Tanggal : 28 Juli 2008
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/28/01530343/rebutan.air.bersih.di.kulon.progo
Pada awal musim kemarau saat ini, sejumlah sumber mata air atau sendang di Girimulyo dan Kokap, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai diperebutkan warga. Mereka yang tinggal di perbukitan, seperti Girimulyo, Kokap, Nanggulan, Samigaluh, dan Kalibawang, berlomba-lomba memanfaatkan ”sisa-sisa” air sendang dengan berbagai cara.
Ada yang mengambilnya dengan menimba, ada juga yang memompa air ke rumah masing-masing dengan menggunakan selang.
Di Sendang Ngipik, Dusun Bulu, Desa Giripurwo, Kecamatan Girimulyo, misalnya, 7 ujung karet selang akhir pekan lalu menggantung di dalam dua bak penampung air berukuran 1 meter persegi. Selang-selang itu digunakan untuk menyalurkan air—dengan menggunakan pompa air—ke rumah-rumah warga yang secara topografis berada lebih rendah dari lokasi sendang.
Keberadaan selang-selang tersebut menuai keluhan warga Dusun Bulu lainnya, terutama yang tinggal di atas sendang. ”Tanpa adanya mesin pompa air, mustahil bagi kami untuk menyalurkan air dengan selang. Sementara air sendang makin cepat surut karena disedot banyak selang,” keluh mereka.
Untuk mencukupi kebutuhan air bersih, warga yang berada di atas bukit terpaksa mengambil air dengan menggunakan jeriken atau tempayan yang dipikul.
Daerah-daerah yang kesulitan air bersih tersebut pada umumnya belum tersentuh jaringan pipa air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kulon Progo. Karena itu, mereka sangat mengandalkan sumur atau mata-mata air yang ada di lereng kaki bukit.
Bisa kering
Kasus serupa terlihat di Dusun Tirto, Desa Hargotirto, Kokap. Akhir pekan lalu, terlihat lima ujung selang yang terhubung dengan Sendang Tirto, meski tidak sedikit warga yang mengambil air dengan jeriken.
”Tidak seperti mata air lain yang cenderung abadi, sendang di Dusun Tirto bisa kering. Kemungkinan dalam 1-2 bulan lagi sendang sudah tidak mengeluarkan air lagi,” ujar Sri Murni (35), warga Dusun Tirto.
Pemandangan yang sama terlihat di Desa Koro, Kecamatan Merakurak, Tuban, Jawa Timur. Sabtu lalu beberapa warga berebut air bersih dari sebuah sumber air. Sebab, air yang ditampung dalam bak ukuran 4 x 6 meter dengan kedalaman 3,5 meter sudah menipis. Saat itu ketinggian air sendang hanya 21 sentimeter.
Berbeda dengan di Gunung Kidul. Warga di daerah ini tidak saja sudah kesulitan air bersih, tetapi juga harus membeli air untuk ternak.
Kasidi (22), warga Dusun Ploso, Giritirto, Purwosari, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, menuturkan, belakangan ini dalam sehari dia harus membeli empat jeriken air seharga Rp 100 per jeriken (20 liter) yang diambil dari mata air Goa Cerme di dusun itu. ”Satu jeriken untuk seekor sapi, sisanya untuk kebutuhan minum, masak, dan mandi,” katanya.
45.000 jiwa
Mengacu pada peta rawan kekeringan yang dikeluarkan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Sermo (2007), pada musim kemarau sekitar 84,6 persen dari total 26 desa yang berada di lima kecamatan di wilayah itu kesulitan mendapatkan air bersih. Jumlah warga yang mengalami krisis air bersih diperkirakan lebih dari 45.000 jiwa.
Bupati Kulon Progo Toyo Santoso Dipo mengatakan, pemerintah daerah sudah berusaha optimal memanfaatkan sumber-sumber air bagi penduduk lokal. Selain mendirikan instalasi penyaluran air bersih, juga menyalurkan dana hibah untuk pendirian fasilitas penampungan air di sejumlah sendang. Namun, kebutuhan jauh lebih banyak.
Tahun ini, katanya, lebih dari 10 fasilitas penampungan air sendang dibangun di Kulon Progo.
Ketahanan pangan
Masih terkait kekeringan, dari Bandung, Jawa Barat (Jabar), dilaporkan, masalah ini selain telah menyebabkan berkurangnya air bersih, juga mengancam ketahanan pangan nasional.
Menurut data Dinas Tata Ruang dan Permukiman Jabar, musim kemarau pada Juni 2008 telah mengakibatkan 45 kecamatan di enam kabupaten/kota terancam tidak memiliki akses terhadap air bersih. Keenam kabupaten/kota itu adalah Indramayu, Majalengka, Karawang, Cirebon, Sukabumi, dan Cianjur, daerah lumbung padi.
Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air Dine Andriani berpendapat, kondisi ini akibat timpangnya luas rehabilitasi hutan dengan tingkat kerusakan lingkungan.
Dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), pun dilaporkan, 11 daerah resapan air di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang terancam punah. Penyebabnya, pembangunan permukiman penduduk, penebangan hutan, pengambilan bahan material, dan penggembalaan ternak.
Debit air di beberapa daerah resapan terus menurun, bahkan sebagian sudah kering. Jika hal ini tidak segera dibenahi, diperkirakan dalam jangka waktu 10-20 tahun lagi warga Kota Kupang dan Kabupaten Kupang krisis air bersih.
Menurut Direktur Utama PDAM Kabupaten Kupang Masya Djonu di Kupang, upaya Pemerintah Kota/Kabupaten Kupang melakukan konservasi terhadap sumber-sumber air dan daerah resapan air di kawasan itu sangat rendah. ”Tahun 1990-an debit air di Kota dan Kabupaten Kupang masih 1.200 liter per detik. Saat ini 460 liter per detik pada musim hujan, di musim kemarau turun sampai 200 liter per detik, bahkan sampai 150 liter per detik,” ujarnya.(Tim Kompas)