan orang luar, bahkan seringkali orang asing. Ini yang tak tersentuh hukum. “Duitnya punya orang Singapura. Tapi dia beli tanah atas nama orang Indonesia. Ini yang belum ada aturannya,” kata Buralimar.
Inilah yang terjadi dengan Pulau Aur. Pulau yang berjarak kurang satu mil dari Jembatan I Barelang itu kini telah dibeli oleh Warga Negara Singapura keturunan India. Nama pulau pun telah diganti menjadi Pulau Bali.
Untuk mencapai ke pulau ini, kita cukup menumpang dengan pancung-pancung yang mangkal di pelabuhan kecil persis di bawah Jembatan satu. Ongkos menuju pulau itu terbilang cukup murah, hanya Rp20 ribu per penumpang. Dengan menggunakan mesin tempel bertenaga 20 PK, pancung berkapasitas lima orang hanya memakan waktu kurang dari 10 menit.
Pulau tak berpenduduk itu, kini ditata khusus kawasan wisata. Di sana terdapat empat buah kamar yang berdiri kokoh di bibir pantai untuk disewakan. Menurut Mahadi, si penjaga pula bersama istrinya Salma, pulau tersebut dibeli seharga Rp16 juta. Orang Singapura yang membeli pulau tersebut, meminjam nama orang tunya untuk memiliki pulau tersebut.
oleh warga Singapura dari tangan warga Pulau Panjang dengan menggunakan jasa orang tuanya.
"Orang asing kan tak boleh beli tanah di sini, jadi jual beli itu atas nama Ismail, bapak mertua saya," aku Salma.
Sedangkan untuk perawatan pulau diserahkan oleh Mahadi yang dikoordinir oleh Adi dan Iskandar selaku orang kepercayaan warga Singapura tersebut. Adi menurut Salma sering berkunjung ke pulau tersebut untuk memberikan bahan makanan dan bahan pembangunan pulau.
Sedangkan Iskandar dan warga Singapura yang membeli pulau hanya berkunjung sekali setahun. "Biasanya kalau datang mereka satu rombongan, bisa sampai 10 orang. Mereka ke mari dengan jet sky yang disewa dari Marina City," terangnya.
Proses jual beli Pulau Aur ini sudah berlangsung cukup lama, sekitar tujuh tahunan. Jelas pemerintah kecolongan dan tak ada tindakan tegas yang diambil oleh pemerintah.
Apakah hal seperti ini juga akan dialami oleh Pulau Kasu kecil yang kini hendak dijual itu?
Berbekal empat foto dari surat-elektronik tadi, pelacakan Posmetro selanjutnya ditujukan ke lapangan. “Pulau itu jaraknya 20 menit dari Batam, dan 20 menit dari Singapura,” ujar si penerima tawaran itu, mengutip tawaran yang ia terima.
Benar. Jarak tempuh pulau ini dari Pelabuhan Sekupang, Batam, kurang lebih 20 menit. Namun tak ada pancung - perahu kayu atau fiber bermesin tempel - yang langsung ke Pulau Kasu. Angkutan reguler hanya melayani penumpang dari Batam ke Pulau Belakangpadang, tempat Kecamatan Belakangpadang berkantor. Dulu, sebelum Batam berkembang, Kota Administratif Batam berkantor di sini.
"Mau langsung ke Kasu? Carter saja, pulang-pergi Rp400 ribu, saya tunggu," ujar salah seorang penambang pancung di Sekupang. Tawaran itu, memang sempat dipikirkan, namun karena ingin mengenal lebih banyak pulau dan ingin berbual-bual dengan lebih banyak masyarakat, akhirnya perjalanan dipilih lewat Belakangpadang saja.
Ongkos naik pancung dari Sekupang ke Belakangpadang Rp8.000. Pancung-pancung yang menuju ke pulau-pulau kecil se-Kecamatan Belakang Padang, berlabuh dan berangkat dari Pelabuhan 88 yang letaknya bersebelahan dengan pelabuhan utama.
"Sehari hanya satu pancung saja ke Pulau Kasu, kalau mau pulang hari, terpaksa carter pulangnya," ungkap Anwar, penambang pancung Belakang Padang-Kasu.
Menurutnya, dalam seminggu ia hanya tiga hari melayani penumpang dari Kasu ke Belakang Padang, pulang pergi. Ada dua pengusaha pancung yang beroperasi dengan rute yang sama.
"Kami berbagi, kalau tak seperti itu, kita tak makan," jelasnya.
Setiap pagi pancungnya dipenuhi warga Pulau Kasu yang hendak berbelanja ke Belakangpadang. Setiap warga ditarik ongkos Rp20 ribu pulang-pergi. Anwar setia menunggu para penumpangnya yang berbelanja kebutuhan pokok di Belakang Padang.
"Mereka ini sudah langganan. Kalau orang luar, sekali jalan kita tarik Rp15 ribu," lanjutnya. Dengan tiga mesin masing-masing berdaya 40 PK, perjalanan Belakangpadang menuju Kasu hanya menghabiskan waktu tak lebih dari 15 menit.
Sepenjang perjalanan Anwar bercerita kalau Pulau Kasu Kecil memang hendak dijual. Menurutnya, pulau itu dulunya milik Mutadin salah seorang warga setempat.
"Tapi sudah dibeli oleh orang Jepun (Jepang-red), memang baru-baru ini saya dengar mau dijual lagi," ungkapnya.
Pulau Kasu yang dimaksud ternyata adalah Pulau Kasu kecil. Anwar mengingat sudah banyak orang bertampang asing yang berkunjung ke pulau itu. Pada umumnya mereka langsung menggunakan pancung carteran, atau dijemput oleh Andang. "Yang jaga Pulau Kasu Kecil itu Andang, kalau mau lebih jelas, langsung saja ke sana," anjurnya.
Rumah Andang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari tambatan pancung di Pulau Kasu. Pria asli NTB yang bernama asli Iskandar. Ia mengaku sudah sejak 1970 berada di Pulau Kasu kecil. "Dulu hanya beberapa orang saja penghuni pulau ini. Itu pun tinggal di Kasu kecil bukan di Kasu baru ini," ungkapnya.
Penduduk yang dulunya tinggal di Pulau Kasu kecil mulai menyebrang dan membangun rumah di Pulau Kasu besar, yang hanya dipisahkan oleh alur air, rawa dan hutan bakau yang berjarak sekitar 300 meter.
Sementara rumah-rumah yang di Pulau Kasu kecil dibiarkan begitu saja. "Semuanya pindah termasuk saya, karena di Kasu besar waktu itu lahan kosong, luas lagi," ungkap Andang.
Lantaran Pulau Kasu kecil telah tak berpenghuni dan terbiarkan tidur begitu saja, Mutadin - yang sudah meninggal - salah seorang warga dan anggota TNI, pada tahun 1990 membeli pulau tersebut dari masyarakat.
"Memang saat itu tak ada yang punya sertifikat, tapi kita kan punya surat pegangan dari kelurahan dan kecamatan" lanjutnya.
Andang menaksir Pulau Kasu kecil itu luasnya sekitar 20 hektare. Pulau ini ditawarkan bersama dua pulau kecil tak bernama yang luasnya sekitar setengah hektare. Semuanya dibeli oleh Mutadin dari warga seharga Rp20 juta.
"Tapi tak sampai dua bulan pulau ini di tangan Pak Mutadin, lalu dijual kembali ke Sujatno Supardi, pengusaha Batam yang beristrikan orang Jepang, seharga Rp500 juta," Kata Andang.
Di tangan Sujatno Supardi, Kasu kecil mulai maju dan dikenal oleh orang luar. Pasalnya di sana telah dibangun cottage-cottage yang disewakan bagi para pengunjung. "Dulu sempat ramai, orang dari mana-mana singgah ke sini, ada yang dari Australi, Singapura, Malaysia, orang Batam pun ramai yang ke sini. Sama Pak Sujatno, saya yang disuruh menjaga dan mengelola," ungkapnya.
Namun keramaian itu menurutnya tak berjalan lama, lantaran berbagai hal yang Andang pun tak tahu tiba-tiba Sujatno memutuskan untuk menjual kembali pulau tersebut.
"Tapi sempat lama juga tak ada yang beli, tahun 2005 baru pulau ini dibeli oleh Bu Gunarni Gunawan seharga Rp2 miliar," jelasnya.
Sebelum pulau tersebut dibeli, Sujatno telah membagikan sebagian tanah dari pulau tersebut atas nama anak-anaknya.
"Saya juga dapat dua hektare, mungkin karena selama ini saya yang rawat, makanya dia kasih saya tanah, selebihnya atas nama keluarga besar Pak Sujatno," ujarnya sembari memperlihatkan surat keterangan riwayat penggunaan tanah yang dikeluarkan oleh Lurah Kasu Yusuf M, tertanggal 14 Januari 2004 dan diketahui oleh Camat Belakang Padang Husnul Hafil.
Menurut Andang tanahnya itu telah disertifikatkan juga, tapi saat ini sertifikatnya dipegang oleh Gunarni Gunawan atau yang kerap dipanggilnya dengan sebutan Bu Narni.
Kini pulau tersebut kembali mau dilego seharga Rp3 miliar- ini harga yang disebutkan Andang, bandingkan dengan harga yang ditawarkan di Jakarta. Sudah banyak orang asing yang berkeinginan memiliki pulau tersebut.
“Ada yang dari Brunei, Australia, pun dari Malaysia. Kemarin datang H Kamal, orang Brunei dalam dua minggu dia datang tiga kali ke sini khusus menanyakan pulau ini, saya bilang saja memang mau dijual saya tawarkan ke dia Rp3 miliar dia tertarik, namun hingga saat ini belum ada jawaban dari Bu Narni," ungkapnya.
Begitu juga dengan orang Australia dan Malaysia yang datang sekitar empat bulan lalu. "Mereka tertarik, tapi Bu Narni belum kasih jawaban, padahal dia sendiri yang bilang ke saya untuk dicarikan pembelinya," kata Andang.
Begitulah, bagi masyarakat di pulau-pulau di sekitar Batam, penjualan pulau adalah praktik yang wajar. Dan orang asing adalah pembeli potensial. Kawasan Batam diketahui terdiri dari 403 pulau besar dan sebagian lagi adalah pulau kecil. Mengingat kedekatannya dengan Singapura, dan lemahnya pengawasan serta peraturan yang bisa diakali, pulau-pulau kecil itu adalah barang dagangan yang menggiurkan.***
Benarkah yang ditawarkan itu Pulau Kasu? Berbekal empat foto itu Posmetro memulai penelusuran, Selasa (24/7) lalu. Penulusuran pertama ditujukan ke Kantor Dinas Pertanahan Kota Batam. Ini dinas yang berani. Meski kewenangan mengelolan pertanahan dimungkinkan oleh undang-undang, tak banyak daerah yang membentuknya. Selain Batam, Kota Padang juga membentuknya. Kewenangan dinas ini banyak yang tumpang tindih dengan Badan Pertanahan Nasional. Dinas ini di Batam dibentuk tahun 2002.
“DPRD sempat menolak pembentukannya, karena ada "pesan sponsor" dari pusat. Tahun 2003 baru dinas ini berfungsi,” kata Kepada Dinas Pertanahan Kota Batam Drs H Buralimar yang sebelumnya menjabat Sekretaris Dewan DPRD Batam.
Dari data digital di kantor Dinas Pertanahan Kota Batam, diperkirakan pulau yang ditawarkan itu adalah Pulau Pecung, Pulau Kalong, Pulau Lumba atau Tanjung Ladan, bukan Pulau Kasu. Soalnya, luas Pulau Kasu adalah 301 hektare, jauh dari luas yang disebutkan dalam surat elektronik yang beredar di Jakarta itu.
Tiga pulau yang diduga itu luasnya sekitar 60 hektare. Pulau Pecung 62 hektare, Pulau Kalong 63 hektare, Pulau Lumba 66 hektare dan Pulau Tanjungladan 69 hektare. “Kalau pun itu Pulau Kasu, mungkin tak seluruhnya, hanya kebun yang seluas itu. Mungkin,” kata Buralimar yang baru empat bulan menjabat kepala di Dinas Pertanahan itu.
Buralimar yang pernah menjabat sekretaris camat (sekcam) di Belakangpadang - kecamatan yang melingkupi Pulau Kasu dan pulau-pulau kecil lainnya - mengenal baik kawasan itu. Ia juga tahu praktik penjualan pulau-pulau telah lama berlaku. “Dasarnya alas hak atau surat keterangan tanah yang dikeluarkan lurah. Kadang juga surat tanah dari zaman Belanda dulu,” katanya. Tanah yang diperjualbelikan itu, kata Buralimar, kecil kemungkinannya bersertifikat.
Pembeli tanah atau pulau-pulau itu kebanyakan orang luar, bahkan seringkali orang asing. Ini yang tak tersentuh hukum. “Duitnya punya orang Singapura. Tapi dia beli tanah atas nama orang Indonesia. Ini yang belum ada aturannya,” kata Buralimar.
Inilah yang terjadi dengan Pulau Aur. Pulau yang berjarak kurang satu mil dari Jembatan I Barelang itu kini telah dibeli oleh Warga Negara Singapura keturunan India. Nama pulau pun telah diganti menjadi Pulau Bali.
Untuk mencapai ke pulau ini, kita cukup menumpang dengan pancung-pancung yang mangkal di pelabuhan kecil persis di bawah Jembatan satu. Ongkos menuju pulau itu terbilang cukup murah, hanya Rp20 ribu per penumpang. Dengan menggunakan mesin tempel bertenaga 20 PK, pancung berkapasitas lima orang hanya memakan waktu kurang dari 10 menit.
Pulau tak berpenduduk itu, kini ditata khusus kawasan wisata. Di sana terdapat empat buah kamar yang berdiri kokoh di bibir pantai untuk disewakan. Menurut Mahadi, si penjaga pula bersama istrinya Salma, pulau tersebut dibeli seharga Rp16 juta. Orang Singapura yang membeli pulau tersebut, meminjam nama orang tunya untuk memiliki pulau tersebut.
oleh warga Singapura dari tangan warga Pulau Panjang dengan menggunakan jasa orang tuanya.
"Orang asing kan tak boleh beli tanah di sini, jadi jual beli itu atas nama Ismail, bapak mertua saya," aku Salma.
Sedangkan untuk perawatan pulau diserahkan oleh Mahadi yang dikoordinir oleh Adi dan Iskandar selaku orang kepercayaan warga Singapura tersebut. Adi menurut Salma sering berkunjung ke pulau tersebut untuk memberikan bahan makanan dan bahan pembangunan pulau.
Sedangkan Iskandar dan warga Singapura yang membeli pulau hanya berkunjung sekali setahun. "Biasanya kalau datang mereka satu rombongan, bisa sampai 10 orang. Mereka ke mari dengan jet sky yang disewa dari Marina City," terangnya.
Proses jual beli Pulau Aur ini sudah berlangsung cukup lama, sekitar tujuh tahunan. Jelas pemerintah kecolongan dan tak ada tindakan tegas yang diambil oleh pemerintah.
Apakah hal seperti ini juga akan dialami oleh Pulau Kasu kecil yang kini hendak dijual itu?
Berbekal empat foto dari surat-elektronik tadi, pelacakan Posmetro selanjutnya ditujukan ke lapangan. “Pulau itu jaraknya 20 menit dari Batam, dan 20 menit dari Singapura,” ujar si penerima tawaran itu, mengutip tawaran yang ia terima.
Benar. Jarak tempuh pulau ini dari Pelabuhan Sekupang, Batam, kurang lebih 20 menit. Namun tak ada pancung - perahu kayu atau fiber bermesin tempel - yang langsung ke Pulau Kasu. Angkutan reguler hanya melayani penumpang dari Batam ke Pulau Belakangpadang, tempat Kecamatan Belakangpadang berkantor. Dulu, sebelum Batam berkembang, Kota Administratif Batam berkantor di sini.
"Mau langsung ke Kasu? Carter saja, pulang-pergi Rp400 ribu, saya tunggu," ujar salah seorang penambang pancung di Sekupang. Tawaran itu, memang sempat dipikirkan, namun karena ingin mengenal lebih banyak pulau dan ingin berbual-bual dengan lebih banyak masyarakat, akhirnya perjalanan dipilih lewat Belakangpadang saja.
Ongkos naik pancung dari Sekupang ke Belakangpadang Rp8.000. Pancung-pancung yang menuju ke pulau-pulau kecil se-Kecamatan Belakang Padang, berlabuh dan berangkat dari Pelabuhan 88 yang letaknya bersebelahan dengan pelabuhan utama.
"Sehari hanya satu pancung saja ke Pulau Kasu, kalau mau pulang hari, terpaksa carter pulangnya," ungkap Anwar, penambang pancung Belakang Padang-Kasu.
Menurutnya, dalam seminggu ia hanya tiga hari melayani penumpang dari Kasu ke Belakang Padang, pulang pergi. Ada dua pengusaha pancung yang beroperasi dengan rute yang sama.
"Kami berbagi, kalau tak seperti itu, kita tak makan," jelasnya.
Setiap pagi pancungnya dipenuhi warga Pulau Kasu yang hendak berbelanja ke Belakangpadang. Setiap warga ditarik ongkos Rp20 ribu pulang-pergi. Anwar setia menunggu para penumpangnya yang berbelanja kebutuhan pokok di Belakang Padang.
"Mereka ini sudah langganan. Kalau orang luar, sekali jalan kita tarik Rp15 ribu," lanjutnya. Dengan tiga mesin masing-masing berdaya 40 PK, perjalanan Belakangpadang menuju Kasu hanya menghabiskan waktu tak lebih dari 15 menit.
Sepenjang perjalanan Anwar bercerita kalau Pulau Kasu Kecil memang hendak dijual. Menurutnya, pulau itu dulunya milik Mutadin salah seorang warga setempat.
"Tapi sudah dibeli oleh orang Jepun (Jepang-red), memang baru-baru ini saya dengar mau dijual lagi," ungkapnya.
Pulau Kasu yang dimaksud ternyata adalah Pulau Kasu kecil. Anwar mengingat sudah banyak orang bertampang asing yang berkunjung ke pulau itu. Pada umumnya mereka langsung menggunakan pancung carteran, atau dijemput oleh Andang. "Yang jaga Pulau Kasu Kecil itu Andang, kalau mau lebih jelas, langsung saja ke sana," anjurnya.
Rumah Andang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari tambatan pancung di Pulau Kasu. Pria asli NTB yang bernama asli Iskandar. Ia mengaku sudah sejak 1970 berada di Pulau Kasu kecil. "Dulu hanya beberapa orang saja penghuni pulau ini. Itu pun tinggal di Kasu kecil bukan di Kasu baru ini," ungkapnya.
Penduduk yang dulunya tinggal di Pulau Kasu kecil mulai menyebrang dan membangun rumah di Pulau Kasu besar, yang hanya dipisahkan oleh alur air, rawa dan hutan bakau yang berjarak sekitar 300 meter.
Sementara rumah-rumah yang di Pulau Kasu kecil dibiarkan begitu saja. "Semuanya pindah termasuk saya, karena di Kasu besar waktu itu lahan kosong, luas lagi," ungkap Andang.
Lantaran Pulau Kasu kecil telah tak berpenghuni dan terbiarkan tidur begitu saja, Mutadin - yang sudah meninggal - salah seorang warga dan anggota TNI, pada tahun 1990 membeli pulau tersebut dari masyarakat.
"Memang saat itu tak ada yang punya sertifikat, tapi kita kan punya surat pegangan dari kelurahan dan kecamatan" lanjutnya.
Andang menaksir Pulau Kasu kecil itu luasnya sekitar 20 hektare. Pulau ini ditawarkan bersama dua pulau kecil tak bernama yang luasnya sekitar setengah hektare. Semuanya dibeli oleh Mutadin dari warga seharga Rp20 juta.
"Tapi tak sampai dua bulan pulau ini di tangan Pak Mutadin, lalu dijual kembali ke Sujatno Supardi, pengusaha Batam yang beristrikan orang Jepang, seharga Rp500 juta," Kata Andang.
Di tangan Sujatno Supardi, Kasu kecil mulai maju dan dikenal oleh orang luar. Pasalnya di sana telah dibangun cottage-cottage yang disewakan bagi para pengunjung. "Dulu sempat ramai, orang dari mana-mana singgah ke sini, ada yang dari Australi, Singapura, Malaysia, orang Batam pun ramai yang ke sini. Sama Pak Sujatno, saya yang disuruh menjaga dan mengelola," ungkapnya.
Namun keramaian itu menurutnya tak berjalan lama, lantaran berbagai hal yang Andang pun tak tahu tiba-tiba Sujatno memutuskan untuk menjual kembali pulau tersebut.
"Tapi sempat lama juga tak ada yang beli, tahun 2005 baru pulau ini dibeli oleh Bu Gunarni Gunawan seharga Rp2 miliar," jelasnya.
Sebelum pulau tersebut dibeli, Sujatno telah membagikan sebagian tanah dari pulau tersebut atas nama anak-anaknya.
"Saya juga dapat dua hektare, mungkin karena selama ini saya yang rawat, makanya dia kasih saya tanah, selebihnya atas nama keluarga besar Pak Sujatno," ujarnya sembari memperlihatkan surat keterangan riwayat penggunaan tanah yang dikeluarkan oleh Lurah Kasu Yusuf M, tertanggal 14 Januari 2004 dan diketahui oleh Camat Belakang Padang Husnul Hafil.
Menurut Andang tanahnya itu telah disertifikatkan juga, tapi saat ini sertifikatnya dipegang oleh Gunarni Gunawan atau yang kerap dipanggilnya dengan sebutan Bu Narni.
Kini pulau tersebut kembali mau dilego seharga Rp3 miliar- ini harga yang disebutkan Andang, bandingkan dengan harga yang ditawarkan di Jakarta. Sudah banyak orang asing yang berkeinginan memiliki pulau tersebut.
“Ada yang dari Brunei, Australia, pun dari Malaysia. Kemarin datang H Kamal, orang Brunei dalam dua minggu dia datang tiga kali ke sini khusus menanyakan pulau ini, saya bilang saja memang mau dijual saya tawarkan ke dia Rp3 miliar dia tertarik, namun hingga saat ini belum ada jawaban dari Bu Narni," ungkapnya.
Begitu juga dengan orang Australia dan Malaysia yang datang sekitar empat bulan lalu. "Mereka tertarik, tapi Bu Narni belum kasih jawaban, padahal dia sendiri yang bilang ke saya untuk dicarikan pembelinya," kata Andang.
Begitulah, bagi masyarakat di pulau-pulau di sekitar Batam, penjualan pulau adalah praktik yang wajar. Dan orang asing adalah pembeli potensial. Kawasan Batam diketahui terdiri dari 403 pulau besar dan sebagian lagi adalah pulau kecil. Mengingat kedekatannya dengan Singapura, dan lemahnya pengawasan serta peraturan yang bisa diakali, pulau-pulau kecil itu adalah barang dagangan yang menggiurkan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar