Tanggal : 17 Desember 2007
Sumber : http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=15375&Itemid=51
Anggaran Provinsi Kepulauan Harus Naik
JAKARTA-Komisi I DPR mendesak pemerintah lebih meningkatkan perhatian terhadap provinsi-provinsi kepulauan dengan memperbesar anggaran bagi provinsi tersebut. Saat ini, Indonesia memiliki tujuh provinsi kepulauan yaitu Kepulauan Riau (Kepri), Maluku, Maluku Utara (Malut), Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR Sidarto Danu Subroto berpendapat hingga kini pembangunan yang dilakukan pemerintah masih berorientasi daratan kendati Indonesia merupakan negara kepulauan. Itu antara lain terbukti dengan minimnya perhatian terhadap wilayah kepulauan. "Konsep kepulauan belum dianggap," ujar politisi PDIP ini saat dihubungi Minggu (16/12).
Sidharto bersama 23 anggota Komisi I lainnya pekan lalu melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Kepri. Rombongan Komisi Pertahanan DPR itu antara lain berkunjung ke Tanjungpinang, Bintan, Batam, dan Natuna. Selama kunjungannya di wilayah ini, rombongan yang dipimpin Sidharto bertemu dengan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah dan Muspida Provinsi Kepri.
Sidharto mengatakan provinsi kepulauan membutuhkan dana yang lebih banyak dibanding provinsi daratan. Alasannya, biaya transportasi antarpulau lebih tinggi dibanding daratan. Dia mencontohkan, harga satu buah boat sama dengan harga sepuluh bus.
Selain kenaikan anggaran, kata dia, pemerintah harus mengintensifkan pelayanan angkutan antarpulau. "Cost untuk angkutan laut dan udara antarpulau lebih mahal," katanya.
Provinsi Kepri, kata Sidharto, memiliki sekitar 2.400 pulau. Sebagian besar pulau-pulau di provinsi ini belum diberi nama. Dia mengatakan, di Kabupaten Natuna terdapat 250 dari 352 pulau yang belum bernama. "Pulau-pulau itu umumnya tidak berpenghuni," katanya.
Dia menjelaskan, 12 pulau di perbatasan Natuna dan Vietnam memang sudah bernama. Namun, pulau-pulau itu tak berpenghuni. Anggota TNI yang patroli hanya sesekali datang ke pulau-pulau yang tidak memiliki air tawar dan bahan makanan itu. Kondisi tersebut, lanjutnya, membuat pulau-pulau di perbatasan Kepri dengan negara lain sangat rawan dikuasai negara lain karena sumber daya gas dan minyak di Natuna sangat banyak. "Harus ada upaya TNI untuk show the flag dengan membangun pos penjagaan dan mercusuar di sana," ujarnya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PAN Abdillah Toha menambahkan sebagian dari pulau-pulau yang ada di Kepri telah memiliki nama lokal. Namun, nama-nama itu belum diresmikan pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri).
Selain perlu segera diresmikan namanya, kata Abdillah Toha, Depdagri juga harus segera mendaftarkan pulau-pulau itu ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar tidak diklaim negara lain suatu saat. "Biaya pendaftaran kecil tapi Departemen Dalam Negeri saja yang tidak memprioritaskan,' katanya.
Menurut Pemerintah Kepulauan Riau, ujarnya, 1.700 pulau sudah diakui PBB. Sebagian pulau lainnya dianggap sebagai gugusan pulau yang menyatu dengan pulau yang lebih besar.
Anggota Komisi Kelautan DPR dari Fraksi PDIP Gandjar Pranowo meminta pemerintah segera mendaftarkan seluruh pulau di wilayah Indonesia. Batas waktu pendaftaran pulau ke PBB berakhir tahun depan. "UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) meminta pulau-pulau segera didepositkan ke PBB," katanya.
Gandjar mengatakan pendepositan itu melingkupi pendaftaran serta klaim dan reklaim pulau. Klaim dan reklaim, katanya, terkait dengan pulau-pulau yang ada di perbatasan. "Pulau kecil yang tidak berpenghuni rawan pencurian," ujarnya.
Menurut dia, selama ini registrasi pulau dipimpin oleh Depdagri sedangkan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bertugas meneliti pulau. Penelitian itu meliputi penelusuran riwayat, kondisi geografis, dan koordinat letak pulau. "Komisi Kelautan (DPR) akan menanyakan ke DKP dalam rapat pertama di masa sidang berikutnya. Jangan-jangan terjadi misleading," katanya.
Depdagri Data Pulau Kecil
Sementara itu, Direktur Wilayah Administrasi dan Perbatasan Depdagri Kartiko Purnomo mengatakan departemennya sudah mulai mendata nama-nama pulau kecil di seluruh Indonesia untuk mengantisipasi klaim asing. "Jumlahnya saat ini terus bergerak. Data terakhir, sudah ada lebih dari 6.913 pulau yang tersebar di 16 provinsi," kata Kartiko Purnomo dalam diskusi bertajuk "Lagi-lagi Pulau Dijual" di Jakarta, Sabtu (15/12).
Dia mengungkapkan, tim nasional pembakuan nama bertugas bukan hanya menamai pulau-pulau alami, tetapi juga pulau buatan. "Masukan nama pulau itu dari masyarakat sekitar pulau itu. Lalu, setelah itu kita bakukan," ujarnya.
Pada konvensi PBB yang akan dilaksanakan pada 2012, dia berharap tim sudah bisa melaporkan seluruh nama pulau yang telah diverifikasi. Kartiko mengatakan, selain mendata nama pulau-pulau kecil, tim itu juga menelusuri kebenaran iklan di situs www.karangasemproperty.com. Dalam situs ini tertera penjualan dua pulau milik Indonesia yaitu Pulau Panjang dan Pulau Meriam Besar di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Hasilnya, dia mengakui kalau penjualan pulau itu memang ada. Namun, transaksinya hanya sesama warga Indonesia. "Sebenarnya tanah itu bukan hak milik mereka.Tapi, mereka sebagai penggarap yang setelah direkayasa kemudian bisa dibeli seseorang. Pembelinya menyertifikasi tanah itu," ujarnya. Dia mengungkapkan, proses sertifikasi yang dilakukan Bupati Sumbawa tersebut dianggap cacat hukum dan saat ini sertifikasi sudah dibatalkan.
Dia menjelaskan, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengatur bahwa tidak memperbolehkan orang asing atau badan hukum asing memiliki hak atas tanah di Indonesia. Tetapi, dalam rangka pengelolaan, hal itu diperbolehkan atas izin Departemen Kelautan Perikanan (DKP) tentunya dengan syarat ketat.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan, Pengendalian dan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan DKP Aji Sularso mengatakan pemerintah sedang menggodok peraturan untuk pelaksanaan UU No 27 tahun 2007. PP ini diperlukan untuk menghindari dijualbelikannya pulau atau kepemilikan pulau oleh orang asing atau perorangan. "Kita sedang godok PP tersebut dari berbagai unsur baik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Pariwisata, Perdagangan, Hankam untuk mengamankan pulau-pulau terkecil dan terluar Indonesia tersebut dari kepemilikan orang asing atau dijualbelikan," kata Aji Sularso, Sabtu (15/12).
Aji Sularso mengatakan, memang ada usaha memiliki pulau-pulau kecil dan terluar Indonesia oleh pribadi ataupun orang asing, namun berdasarkan perundang-undangan yang ada pulau tersebut tidak dapat dimiliki atau diperjualbelikan oleh perorangan. Yang memungkinkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut, kata Sularso, adalah hak guna usaha (HGU) dan bukan hak milik, Namun tidak semua pulau dapat dilakukan hal tersebut dan setelah keluarnya PP untuk pelaksanaan UU No. 27 tahun 2007 tersebut akan jelas aturan mainnya karena akan ditinjau dari berbagai aspek untuk sebuah pulau seperti nilai ekonomi, kepentingan batas negara maupun pariwisata.
Wakil Ketua DPD La Ode Ida menyatakan, polemik penjualan pulau sebagai reaksi masyarakat terkait kegagalan pemerintah dalam mengelola pulau dan memajukan daerah.
Sumber : http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=15375&Itemid=51
Anggaran Provinsi Kepulauan Harus Naik
JAKARTA-Komisi I DPR mendesak pemerintah lebih meningkatkan perhatian terhadap provinsi-provinsi kepulauan dengan memperbesar anggaran bagi provinsi tersebut. Saat ini, Indonesia memiliki tujuh provinsi kepulauan yaitu Kepulauan Riau (Kepri), Maluku, Maluku Utara (Malut), Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR Sidarto Danu Subroto berpendapat hingga kini pembangunan yang dilakukan pemerintah masih berorientasi daratan kendati Indonesia merupakan negara kepulauan. Itu antara lain terbukti dengan minimnya perhatian terhadap wilayah kepulauan. "Konsep kepulauan belum dianggap," ujar politisi PDIP ini saat dihubungi Minggu (16/12).
Sidharto bersama 23 anggota Komisi I lainnya pekan lalu melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Kepri. Rombongan Komisi Pertahanan DPR itu antara lain berkunjung ke Tanjungpinang, Bintan, Batam, dan Natuna. Selama kunjungannya di wilayah ini, rombongan yang dipimpin Sidharto bertemu dengan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah dan Muspida Provinsi Kepri.
Sidharto mengatakan provinsi kepulauan membutuhkan dana yang lebih banyak dibanding provinsi daratan. Alasannya, biaya transportasi antarpulau lebih tinggi dibanding daratan. Dia mencontohkan, harga satu buah boat sama dengan harga sepuluh bus.
Selain kenaikan anggaran, kata dia, pemerintah harus mengintensifkan pelayanan angkutan antarpulau. "Cost untuk angkutan laut dan udara antarpulau lebih mahal," katanya.
Provinsi Kepri, kata Sidharto, memiliki sekitar 2.400 pulau. Sebagian besar pulau-pulau di provinsi ini belum diberi nama. Dia mengatakan, di Kabupaten Natuna terdapat 250 dari 352 pulau yang belum bernama. "Pulau-pulau itu umumnya tidak berpenghuni," katanya.
Dia menjelaskan, 12 pulau di perbatasan Natuna dan Vietnam memang sudah bernama. Namun, pulau-pulau itu tak berpenghuni. Anggota TNI yang patroli hanya sesekali datang ke pulau-pulau yang tidak memiliki air tawar dan bahan makanan itu. Kondisi tersebut, lanjutnya, membuat pulau-pulau di perbatasan Kepri dengan negara lain sangat rawan dikuasai negara lain karena sumber daya gas dan minyak di Natuna sangat banyak. "Harus ada upaya TNI untuk show the flag dengan membangun pos penjagaan dan mercusuar di sana," ujarnya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PAN Abdillah Toha menambahkan sebagian dari pulau-pulau yang ada di Kepri telah memiliki nama lokal. Namun, nama-nama itu belum diresmikan pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri).
Selain perlu segera diresmikan namanya, kata Abdillah Toha, Depdagri juga harus segera mendaftarkan pulau-pulau itu ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar tidak diklaim negara lain suatu saat. "Biaya pendaftaran kecil tapi Departemen Dalam Negeri saja yang tidak memprioritaskan,' katanya.
Menurut Pemerintah Kepulauan Riau, ujarnya, 1.700 pulau sudah diakui PBB. Sebagian pulau lainnya dianggap sebagai gugusan pulau yang menyatu dengan pulau yang lebih besar.
Anggota Komisi Kelautan DPR dari Fraksi PDIP Gandjar Pranowo meminta pemerintah segera mendaftarkan seluruh pulau di wilayah Indonesia. Batas waktu pendaftaran pulau ke PBB berakhir tahun depan. "UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) meminta pulau-pulau segera didepositkan ke PBB," katanya.
Gandjar mengatakan pendepositan itu melingkupi pendaftaran serta klaim dan reklaim pulau. Klaim dan reklaim, katanya, terkait dengan pulau-pulau yang ada di perbatasan. "Pulau kecil yang tidak berpenghuni rawan pencurian," ujarnya.
Menurut dia, selama ini registrasi pulau dipimpin oleh Depdagri sedangkan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bertugas meneliti pulau. Penelitian itu meliputi penelusuran riwayat, kondisi geografis, dan koordinat letak pulau. "Komisi Kelautan (DPR) akan menanyakan ke DKP dalam rapat pertama di masa sidang berikutnya. Jangan-jangan terjadi misleading," katanya.
Depdagri Data Pulau Kecil
Sementara itu, Direktur Wilayah Administrasi dan Perbatasan Depdagri Kartiko Purnomo mengatakan departemennya sudah mulai mendata nama-nama pulau kecil di seluruh Indonesia untuk mengantisipasi klaim asing. "Jumlahnya saat ini terus bergerak. Data terakhir, sudah ada lebih dari 6.913 pulau yang tersebar di 16 provinsi," kata Kartiko Purnomo dalam diskusi bertajuk "Lagi-lagi Pulau Dijual" di Jakarta, Sabtu (15/12).
Dia mengungkapkan, tim nasional pembakuan nama bertugas bukan hanya menamai pulau-pulau alami, tetapi juga pulau buatan. "Masukan nama pulau itu dari masyarakat sekitar pulau itu. Lalu, setelah itu kita bakukan," ujarnya.
Pada konvensi PBB yang akan dilaksanakan pada 2012, dia berharap tim sudah bisa melaporkan seluruh nama pulau yang telah diverifikasi. Kartiko mengatakan, selain mendata nama pulau-pulau kecil, tim itu juga menelusuri kebenaran iklan di situs www.karangasemproperty.com. Dalam situs ini tertera penjualan dua pulau milik Indonesia yaitu Pulau Panjang dan Pulau Meriam Besar di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Hasilnya, dia mengakui kalau penjualan pulau itu memang ada. Namun, transaksinya hanya sesama warga Indonesia. "Sebenarnya tanah itu bukan hak milik mereka.Tapi, mereka sebagai penggarap yang setelah direkayasa kemudian bisa dibeli seseorang. Pembelinya menyertifikasi tanah itu," ujarnya. Dia mengungkapkan, proses sertifikasi yang dilakukan Bupati Sumbawa tersebut dianggap cacat hukum dan saat ini sertifikasi sudah dibatalkan.
Dia menjelaskan, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengatur bahwa tidak memperbolehkan orang asing atau badan hukum asing memiliki hak atas tanah di Indonesia. Tetapi, dalam rangka pengelolaan, hal itu diperbolehkan atas izin Departemen Kelautan Perikanan (DKP) tentunya dengan syarat ketat.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan, Pengendalian dan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan DKP Aji Sularso mengatakan pemerintah sedang menggodok peraturan untuk pelaksanaan UU No 27 tahun 2007. PP ini diperlukan untuk menghindari dijualbelikannya pulau atau kepemilikan pulau oleh orang asing atau perorangan. "Kita sedang godok PP tersebut dari berbagai unsur baik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Pariwisata, Perdagangan, Hankam untuk mengamankan pulau-pulau terkecil dan terluar Indonesia tersebut dari kepemilikan orang asing atau dijualbelikan," kata Aji Sularso, Sabtu (15/12).
Aji Sularso mengatakan, memang ada usaha memiliki pulau-pulau kecil dan terluar Indonesia oleh pribadi ataupun orang asing, namun berdasarkan perundang-undangan yang ada pulau tersebut tidak dapat dimiliki atau diperjualbelikan oleh perorangan. Yang memungkinkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut, kata Sularso, adalah hak guna usaha (HGU) dan bukan hak milik, Namun tidak semua pulau dapat dilakukan hal tersebut dan setelah keluarnya PP untuk pelaksanaan UU No. 27 tahun 2007 tersebut akan jelas aturan mainnya karena akan ditinjau dari berbagai aspek untuk sebuah pulau seperti nilai ekonomi, kepentingan batas negara maupun pariwisata.
Wakil Ketua DPD La Ode Ida menyatakan, polemik penjualan pulau sebagai reaksi masyarakat terkait kegagalan pemerintah dalam mengelola pulau dan memajukan daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar