Tanggal : 28 Desember 2007
Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/tempat-sampah-raksasa-yang-tersamar.html
KERUH,kumuh. Itulah fakta lain di balik tenangnya perairan Selat Madura.Apa yang terkandung dalam perairan selat itu sangat ”mengerikan”. Perairan jalur ekonomi yang menjangkau seluruh Indonesia, bahkan mancanegara ini, bak “tempat sampah raksasa”. Orang akan semakin terhenyak jika tahu apa yang ada didalam selat itu.
Sampah yang ”bercokol” di dasar selat itu bukan sampah biasa,yang umum disaksikan di darat. Sampah di situ lebih heterogen, mulai dari yang terkecil, seperti plastik bekas, hingga yang paling besar seperti bangkai kapal. Ranjau laut yang pernah ditebar pada masa Perang Dunia II juga masih berdiam di dasar laut, dalam keadaan aktif. Proses dockingkapal,serta aktivitas kapal reguler lainnya pun berperan atas produksi limbah yang mencemari perairan.
Belum lagi limbah industri dari Pelabuhan Rakyat Kalimas, yang juga bermuara di perairan Tanjung Perak, serta Kali Surabaya yang bermuara di kawasan Kenjeran. Suplai sampah rumah tangga, yang ikut ”menghuni” bawah laut ini, diperkirakan mencapai puluhan meter kubik per hari. Sampah inilah yang membentuk timbunan lumpur dasar laut,yang sampai saat ini belum diketahui pasti berapa ketebalannya.
Bangkai Kapal Tersebar
Untuk diketahui, kawasan Selat Madura, khususnya di perairan Tanjung Perak, adalah perairan yang banyak ”dihuni” bangkai kapal.Humas Administratur Pelabuhan (Adpel) Tanjung Perak Sukaisi mengaku belum tahu pasti berapa bangkai kapal dalam selat tersebut. “Jumlahnya fluktuatif. Sebab, ada sebagian bangkai yang telah diangkat atau dipindahkan ke kuburan kapal,”paparnya. Bangkai kapal yang diangkat hanyalah bangkai yang berpotensi menimbulkan gangguan lalu lintas laut.Sedangkan bangkai kapal yang dirasa aman, baik dari ukuran maupun kedalamannya, dibiarkan teronggok begitu saja tanpa ada upaya pengangkatan.“ Kebanyakan kapal juga sudah terendam lumpur,” tambahnya.
Ranjau pun Mengancam
Selain bangkai kapal,ranjau laut termasuk benda yang punya andil besar mencemari perairan Selat Madura. Bahan peledak peninggalan Angkatan Laut Belanda maupun Jepang, yang pangkalannya sekarang ditempati sebagai Markas Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim), ini tersebar di kedalaman 15–20 meter. Sebagian besar ranjau dipasang saat Perang Dunia II. Sampai saat ini bahan peledak tersebut belum diambil. Berdasarkan aturan internasional, yang berhak mengambil adalah yang memasang.
Menurut Komandan Satuan Pasukan Katak Koarmatim Kolonel Laut (E) M Faisal, jika ditinjau dari segi pencemaran lingkungan, ranjau laut termasuk tidak membahayakan. Karena ranjau-ranjau tersebut terbuat dari TNT. “Umumnya,sifat TNT stabil terhadap lingkungan,termasuk di bawah air sekalipun. Ia akan terus aktif dan tidak akan rusak,”katanya. Namun yang dikhawatirkan, keberadaan ranjau itu membahayakan aktivitas di Selat Madura.
Misalnya pengeboran lepas pantai dan pelayaran sipil. Untuk mengantisipasinya,Faisal mengaku telah memberikan peta pelayaran,yang menggambarkan titik-titik ranjau berdasarkan Dinas Oceanografi (Dishidros) TNI AL. “Peta ini adalah petunjuk untuk berlayar dan juga melakukan latihan di dalam air,” tandasnya. Sebagai upaya antisipasi lain, pihaknya telah melakukan penyisiran sekaligus pemusnahan ranjau sesuai dengan kewenangannya.“ Jumlah yang telah kami musnahkan cukup banyak. Tapi, untuk detail jumlahnya kami tidak ingat,” imbuhnya. Menurut perwira asli Palembang ini, jenis ranjau-ranjau yang tersebar tersebut tidak bisa dipastikan.
Tapi, setidaknya ada tiga jenis ranjau, yaitu ranjau apung yang ada di permukaan air; ranjau melayang yang mampu melayang di kedalaman 5–10 meter; dan ranjau dasar, yang menancap di dalam lumpur dasar laut. Melihat fungsi dan posisinya, ranjau pertama dan kedua adalah ranjau yang rawan benturan, yang bisa mengakibatkan ledakan.Kondisi ini membahayakan lalu lintas laut Selat Madura. Keberadaannya juga sulit dideteksi. “Misalnya di peta ada.Tapi,begitu dilakukan pengecekan tidak ada. Karena ia hanyut terbawa arus laut,” ucapnya. Sedangkan ranjau yang disebutkan paling akhir adalah ranjau yang rawan getaran magnet. Sayangnya,Faisal tidak bisa memastikan ranjau mana yang paling banyak tersebar di selat Madura.Namun, dari hasil penyisiran selama ini,ranjau yang ada adalah rawan tumbukan.
Sampah Rumah Tangga
Di samping dua jenis sampah “raksasa” di atas, masih ada limbah yang dampaknya tak kalah besar; sampah limbah rumah tangga, salah satu limbah yang dominasinya dalam pencemaran Kali Surabaya mencapai 60%.Sampah ini terkumpul dan terpusat di satu muara, Selat Madura. Timbunan sampah di Kali Surabaya ini bisa dilihat di sekitar Jembatan Greges,Pesapen, Bozem Morokrembangan, maupun saluran Salatiga. Sampah anorganik yang masuk ke pantai sampai saat ini belum sepenuhnya berhasil diminimalisasi. Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Jatim masih berupaya menyelesaikan pembangunan mechanical screendi saluran Greges.
Dampaknya tidak hanya membuat pemandangan di kawasan Tanjung Perak dan Kenjeran kurang sedap,namun juga mampu mengganggu arus lalu lintas kapal feri dan perahu nelayan. Sampah-sampah ini juga bisa merusak biota laut. Sementara dari pencemaran limbah industri, dampak yang ditimbulkannya tidak langsung terjadi, tapi baru dirasakan beberapa tahun ke depan.Limbah industri yang kebanyakan berupa logam berat anorganik, atau yang tidak mampu diurai ini menimbulkan dampak permanen, baik bagi kehidupan biota laut maupun manusia.
Menurut data LSM Ecological Observetion and Wetlands Coservation (Ecoton), ada sekitar 20 ton limbah cair yang dibuang ke Kali Surabaya setiap harinya. Sementara kali tersebut terbelah menjadi dua sebelum bertemu di laut. Satu di antara Kalimas,yang bermuara di kawasan Tanjung Perak. “Meski Kalimas cabang dari Kali Surabaya, namun limbah yang dibawa bukan dari Kali Surabaya saja. Limbah bisa lebih banyak lagi. Di sepanjang Kalimas masih ada berapa perusahaan yang membuang limbahnya di saluran ini,” papar Ketua LSM Ecoton Prigi Arisandi.
Ada 20 ton limbah cair setiap harinya mengalir dari 1.550 industri di Surabaya,yang tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Bisa dibayangkan, berapa zat anorganik berbahaya yang terkandung dalam limbah industri bermuara di Selat Madura.Ambil contoh merkuri, timbal, timah, dan kadmium. Ecoton telah membuktikan, 2002 lalu kandungan merkuri di Kali Surabaya,yang berujung di Tanjung Perak dan Kenjeran, 100 kali lebih tinggi dari kadar normal.
Di kawasan Tanjung Perak hingga ke laut bagian timur Surabaya, kandungan logam berat yang satu ini telah merasuk ke biota laut. Salah satu contoh yang pernah diambil adalah ikan tongkek. Dari hasil penelitian, ikan ini telah mengandung 0,5734–1,273 ppm merkuri. Sementara kandungan logam tembaganya mencapai 0,2 ppm. Padahal, seharusnya kadar aman kandungan logam pada ikan hanya 0,1 ppm.Tentunya pencemaran tersebut mampu menimbulkan dampak lebih luas lagi, bahkan hingga ke manusia di sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar