Tanggal : 26 Desember 2007
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0712/26/sh04.html
PADANG—Pada 17 September 2007 lalu saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke lokasi gempa di Pesisir Selatan, mengatakan bahwa wilayah Sumatera Barat itu swalayannya bencana. Ungkapan itu tidaklah sembarang sebut saja, karena bermacam-macam bencana alam memang melanda Ranah Minang akhir-akhir ini.
Dalam dua tahun terakhir saja, bertubi-tubi aneka bencana terjadi. Sebut saja tanah longsor seperti yang terjadi di Air Dingin, Kabupaten Solok, pada Jumat 15 Desember 2006. Bencana tersebut mengakibatkan 19 orang tewas. Sebelumnya, Gunung Talang meletus pada April 2005, disusul terjadinya abrasi di Padang dan Kabupaten Agam. Kemudian terjadi musibah banjir, puting beliung di Kabupaten Limapuluh Kota pada Oktober, dan terakhir gempa yang mengguncang pada tahun 2007 ini.
Dua kali seluruh kawasan di Sumbar dikoyak gempa bumi. Pertama pada Maret 2007, mengakibatkan 67 orang meninggal. Lalu pada 12 dan 13 September, ketika belum kering derai air mata, warga Sumbar kembali menangis. Kali ini korban jiwa delapan orang, luka berat 12orang dan 112 luka ringan.
Saking sudah “terbiasanya” dengan bencana, Presiden Yudhoyono memuji langkah cepat yang diambil Pemerintah Provinsi Sumbar dan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana. Untuk musibah gempa bumi dan tsunami, jauh-jauh hari Pemerintah Kota Padang sudah memiliki prosedur tetap (protap) penanganan dan penanggulangan bencana tersebut. Bahkan, Wali Kota Padang sudah mempresentasikan protap itu sampai ke Jerman.
Di Pantai Padang, pemerintah kota sudah membuat Posko Bencana. Jika gempa terjadi, petugas di posko tersebut kemudian membunyikan sirene tanda bahaya. Sirene dipasang di sepanjang Pantai Padang. Jadi, warga di pesisir pantai bisa mendengar sirene itu jika ada bahaya. Para petugas dibantu oleh tim lain seperti dari Komando Siaga Tusnami, Radio Amatir Antar Penduduk Indonesia (Rapi), Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia (Orari) dan organisasi lainnya. Jika bencana datang, mereka lalu saling bekoordinasi untuk penanggulangan dan penanganan bencana.
Selain itu, Pemerintah Kota (Pemko) Padang juga sudah membuat peta jalur evakuasi di sepanjang jalan di Kota Padang. Ini penting, mengingat dengan adanya peta jalur tersebut masyarakat sudah tahu secara pasti ke mana mereka harus mengungsi untuk sementara waktu. Hal tersebut sudah berkali-kali disimulasikan.
Pada pertengahan Desember tahun 2007 ini, simulasi gempa dan tsunami digelar. Kegiatan ini melibatkan tujuh pemerintah dan kabupaten di Sumbar. Hal tersebut merupakan langkah yang diambil untuk membiasakan masyarakat Sumbar menghadapi bencana alam. “Agar mereka tahu bagaimana caranya menghadapi bencana seperti gempa dan tsunami,” kata Wakil Gubernur Sumbar Marlis Rahman.
Pelaksanaan simulasi sudah direncanakan sejak awal, lebih sebagai pembelajaran atau memberi pengetahuan penyelamatan diri masyarakat bila bencana itu benar-benar datang. Marlis menjelaskan, Presiden Yudhoyono sudah menginstruksikan kepada seluruh departemen untuk membantu Sumbar menjadi pusat wilayah percontohan penanggulangan bencana di Indonesia.
Kepala negara memandang hal itu penting, karena Indonesia merupakan daerah rawan bencana. Marlis menambahkan, kegiatan simulasi seperti itu akan terus digiatkan, bahkan intensitasnya ditingkatkan dengan menggelar sekali setiap tiga bulan.
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) pun tidak mau berpangku tangan dalam hal ini. Mereka sejak awal 2007 sudah memasang sirene tanda bahaya di sejumlah daerah di Sumbar yang berada di pesisir pantai. Radius sirene mencapai 2 kilometer. Alat tersebut baru dipasang BMG di tujuh kabupaten/kota dengan bantuan tersebut dari Prancis.
Pusat pengendalian operasionalnya berada di Gedung Crisis Center PB Sumbar di Jalan Jenderal Sudirman. Data gempa yang masuk ke pengolahan lalu disampaikan kepada masyarakat apakah berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Jika dalam 30 menit tidak ada tanda-tanda gempa, maka informasi potensi tsunami langsung dibatalkan.
Penampungan Pengungsi
Begitulah Sumbar dalam menghadapi bencana. Segalanya sudah dipersiapkan dan disimulasikan. Dengan harapan, masyarakat tidak gampang panik saat bencana betul-betul terjadi. Hanya saja, ada yang terlupa. Sampai sejauh ini, khususnya di Padang, pemerintah kota belum menetapkan lokasi titik penampungan pengungsi saat bencana terjadi. Pemko hanya menunjukkan daerah ketinggian yang bisa dijadikan tempat mengungsi, sementara lokasi titik pengungsian tidak ada.
Dulu, Pemko Padang menjelaskan jika bencana tsunami terjadi maka warga bisa mengungsi ke gedung-gedung yang sudah ditentukan. Tapi, sekarang kondisi gedung itu sudah retak-retak dan tidak layak lagi untuk menjadi tempat pengungsian. Sehingga kalau gempa terjadi, sekarang masyarakat berduyun-duyun menuju Jalan By Pass, Indarung dan kawasan Limau Manis untuk menyelamatkan diri.
Belum lagi adanya penambahan lebar jalan. Ruas jalan yang dipakai untuk mengungsi melalui jalur evakuasi hanya cukup untuk dilewati dua mobil. Tidak bisa lebih. Padahal, ketika gempa terjadi pada Maret dan September 2007, jalan tersebut macet total. Bisa jadi masyarakat belum sampai ke daerah ketinggian, bahaya sudah semakin mendekati mereka. Jadi, persiapan menghadapi bencana tidak cukup hanya dengan simulasi, tetapi sarana dan prasarana evakuasi juga perlu dipikirkan oleh pemerintah.
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0712/26/sh04.html
PADANG—Pada 17 September 2007 lalu saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke lokasi gempa di Pesisir Selatan, mengatakan bahwa wilayah Sumatera Barat itu swalayannya bencana. Ungkapan itu tidaklah sembarang sebut saja, karena bermacam-macam bencana alam memang melanda Ranah Minang akhir-akhir ini.
Dalam dua tahun terakhir saja, bertubi-tubi aneka bencana terjadi. Sebut saja tanah longsor seperti yang terjadi di Air Dingin, Kabupaten Solok, pada Jumat 15 Desember 2006. Bencana tersebut mengakibatkan 19 orang tewas. Sebelumnya, Gunung Talang meletus pada April 2005, disusul terjadinya abrasi di Padang dan Kabupaten Agam. Kemudian terjadi musibah banjir, puting beliung di Kabupaten Limapuluh Kota pada Oktober, dan terakhir gempa yang mengguncang pada tahun 2007 ini.
Dua kali seluruh kawasan di Sumbar dikoyak gempa bumi. Pertama pada Maret 2007, mengakibatkan 67 orang meninggal. Lalu pada 12 dan 13 September, ketika belum kering derai air mata, warga Sumbar kembali menangis. Kali ini korban jiwa delapan orang, luka berat 12orang dan 112 luka ringan.
Saking sudah “terbiasanya” dengan bencana, Presiden Yudhoyono memuji langkah cepat yang diambil Pemerintah Provinsi Sumbar dan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana. Untuk musibah gempa bumi dan tsunami, jauh-jauh hari Pemerintah Kota Padang sudah memiliki prosedur tetap (protap) penanganan dan penanggulangan bencana tersebut. Bahkan, Wali Kota Padang sudah mempresentasikan protap itu sampai ke Jerman.
Di Pantai Padang, pemerintah kota sudah membuat Posko Bencana. Jika gempa terjadi, petugas di posko tersebut kemudian membunyikan sirene tanda bahaya. Sirene dipasang di sepanjang Pantai Padang. Jadi, warga di pesisir pantai bisa mendengar sirene itu jika ada bahaya. Para petugas dibantu oleh tim lain seperti dari Komando Siaga Tusnami, Radio Amatir Antar Penduduk Indonesia (Rapi), Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia (Orari) dan organisasi lainnya. Jika bencana datang, mereka lalu saling bekoordinasi untuk penanggulangan dan penanganan bencana.
Selain itu, Pemerintah Kota (Pemko) Padang juga sudah membuat peta jalur evakuasi di sepanjang jalan di Kota Padang. Ini penting, mengingat dengan adanya peta jalur tersebut masyarakat sudah tahu secara pasti ke mana mereka harus mengungsi untuk sementara waktu. Hal tersebut sudah berkali-kali disimulasikan.
Pada pertengahan Desember tahun 2007 ini, simulasi gempa dan tsunami digelar. Kegiatan ini melibatkan tujuh pemerintah dan kabupaten di Sumbar. Hal tersebut merupakan langkah yang diambil untuk membiasakan masyarakat Sumbar menghadapi bencana alam. “Agar mereka tahu bagaimana caranya menghadapi bencana seperti gempa dan tsunami,” kata Wakil Gubernur Sumbar Marlis Rahman.
Pelaksanaan simulasi sudah direncanakan sejak awal, lebih sebagai pembelajaran atau memberi pengetahuan penyelamatan diri masyarakat bila bencana itu benar-benar datang. Marlis menjelaskan, Presiden Yudhoyono sudah menginstruksikan kepada seluruh departemen untuk membantu Sumbar menjadi pusat wilayah percontohan penanggulangan bencana di Indonesia.
Kepala negara memandang hal itu penting, karena Indonesia merupakan daerah rawan bencana. Marlis menambahkan, kegiatan simulasi seperti itu akan terus digiatkan, bahkan intensitasnya ditingkatkan dengan menggelar sekali setiap tiga bulan.
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) pun tidak mau berpangku tangan dalam hal ini. Mereka sejak awal 2007 sudah memasang sirene tanda bahaya di sejumlah daerah di Sumbar yang berada di pesisir pantai. Radius sirene mencapai 2 kilometer. Alat tersebut baru dipasang BMG di tujuh kabupaten/kota dengan bantuan tersebut dari Prancis.
Pusat pengendalian operasionalnya berada di Gedung Crisis Center PB Sumbar di Jalan Jenderal Sudirman. Data gempa yang masuk ke pengolahan lalu disampaikan kepada masyarakat apakah berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Jika dalam 30 menit tidak ada tanda-tanda gempa, maka informasi potensi tsunami langsung dibatalkan.
Penampungan Pengungsi
Begitulah Sumbar dalam menghadapi bencana. Segalanya sudah dipersiapkan dan disimulasikan. Dengan harapan, masyarakat tidak gampang panik saat bencana betul-betul terjadi. Hanya saja, ada yang terlupa. Sampai sejauh ini, khususnya di Padang, pemerintah kota belum menetapkan lokasi titik penampungan pengungsi saat bencana terjadi. Pemko hanya menunjukkan daerah ketinggian yang bisa dijadikan tempat mengungsi, sementara lokasi titik pengungsian tidak ada.
Dulu, Pemko Padang menjelaskan jika bencana tsunami terjadi maka warga bisa mengungsi ke gedung-gedung yang sudah ditentukan. Tapi, sekarang kondisi gedung itu sudah retak-retak dan tidak layak lagi untuk menjadi tempat pengungsian. Sehingga kalau gempa terjadi, sekarang masyarakat berduyun-duyun menuju Jalan By Pass, Indarung dan kawasan Limau Manis untuk menyelamatkan diri.
Belum lagi adanya penambahan lebar jalan. Ruas jalan yang dipakai untuk mengungsi melalui jalur evakuasi hanya cukup untuk dilewati dua mobil. Tidak bisa lebih. Padahal, ketika gempa terjadi pada Maret dan September 2007, jalan tersebut macet total. Bisa jadi masyarakat belum sampai ke daerah ketinggian, bahaya sudah semakin mendekati mereka. Jadi, persiapan menghadapi bencana tidak cukup hanya dengan simulasi, tetapi sarana dan prasarana evakuasi juga perlu dipikirkan oleh pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar