Tuesday, 22 May 2007
Oleh Any Nurhasanah dan Aprizal
Dosen Hidro Fakultas Teknik Universitas Bandar Lampung (UBL)
Oleh Any Nurhasanah dan Aprizal
Dosen Hidro Fakultas Teknik Universitas Bandar Lampung (UBL)
GELOMBANG laut menerjang sebagian besar wilayah pesisir Indonesia dan menimbulkan kerugian material yang tak ternilai. Setidaknya ada 11 provinsi yang menderita bencana ini, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, Jawa Timur, dan Bali pada Jumat (18/5) lalu. Ketinggian gelombang berkisar antara 2-3 meter (m), bahkan di sebagian wilayah mencapai 7 m.
Lalu, sehari kemudian gelombang laut mengamuk di Pulau Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Pulau Flores (Nusa Tenggara Timur) (Kompas, Minggu, 20/5).
Jika menyaksikan di layar kaca, bencana kawasan pesisir ini rasanya serupa dengan tsunami yang sempat meluluhlantakkan sebagian pesisir Indonesia. Seperti tsunami di Aceh, Nias, Pangandaran, dan sebagainya.
Banyak analisis terkait dengan terjadinya bencana pesisir akibat tingginya gelombang laut ini yang pada umumnya menyiratkan fenomena di atas adalah biasa. Ada yang menyebut meningkatnya ketinggian gelombang laut ini adalah gelombang pasang biasa yang terjadi akibat sejajarnya matahari, bumi, dan bulan. Lalu, ada yang menyatakan semua itu disebabkan oleh swell atau penumpukan massa air di Samudera Indonesia.
Kemudian, ada pula yang menyebut Laut Selatan sedang dilanda fenomena alam berjenis palung atau trough. Palung berada di perairan Samudera Hindia sejak Selasa (15/5) lalu yang melintang ke arah tenggara Australia. Fenomena alam tersebut muncul karena adanya peningkatan tekanan udara rendah.
Penyebabnya, adanya gesekan angin dan permukaan laut, sehingga memunculkan gelombang laut. Palung tersebut akan semakin berbahaya jika melewati daerah yang sedang mengalami cuaca buruk seperti hujan lebat.
Baiklah, apa pun itu, apakah ini fenomena biasa ataupun fenomena luar biasa, yang jelas dampak gelombang laut telah menimbulkan kerugian yang besar. Dan anehnya, walaupun gelombang pasang yang terjadi disebut sebagai fenomena alam biasa, ternyata minim antisipasi.
Bencana di wilayah pesisir sejatinya tidak hanya berupa gelombang pasang, tetapi ada gelombang tsunami, banjir, kenaikan muka air laut akibat global warming, dan erosi pantai.
Amat perlu diwaspadai bagi Lampung bahwa pantai Barat Lampung dan kawasan Selat Sunda selain rentan terhadap serangan gelombang pasang, juga sangat potensial terhadap bencana tsunami. Tektonik di daerah ini terbentuk akibat tumbukan lempeng Samudra Indo-Australia dan lempeng euroasia yang berarah Barat-Timur. Terlebih lagi kawasan Selat Sunda yang terdapat gunung anak Krakatau yang masih aktif.
Berdasarkan kajian Heru Sri Naryanto (2003), peneliti dari BPPT terhadap bencana tsunami di kawasan Selat Sunda, Bandarlampung menempati urutan ketiga dari tingkat kerawanan setelah Merak dan Anyer-Carita. Setelah itu, Kalianda yang menempati urutan keempat dan Labuan dengan urutan kelima.
Hasil kajian lainnya yang dapat mendirikan bulu kuduk adalah karena letaknya Bandarlampung yang berada di daerah teluk, ini semua akan berakibat terjadinya penyempitan gerakan gelombang ke dalam teluk tersebut. Sehingga, gelombang laut menjadi lebih tinggi dan gerakannya semakin cepat, sehingga akan lebih merusak kawasan tersebut.
Secara teoritis (Dean, 1984), gelombang yang menjalar ke tempat yang lebih sempit, tinggi gelombang di ujung menjadi lebih tinggi daripada tinggi gelombang datang. Hal ini disebabkan karena pengaruh garis orthogonal yang menyempit. Energi gelombang di ujung terakumulasi sehingga menjadi lebih besar. Menjadi pertanyaan penting, bagaimana menyikapi ancaman ini?
Bencana alam semacam gelombang tsunami dan gelombang pasang memang tidak dapat dihindari, tetapi dampak negatifnya harusnya dapat diminimalisasi. Caranya adalah dengan melakukan mitigasi.
Definisi mitigasi adalah proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalisasi dampak negatif bencana yang akan terjadi. Mitigasi juga merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat.
Sebenarnya, cara yang paling mudah menghindari bencana di wilayah pesisir adalah tidak tinggal di sekitar pantai. Namun, banyak sekali alasan yang kuat mengapa masyarakat merasa perlu dan memilih tinggal di kawasan tersebut meskipun rentan terhadap bencana. Oleh sebab itu, mitigasi kawasan pesisir sudah menjadi kebutuhan yang harus dititikberatkan pada saat ini daripada respons pascabencana.
Strategi mitigasi bencana gelombang pasang dan tsunami dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, meredam gelombang. Kedua, pembuatan sistem peringatan dini (early warning system) yang handal. Dan ketiga, adalah pembelajaran tentang bencana sekaligus cara menghindarinya.
Meredam gelombang dapat dilakukan secara alami maupun buatan. Secara alami yaitu dengan memberi halangan hutan tanaman keras seperti mangrove. Besar peredamannya tergantung pada ketebalan hutan, jenis, kerapatan, dan ketinggian hutan tanaman tersebut. Secara buatan yaitu dengan membuat tembok laut atau sea wall dan pemecah gelombang atau break water.
Tembok laut dapat dibuat untuk menghalangi serangan gelombang. Jepang merupakan salah satu negara yang membuat sea wall untuk berlindung dari serangan gelombang tsunami. Pemecah gelombang juga dapat dibuat untuk mereduksi tinggi dan energi gelombang. Hanya saja untuk meredam gelombang tsunami yang tingginya mencapai 30 meter, cara ini kurang efektif karena sangat mahal.
Selanjutnya, sistem peringatan dini yang baik terhadap bencana sampai saat ini belum ada. Kabar yang diterima masyarakat akan terjadinya bencana seringkali terlambat, sehingga masyarakat tidak sempat menyelamatkan diri. Pembelajaran tentang terjadinya bencana dan cara menghindarinya dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan tentang bencana sejak usia sekolah dasar, sosialisasi terhadap masyarakat di sekitar daerah rawan bencana, dan melakukan latihan evakuasi jika terjadi bencana.
Selain tiga cara di atas, ada alternatif lain yang dapat dilakukan sebagai upaya mitigasi bencana akibat gelombang pasang dan gelombang tsunami. Upaya tersebut adalah dengan penataan kawasan pesisir. Tata letak kawasan dapat direncanakan dengan memperhatikan aspek teknik pantai atau coastal engineering-nya, yaitu dengan memperhitungkan tinggi run-up gelombang yang menyerang kawasan tersebut, pola aliran yang menghantam kawasan, dwelling time (waktu tunggu) gelombang, dan kecepatan alirannya.
Tata letak yang tepat dapat mempermudah orang melakukan evakuasi. Rambu-rambu peringatan dapat dipasang pada tempat yang tepat sehingga orang dapat lebih mudah menyelamatkan diri. Ketika tanda bahaya dibunyikan, orang di kawasan tersebut tahu harus lari ke mana untuk menyelamatkan diri. Latihan penyelamatan diri juga dapat lebih terarah, sehingga orang-orang di kawasan tersebut lebih siap jika terjadi bencana.
Kesiapan individu dalam evakuasi sangat membantu menghindari kekacauan di saat bencana datang. Mitigasi bencana untuk kawasan pesisir memang sudah merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda.
Sejauh ini, penataan kawasan pesisir hanya memperhatikan segi keindahannya saja, kurang memperhitungkan aspek pencegahan bencananya. Mengingat Lampung terutama Bandarlampung berhasrat sangat untuk mewujudkan waterfront city agar menjadi rapi dan tertata sesuai dengan fungsinya, maka perlu mewaspadai ancaman bencana kawasan pesisir di atas.
Kerugian ekonomi dan korban jiwa dalam setiap terjadinya bencana akan lebih besar apabila strategi pembangunan dan perencanaan tata ruang tidak memperhatikan risiko bencana. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar